Hukum Berjabat Tangan Setelah Sholat


 Dua hadits yang mereka jadikan sandaran,

“Berjabat tanganlah setelah shalat fajar, maka Allah ta’ala akan menuliskan bagi kalian sepuluh pahala”“Berjabat tanganlah setelah shalat Ashar, maka akan dibalas dengan rahmat dan ampunan”Padahal dua hadits ini (as-Sa’ayah fie Kasyfi Amma fi Syarhil Waqayah: 256), adalah maudhu’ yang tidak boleh dijadikan landasan dalil, serta tidak boleh disandarkan kepada Rasulullah saw. Kedustaan menjadi penyebab hadits ini, sehingga tidak boleh diriwayatkan, apalagi digunakan landasan dalil.

Yang Sunnah
Banyak hadits yang menganjurkan seorang muslim mengucapkan salam kepada saudara muslim lainnya dibarengi saling berjabat tangan. Di dalamnya terkandung banyak hikmah, di antaranya mempererat persaudaraan dan menjauhkan dari permusuhan. Rasululah saw bersabda, “Bila salah seorang diantara kalian bertemu saudaranya, maka hendaknya ia ucapkan salam. Bila kedua telah terhalang oleh pohon, atau dinding atau batu, lalu ketemu kembali, maka hendaknya ia kembali mengucapkan salam padanya.” (HR. Abu Daud)

Melakukan sunah ini, tidak berbeda apakah di dalam atau di luar masjid. Belum pernah satu pun dari generasi salaf, bahwa bila mereka selesai shalat lalu menengok kanan dan kiri untuk berjabat tangan. Andaikan saja pernah dilakukan, pasti ada sumber yang menceritakan hal tersebut, walau dengan jalan yang lemah. Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang masalah ini, beliau katakan, “Berjabat tangan setelah shalat adalah bid’ah dan bukan sunnah.” (Majmu’ fatawa:23/337)

Al-Laknawi berkata, “Telah banyak menyebar di zaman kami ini, di banyak negeri, terutama di negeri Dakni, ia adalah sumber bid’ah dan fitnah. Dua hal yang harus ditinggalkan: pertama, mereka tidak mengucapkan salam ketika masuk masjid, di waktu shalat fajar. Tapi mereka masuk dan langsung shalat sunnah dan shalat fardhu. Mereka saling mengucapkan salam setelah usai shalat. Ini tidak dibenarkan, ia disunahkan bila bertemu, tidak ketika di majlis. Kedua, mereka saling berjabat tangan setelah selesai shalat fajar, ashar, ied, dan jum’at. Padahal salam disunahkan ketika bertemu”.

Kebiasaan berjabat tangan setelah shalat fardhu ternyata telah ada semenjak al-Izz bin Abdussalam dan al-Laknawi. Ketika itu hanya di dua waktu saja, tapi sekarang kebiasaan itu dilakukannya di setiap usai shalat fardhu. Demikianlah sebuah amalan bid’ah, makin lama makin bertambah cara dan metodenya, sesuai dengan berjalannya waktu dan tempat dimana ia berkembang.
Pendapat Syaikh bin Baz

Syaikh Abdul Aiz bin Baz ditanya : Bagaimana hukum bersalaman setelah shalat, dan apakah ada perbedaan antara shalat fardhu dan shalat sunnah ?

Jawaban
Pada dasarnya disyariatkan bersalaman ketika berjumpanya sesama muslim, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menyalami para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum saat berjumpa dengan mereka, dan para sahabat pun jika berjumpa mereka saling bersalaman, Anas Radhiyallahu ‘anhu dan Asy-Sya’bi rahimahullah berkata : “Adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berjumpa mereka saling bersalaman, dan apabila mereka kembali dari bepergian, mereka berpelukan

Disebutkan dalam Ash-Shahihain [Al-Bukhari, Kitab Al-Maghazi 4418, Muslim kitab At-Taubah 2769], bahwa Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu ‘anhu, salah seorang yang dijamin masuk surga, bertolak dari halaqah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjidnya menuju Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu ketika Allah menerima taubatnya, lalu ia menyalaminya dan mengucapkan selamat atas diterima taubatnya. Ini perkara yang masyhur di kalangan kaum Muslimin pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallm dan setelah wafatnya beliau, juga riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda “Tidaklah dua orang muslim berjumpa lalu bersalaman, kecuali akan berguguranlah dosa-dosa keduanya sebagaimana bergugurannya dedaunan dari pohonnya” [Abu Daud, Kitab Al-Adab 5211-5212, At-Turmudzi Kitab Al-Isti’dzan 2728, Ibnu Majah Kitab Al-Adab 3703, Ahmad 4/289, 303 adapun lafazhnya adalah : “Tidaklah dua orang Muslim berjumpa lalu bersalaman, kecuali keduanya akan diampuni sebelum mereka berpisah”.]

Disukai bersalaman ketika berjumpa di masjid atau di dalam barisan, jika keduanya belum bersalaman sebelum shalat maka bersalaman setelahnya, hal ini sebagai pelaksanaan sunnah yang agung itu disamping karena hal ini bisa menguatkan dan menghilangkan permusuhan.

Kemudian jika belum sempat bersalaman sebelum shalat fardhu, disyariatkan untuk bersalaman setelahnya, yaitu setelah dzikir yang masyru’. Sedangkan yang dilakukan oleh sebagian orang, yaitu langsung bersalaman setelah shalat fardu, tepat setelah salam kedua, saya tidak tahu dasarnya. Yang tampak malah itu makruh karena tidak adanya dalil, lagi pula yang disyariatkan bagi orang yang shalat pada saat tersebut adalah langsung berdzikir, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah shalat fardhu.

Adapun shalat sunnah, maka disyariatkan bersalaman setelah salam jika sebelumnya belum sempat bersalaman, karena jika telah ersalaman sebelumnya maka itu sudah cukup.

[Fatawa Muhimmah Tatallqu Bish Shalah, hal. 50-52, Syaikh Ibnu Baz]

Sumber:

Majalah Islam ar-risalah

Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 199-200 Darul Haq

www.Almanhaj.or.id

Tag:

27 Komentar to “Hukum Berjabat Tangan Setelah Sholat”

  1. terima kasih pak,
    cepet bener artikelnya 🙂

    gmn ya cara hindari nya, mengingat di
    tempat kami sudah jamak spt itu.
    mau menolak kok gimana gitu …

    request lagi , soal itikaf yg komplit dan
    sahih. apakah boleh itikaf di mushola
    yg tidak diadakan sholat jumat, tp hanya
    sholat 5 waktu saja ?

    terima kasih
    wassalam

  2. terima kasih pak,
    cepet bener artikelnya 🙂

    gmn ya cara hindari nya, mengingat di
    t empat kami sudah jamak spt itu.
    mau menolak kok gimana gitu …

    request lagi , soal itikaf yg komplit dan
    sahih. apakah boleh itikaf di mushola
    yg tidak diadakan sholat jumat, tp hanya
    sholat 5 waktu saja ?

    terima kasih
    wassalam

  3. Hi…hi…hi…
    Perlu penyesuaian lagi dengan kebiasaan sayah nyang telah berlaku selam ini.

    Trimakasih, Abu…

  4. Ah menurut saya sih ya nggak apa2 kalo cuma salaman setelah sholat – toh sudah selesai salam, berarti rukun sholat sudah selesai dong. Kalo orang salaman setelah sholat saja dianggap bid’ah, lah saya yg nulis komen di blog orang – yg notabene tidak pernah dilakukan nabi – itu dikategorikan apa?

  5. @wawan, kalau masalah menghindari salaman sehabis sholat, ya memang saya akui sangat sulit. Tapi paling tidak bukan kita yang memulai untuk mengajak bersalaman, tetapi kalau ada yang ajak salaman, ya salaman lah.

    Ada juga cara lainnya misalkan kita langsung meninggalkan tempat sholat untuk duduk di belakang.

    Tapi yang lebih penting adalah, permasalahan ini ada baiknya kita beritahukan dengan bijak dan lembut kepada karib/kerabat kita. Insya Allah perlahan tapi pasti, orang-orang akan mengerti bahwa kebiasaan bersalaman seperti ini tidak ada tuntunannya [mungkin hanya masalah kebiasaan].

    Allahu ‘alam

  6. pak abu, memang kadang harus segera pindah ke
    belakang begitu salam,

    tp agak repot jika ada pas kita di shaf depan,
    atau ada banyak shaf2 dibelakang kita.

    kedua, jika geser duduknya, kl tidak salah
    kan ada hadis yg kira2 bunyinya brg siapa
    belum geser dr tempat duduknya , lalu baca
    zikir 33 kali diakhiri dg allahu akbar kabiro dst
    maka dosa2nya diampuni ?
    jika hadis ini sahih, mana yg sebaiknya kita pilih?

  7. @Saya…
    Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu alaihi wasalam bukan ? [Ini pertanyaan bukan pernyataan]

    Rasulullah shalallahu alaihi wasalam memberikan tuntunan bahwa sehabis sholat, kita berdzikir dan berdoa. Kalau memang itu baik, tentunya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam ataupun para sahabat dan generasi terbaik sudah melakukannya. Ditambah lagi saya belum menemukan satu riwayatpun bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasalam atau para sahabat maupun generasi sesudahnya dan sesudahnya mengamalkan demikian.

    Jika @saya mengatakan, “nggak apa2 kalo cuma salaman setelah sholat – toh sudah selesai salam, berarti rukun sholat sudah selesai” Ya itukan pendapat pribadi anda sendiri.

    Lantas @saya mengamalkan “salam-salaman sehabis sholat” atas dasar apa?
    Mengamalkan suatu hadits, fatawa atau hanya ikut-ikutan?

  8. pak abu,
    kalo ada yg comment diatas :

    “Kalo orang salaman setelah sholat saja dianggap bid’ah, lah saya yg nulis komen di blog orang – yg notabene tidak pernah dilakukan nabi – itu dikategorikan apa?”
    itu gmn ya jawabnya ?
    spt nulis blog, makan pake sendok dll ?

  9. Masalah harus pindah ke belakang, itupun jika memungkinkan saja. Selanjutnya jika kita terpaksa harus tetap berada di posisi awal kemudian ada yang ajak salaman, ya salaman lah. Tidak mungkin kan kalau ada yang mengajak bersalaman lantas kita menolak sambil mengerutkan dahi [berkata dalam hati “iih bid’ah”].

    @wawan, hadits yang antum bawakan itu riwayat siapa? [Maaf] kalau saya belum bisa menginformasikan hadits tersebut shahih atau tidak [salah satunya karena saya bukan pakar dalam mentakhrij suatu hadits].

    Contoh literatur hadits yang saya pernah baca adalah, dari Mua’dz bin Jabal, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda, “Janganlah engkau tinggalkan di akhir sholat untuk berdoa Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadatika — Ya Allah tolonglah aku untuk mengingatMu, bersyukukr kepadaMu dan memperbaiki ibadahku kepadaMu [HR Abu Dawud dan An Nasai]

    Dari Tsauban, “Adalah Rasulullah shalallahu alaihi wasalam apabila selesai sholat, ia beristighfar 3x dan membaca Allahumma antas salam wa minka salam tabarakta dzal jalali wal ikram [HR Muslim]. Masih banyak hadits-hadits shahih/hasan lainnya dari periwayatan yang berbeda dan bacaan yang berbeda pula.

    Sesuai yang saya pelajari dan saya ketahui, pemahaman yang saya dapatkan dan saya pegang adalah bahwa bid’ah itu yang berhubungan dengan masalah ibadah atau sesuatu kegiatan yang menyangkut/ada unsur ibadahnya.

    Jika @saya mengatakan kasih komentar diblog takut dikatakan bid’ah, ya repot. Kasih komentar di blog bukan perkara ibadah bukan?

  10. ditunggu artikel itikaf yg sahih ya pak 🙂

  11. @ saya, kaga’ nyambung komentarnya 😀 ngeblog kan gak ada kaitannya dengan ibadah sholat to….

  12. Pak Abu, setelah saya membaca masalah2 bid’ah dan hukum2 di blog ini, kok agak pusing yah….
    Kan kita sudah tau bahwa bid’ah ada 2 macam, yakni masalah ibadah dan masalah keduniaan…

    ***apa yang membuat anda menjadi pusing ya akhi….?***

    Yang saya tahu bahwa “Segala macam ibadah asalnya adalah haram, kecuali yang diperintah dan dicontohkan oleh Allah dan Rasulnya, sebaliknya segala hal keduniaan asalnya adalah halal, kecuali yang di larang oleh Allah dan Rasulnya”.
    Jadi di blog ini kayaknya masih ada yang tercampur masalah penempatan hukum mana dan pada masalah apa akan diterapkan.

    ***Bisa anda beritahukan ke saya, mana yang tercampur dalam masalah penempatan hukum. Dengan maksud agar blog ini lebih bermanfaat bagi para pembacanya***

    Dalam menerapkan bahkan sampai menghukumkan sesuatu hal bid’ah atau bukan dan dengan mengacu kepada hal tersebut diatas, bahwa untuk menentukan shahih atau tidaknya sebuah hadits, maka harus diuji dengan beberapa tahapan.
    Kalau saya ambil yang simpel aja, bahwa salah satu syarat syahnya sebuah hadits adalah tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, karena kalau saya harus menelisik dan membaca (yang belum tentu benar) mengenai riwayatnya, perawi-rawinya, mattannya…. rasanya terlalu rumit buat saya. Bahkan yang saya tahu, dari jumlah 4000 buah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang kita anggap shahih saja, masih ada yang terselip beberapa hadits berulang, lemah atau bahkan palsu.

    ***Betul ya akhi…. saya pun sama pusingnya dengan anda. Tapi disitulah kita dituntut untuk terus belajar, belajar dan terus belajar. Memang kita tidak harus berkualiatas seperti masyaikh [walaupun itu yang diharapkan]. Tetapi dibalik ketidakmampuan kita untuk mengetahui ini itu, tidak ada salahnya dalam hal ini kita mengikuti pendapat para ulama [bukan dalam hal taqlid buta]***

    Yang saya perhatikan di blog ini adalah seolah-olah terlalu kaku dalam memaknai masalah khilafiah. Kalau kita terlalu memaksakan agar segala sesuatu harus sesuai dengan jaman Rasulullah dengan tidak cerdas memilah, termasuk hal ibadah atau keduniaankah khilafiah yang terjadi?, maka kita akan jadi seorang yang naif.

    ***Di blog ini, saya tidak mengatakan ini adalah pendapat saya. Saya hanya menyampaikan pendapat-pendapat/fatawa2 dari para ulama. Dalam hal ini, saya masih jauh dari kepantasan untuk berfatwa. Jika anda mengatakan “terlalu kaku”, dalam hal apakah ya kawan? Jika Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan para sahabat tidak bersalaman sesudah sholat fardhu, lantas kita mengerjakannya, nah kita merujuk kepada siapa kawan?***

    Saya pribadi hanya berpegang pada hadits yang tidak bertentangan dengan Qur’an. Sementara ada orang yang menganggap bahwa kedudukan Hadits lebih tinggi daripada Al-Qur’an dengan alasan bahwa Rasulullah lebih mengerti Al-Qur’an daripada kita.
    Hal ini dapat dibantah oleh perkataan Aisyah RA. yang menegur Saiyidina Umar ketika Umar berkata bahwa “…mayat itu sedang disiksa karena ditangisi oleh ahlinya…”. Aisyah berkata “Cukup bagimu Al-Qur’an ya Umar, bahwa dosa seseorang tidak ditanggung oleh orang lain…”.
    Atau, ada juga yang berpendapat dengan hadits bahwasanya “…sunnah sahabat wajib diturut…”.
    Saya mau bertanya, sahabat yang mana??. Kalau ada sahabat yang mencontohkan perihal ibadah pada masa Rasulullah masih ada dan disetujui atau didiamkan oleh Rasulullah tanda setuju, maka wajiblah kita ikuti sunnah sahabat tersebut.
    Tetapi kalau ada sahabat yang berbuat sesuatu yang berkaitan dengan hal ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah, teristimewa Rasulullah sudah wafat, apakah perlu kita ikuti sunah sahabat tersebut?. Mari kita sama2 mengkaji lagi ISLAM secara mendalam. Wassalam.

    ***Setuju dengan pendapat anda. Bisa anda sebutkan ibadah seperti apa yang dikerjakan oleh sahabat tetapi tidak dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam ? ***

  13. Pak abu,
    Cepet kali tanggapannya…..
    Contoh ibadah yang dikerjakan sahabat dengan tidak dicontohkan oleh Rasulullah, salah satunya adalah; 2 kali Azan Shalat Jum’at, yang mana menurut sejarahnya bahwa kebiasaan ini asalnya pada masa Khalifah Ustman bin Affan, mungkin sudah pada tahu lah kisahnya.

    ***Adzan dua kali permasalahannya berbeda, tidak bisa dikaitkan dengan ibadah/bid’ah secara langsung. Lagipula, adzan yang dikumandangkan salah satunya di pasar [pengumuman sebentar lagi mau masuk waktu jum’at], bukan di masjid seperti sekarang.***

    Mohon maaf nih Abu, saya bukan penganut faham/pendapat ulama/ustad, kiayi, mazhab, golongan atau semacamnya… karena faham dan pendapat mereka bukanlah agama / pendapat Allah dan RasulNYA. Dalam hal ini, saya hanya bertaklid kepada Al-Qur’an dan Hadits Shahih yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, karena saya berpendapat, bahwa mana mungkin Rasulullah menjelaskan perihal ibadah didalam hadits bertentangan dengan Al-Qur’an yang diterimanya.

    ***Benar sekali. Kembali ke Qur’an dan Sunnah, tapi bukan menyingkirkan sama sekali pendapat para ulama. Toh dalam berijtihad, mereka tidak sembarangan ***

    Adapun masalah penempatan yang tercampur, antara lain; Jabat tangan setelah Shalat, Zakat Fitrah tidak bisa digantikan dengan uang dan masih ada lagi lainnya. Insya Allah menyusul.

    ***Maksud anda, semua saya tempatkan dalam kategori Islam-Hukum begitu atau gimana? Jika memang seperti itu yang anda maksudkan, memang saya sengaja membuatnya seperti itu. Dalam blog ini saya lebih menspesifikkan kategori dalam masalah muamalah. Afwan, kalau anda jadi merasa ribet membacanya. ***

    Mengenai jabat tangan setelah shalat, tolong pisahkan antara Hablumminallah dan Hablumminannas…
    Zakat Fitrah, pikirkan hal yang dimaksudkan dari perintah tersebut. Kalau kita bayar fitrah dengan beras/makanan pokok sesuai daerahnya, lantas si penerima kurang berkenan, apakah sampai maksud agama berkaitan dengan hal tersebut?. Intinya, kembali tolong pisahkan antara Hablumminallah dan Hablumminannas… Wassalam.

    *** Back to Laptop. Yang menjadi pertanyaan, apa sih yang menjadi dasar/acuan/rujukan bersalaman setelah sholat fardhu’. Jika memang melaksanakannya karena hadits seperti yang pernah saya tuliskan, nyata-nyata hadits tersebut bermasalah. Jika memang untuk silaturrahim, kenapa Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan para sahabat tidak melakukannya [atau paling tidak sampai saat ini belum diketemukan riwayatnya]. Kalau mau divonis ini bid’ah, Allahu ‘alam. Tapi demikianlah kenyataan yang ada. Bukankah bid’ah itu sendiri muncul salah satu faktornya karena kebiasaan. ***

  14. Assalamualaikum pak Abu…
    Saya tidak bermaksud menyingkirkan pendapat para ulama dan sebagainya, tapi tetap akan saya dengarkan dan baca bilamana mereka berpendapat…. Intinya, saya tidak bertaqlid kepada mereka…
    Kalau masalah salaman sehabis shalat, tidak perlu lah dibahas…. saya juga kadang salaman kadang nggak… dan juga belum pernah saya bertemu dengan hukum yang menegah dan membolehkan.
    Sekarang saya mau kasih kasus….. Kita semua tahu, bahwa berhubungan badan di siang hari pada bulan Ramadhan bagi orang Muslim yang sedang berpuasa adalah membatalkan puasa dan berkonsekwensi mendapatkan salah satu hukuman dari 4 hukuman, yakni; 1. Memerdekakan seorang budak, 2.Memberi makan 60 orang miskin 3. Berpuasa 2 bulan ber-turut2,dan 4. Bersedekah semampunya.
    Alkisah, ada seorang suami pencari nafkah keluarga yang bekerja berat, sehingga tidak memungkinkan / tidak sanggup dirinya bershaum sepanjang Ramadhan, bahkan mengkadla shaum di luar bulan Ramadhan yang menjadi kewajibannya. Jadi, dalam hal ini orang tersebut diwajibkan/termasuk yang harus mengganti dengan fidyah.
    Pada suatu siang hari di bulan Ramadhan, si suami pulang ke rumah dan di rumah dia mendapati istrinya baru selesai mandi setelah bersih dari haidnya, sehingga ia juga dalam keadaan sama2 tidak bershaum. Bila suami istri tersebut kemudian melakukan hubungan badan di siang hari, apakah mereka kena hukuman yang tersebut diatas??. Bila mereka harus kena hukuman tersebut diatas, apa dasarnya?, hukuman itu kan bagi yang shaum terus batal karena berhubungan badan, sedangkan dalam kasus ini, mereka tidak sedang berpuasa.
    Ayo kita diskusikan buat nambah wawasan dan pemahaman beragama.
    Mohon dijawab berdasarkan Nash Qur’an dan hadits. Wassalam.

    *** Kaffarah itu kan dikenakan kepada orang yang berpuasa lantas berhubungan badan. Jika kasus yang anda ceritakan, yang pada intinya sang suami mempunyai udzur dalam mencari nafkah sehingga sangat tidak memungkinkan untuk berpuasa, plus dia dalam keadaan tidak berpuasa, ya maka sang suami dan istrinya tidak dikenakan kaffarah. Kaffarah itu sendiri tidak tercantum dalam kitabullah tapi ada dalam sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasalam. Hadits dari Abu Hurairah, tentang seorang pria yang menyetubuhi istrinya pada siang hari Ramadhan, yaitu jika orang ini tidak mampu memerdekakan budak, tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut dan tidak mampu memberi makan enam puluh orang miskin.***

  15. Ana selalu mendukung dakwah antum.

    Syukron, doakan semoga blog ini bermanfaat bagi semua

  16. Sepertinya kaffarah tersebut tidak hanya berlaku bagi yang berpuasa….tetapi bagi pelaku yang melakukan hubungan badan di siang hari bulan ramadhan. Larangan ini adalah larangan karena bulannya yang suci bukan sedang berpuasanya.

    Mari kita perhatikan ayat berikut:
    Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…dst (petikan QS Al-Baqarah 187)

    Ayat diatas menegaskan bahwa DIHALALKANYA adalah pada waktu MALAM sehingga sebaliknya adalah DIHARAMKAN dilakukan pada SIANG HARI….tidak peduli sedang berpuasa atau tidak. Ini mutlak karena kesucian bulannya.
    Ditegaskan kembali bahwasanya manusia tidak akan sanggup untuk menahan hasrat biologisnya jika larangan Allah ini berlaku siang dan malam sehingga bahasanya yang dipakai DIHALALKAN BAGI KAMU dst

    Abu Al Maira :

    ***Ayat yang anda bawakan benar adanya. Akan tetapi yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah dihalalkannya berjima’ pada waktu malam hari. Sesuai dengan riwayat pada waktu itu para sahabat tidak berani/tidak mau/khawatir berjima’ [berhubungan badan] dengan istri mereka pada bulan ramadhan akan merusak shaum mereka.
    Sedangkan berjima’ pada siang hari, ini masalah yang berbeda. Dilarang berjima’ pada siang hari pada bulan ramadhan dikarenakan berpuasa. Jika kita sedang berudzur seperti yang dicontohkan di atas, maka larangan tersebut tidak berlaku. Sama halnya jika kita dalam keadaan safar [diperjalanan] dimana kita diperbolehkan untuk berbuka/tidak berpuasa, maka kita dalam keadaan safar dimana kita tidak berpuasa adalah halal bagi kita untuk berjima’ dengan istri kita. Demikian pendapat yang rajih [kuat] menurut para ulama. Allahu ‘alam.***

  17. Bisa antum sebutkan hadits pembolehan jima’ di siang hari ramadhan?
    Kalau saya lebih berpegang pada ayat alqur’an yang saya sebutkan di atas…..yang seolah-olah pada awalnya Allah akan menetapkan bahwa berjima’ pada BULAN SUCI RAMADHAN berlaku siang malam…namun karena kebijakan Allah sajalah maka boleh pada malam hari karena kebanyakan manusia tidak akan sanggup. ….”Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu”

    Abu Al Maira :

    ***Koq jadi rancu yah… Seingat ana, ana gak pernah atau menuliskan bahwa adanya pembolehan berjima’ di siang hari pada bulan Ramadhan.
    Sesuai dengan pengetahuan yang ana miliki dan ana pelajari, bahwasannya jika seorang yang tidak berpuasa [otomatis pada siang hari tentunya] pada bulan ramadhan karena adanya udzur syar’i, maka hukumnya sama seperti orang yang tidak berpuasa pada umumnya. Jadi yang bersangkutan boleh berjima;, boleh makan, boleh minum, dsb [yang dilarang secara syar’i dalam hal-hal yang membatalkan puasa]

    Selanjutnya jika antum meminta saya untuk menunjukkan hadits/nash yang menunjukkan pembolehannya, afwan sebelumnya, ana pun belum bisa karena sepanjang yang ana ketahui dan ana pelajari, ana belum menemukan nash yang mengatakan “pembolehan jima’ di siang hari ramadhan” ?

    Tolong akhi… hal seperti ini jangan diputar-putar, khawatir malah nantinya jadi membingungkan.

    Kemudian @Andra.Katong berkata :
    “Kalau saya lebih berpegang pada ayat alqur’an yang saya sebutkan di atas…..yang seolah-olah pada awalnya Allah akan menetapkan bahwa berjima’ pada BULAN SUCI RAMADHAN berlaku siang malam…namun karena kebijakan Allah sajalah maka boleh pada malam hari karena kebanyakan manusia tidak akan sanggup. ….”

    Jika antum berpendapat demikian dengan prasangka [maaf atau apapun namanya] yang antum wakilkan dengan kata-kata “seolah-olah”, apakah ini prasangka atau penafsiran antum sendiri atau ada dalil2 dari nash atau pendapat dari ulama yang mengatakan demikian ?

    Yang perlu diingat, dalam hal ini bukannya ana sudah pasti benar dan antum pasti salah. Maksud ana, jika memang antum mempunyai argumen yang jelas, tolong sampaikan juga bukti2, dalil2 dan pendapat2 yang mendukung perkataan antum. Demi tersampaikannya ilmu kepada ummat.

    Tetapi sesuai dengan yang ana pelajari dan ana ketahui, memang demikian adanya [walaupun tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan]

    Allahu ‘alam ***

  18. pak Abu,
    maaf kalo sy masih bingung.

    ttg coment ini :


    Sesuai yang saya pelajari dan saya ketahui, pemahaman yang saya dapatkan dan saya pegang adalah bahwa bid’ah itu yang berhubungan dengan masalah ibadah atau sesuatu kegiatan yang menyangkut/ada unsur ibadahnya.

    Jika @saya mengatakan kasih komentar diblog takut dikatakan bid’ah, ya repot. Kasih komentar di blog bukan perkara ibadah bukan? ”

    sampai dimana batasan ibadah itu , kenapa
    bukan sampai salam saja ? jadi jabat tangan
    sudah bukan berkait dg ibadah(sholat)?
    atau batasannya sampai zikir sesuai anjuran
    Nabi saw selesai ?

    kedua, saya baru baca buku tuntunan sholat
    Rasulullah ibnu Qoyyim,
    disitu ada macam2 doa iftitah.
    terutama yg Allohuma baid baini ..dst,
    disitu ditulis dibaca untuk sholat lail,
    dan yg lebih baik dr macam2 doa iftitah
    adalah yg ‘Subhanaka Allohumma … dst’.

    tp di sebuah blog ttg sholat, iftitah yg Baid baini
    malah dibilang buat sholat wajib .

    bisa tolong dimuat tulisan Iftitah yg lengkap
    jadi saya tidak bingung lagi ?

    atau ada saran rujukan buku/web yg sahih
    dan benar ttg tata cara sholat ?

    terima kasih ya

    Abu Al Maira :

    Assalamu ‘alaykum akhi Wawan…

    Ritual sholat diakhiri dengan salam. Artinya setelah kita selesai mengucapkan salam kiri dan kanan, maka selesailah sholat kita. Otomatis jabat tanganpun sudah lepas dari ritual ibadah sholat.

    Sedikit saja dibahas, selanjutnya mengenai jabat tangan itu sendiri. Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan para sahabat tidak pernah mencontohkan [atau paling tidak atau belum ditemukan riwayatnya] hal seperti ini. Jika mengamalkan hadits ttg salaman setelah sholat itu sendiri, sepengetahuan ana hadits itu bermasalah. Yang ada bahwasannya dulu saat memasuki masjid [atau bertemu], biasanya para sahabat saling bersalaman dan berpelukan. Oleh karena itu, [kalau tidak salah] Syaikh bin Baz mengatakan tidak mengapa bersalaman setelah selesai sholat jika tadinya belum sempat bersalaman. Allahu ‘alam.

    Mengenai do’a iftitah, memang cukup banyak riwayat mengenai bacaan doa iftitah ini. Sepanjang riwayat2nya shahih menurut pandangan ulama, maka kita bebas memilih doa mana yang ingin kita baca, Allahu ‘alam. Kalau ana sendiri rutinnya membaca Allahumma baid bainni… Coba antum kunjungi situs sholat kita yang ada dilink blog ana, atau bisa juga antum baca “Ashlu Shifati Sholatin Nabiy shalallahu ‘alaihi wasalam – karya Syaikh Al Albany”, insya Allah dapat membantu.

  19. saya sudah ke situs itu pak abu, cuman sptnya
    kurang lengkap ya , maaf jika sy salah.

    terus di kolom kanan atas, yg bagian2 hadis hari ini,
    pesan Quran hari ini, kok yg muncul sptnya
    itu2 saja ya pak. atau krn random dan pas sy
    lihat pas muncul itu lagi ?

    mohon bantuannya link yg bahas komprehensif
    ttg bidah pak abu , jika ada ya pak.

    Abu Al Maira :

    Kalau antum mau yang membahas tentang sholat, ya di situs sholatkita yang baru saya dapat. Baiknya antum beli buku “Ashlu Shifati Sholatin Nabiy shalallahu ‘alaihi wasalam [Sifat Sholat Nabi] – karya Syaikh Al Albany”, insya Allah di sana sudah cukup lengkap. [Ada juga buku2 lainnya seperti “Koreksi Total Ritual Sholat”]

    Kolom kanan pesan Qur’an dan hadits hari ini memang sudah lama saya tidak update. Afwan…. Insya Allah nanti ana update.

    Link bid’ah seperti apa ya akhii… Tentang contoh2 bid’ah itu cukup banyak, coba antum beli buku “Bid’ah-bid’ah yang dianggap sunnah”, warnanya bukunya kuning. Kalau mau situs rujukan tentang penjelasan atau artian mengenai bid’ah, antum bisa buka almanhaj.or.id, muslim.or.id, dan banyak situs2 salaf lainnya. Tapi intinya kita harus mengerti apa arti bid’ah secara syar’i, insya Allah kita bisa membedakan mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.

    Allahu ‘alam

  20. wah klo salaman setelah sholat termasuk bid’ah berarti al-qur’an bid’ah juga dunk…..salaman aja yang ada haditsnya dikatakan bid’ah, apalagi pengumpulan al-quran, pengharakatan al quran, penulisan dan pengumpulan hadits yang ngga ada dalil haditsnya………..masak cuma beda waktu dan tempat salam aja udah dikatakan bid’ah….

    Abu Al Maira :

    Anda bisa mengatakan ini bukan bid’ah, itu bukan bid’ah… dasarnya apa ya….?
    Coba anda baca-baca lagi tentang bid’ah itu sendiri… Insya Allah anda bisa mengerti kenapa ini bid’ah, kenapa itu bid’ah, kenapa pengumpulan Al Qur’an tidak bid’ah, kenapa komputer tidak bid’ah, kenapa yasinan bid’ah, kenapa tahlilah 100 hari bid’ah, dll….

    Kalo anda mau mengatakan ini bukan bid’ah itu bukan bid’ah, berarti anda harus menunjukkan dalil yang memerintahkan untuk itu…

  21. Setuju..

    Salaman setelah sholat itu bid’ah, tidak ada perintahnya. Tidak dalam sunnah bahkan masuk dalam bid’ah. Semua ibadah itu harus ada tuntunannya.

    Demikian juga berdzikir sama2 setelah sholat. Tidak ada tuntunannya.

    Demikian juga membaca Al Qur’an dng suara nyaring setelah sholat itu bid’ah. Tidak ada tuntunan dari Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau setelah sholat membaca Al Qur’an secara nyaring.

    Juga membaca tahlil setelah sholat, tidak ada tuntunannya.

    Nahh kalau ngeblog setelah sholat itu boleh.. karena nge-blog itu bukan ibadah.

    Benar nggak pak ustadz.. pendapat saya ini? Kalau salah mohon dibetulkan.

    Abu Al Maira :

    Insya Allah akh Afun… Nge-blog tidak ada kaitannya dengan bid’ah

  22. Kalau begitu .. kul-tum setelah sholat itu juga bid’ah. Ini juga tidak ada tuntunan dari Rasulullah.

    Demikian juga berdakwah setelah shalat. Bid’ah juga.

    Abu Al Maira :

    Tergantung bagaimana niat anda ya akhii… Anda menjadikan kultum atau berdakwah sebagai suatu hal yang wajib atau minimal sunnah untuk dilakukan setelah sholat ? Jika anda menjadikan itu sebagai suatu hal yang wajib atau sunnah, maka anda memerlukan dalil yang membawanya kepada sesuatu yang wajib atau sunnah.

  23. assalamualaikum
    yah..kita hanya menjaga akidah saja jangan memnyebabkan kesalah pahaman antar muslim

  24. BERJABAT TANGAN SEUSAI SHALAT BERJAMA’AH ?

    Tanya : Saya melihat sebagian jama’ah di masjid kita ini enggan berjabat tangan seusai shalat berjama’ah sebagaimana lazimnya kaum muslimin yang lain. Bukankah orang tersebut menyelisihi
    sunnah Rasul ? Bukankah dengan berjabat tangan ini dapat menggugurkan dosa ? Dan apakah ini termasuk dari tanda kesombongan orang tersebut ?

    Jawab : Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu telaahan cermat untuk mendudukkan perkara ini sehingga tidak menimbulkan praduga berlebihan terhadap sesama muslimin. Dan yang lebih penting lagi adalah, mendudukkan perkara ini dengan timbangan syari’at yang benar sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para ulama setelahnya.

    Benar apa yang dikatakan oleh Penanya bahwasannya jabat tangan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan muslim lainnya (dengan ikhlash dan kecintaan) apabila bertemu akan menggugurkan dosa-dosanya. Hal ini sesuai dengan perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

    إن المؤمن إذا لقي المؤمن فسلم عليه و أخذ بيده فصافحه تناثرت خطاياهما كما يتناثر ورق الشجر

    “Sesungguhnya seorang mukmin yang apabila bertemu dengan mukmin lainnya mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk berjabat tangan, maka pasti akan gugur dosa-dosa mereka berdua, sebagaimana gugurnya daun dari pohonnya” (Shahih, lihat Silsilah Ash-Shahiihah nomor 526, 2004, dan 2692).

    Juga perkataan beliau dari Barra’ bin ‘Azib radliyallaahu ‘anhu :

    ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان إلا غفر لهما قبل أن يتفرقا

    “Tidaklah dua orang muslim yang bertemu, kemudian mereka berdua saling berjabat tangan, melainkan akan diampuni (dosanya) sebelum keduanya berpisah” (Shahih, lihat Ash-Shahiihah nomor 525).

    Dan lain-lain dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang perintah dan keutamaan salam serta berjabat tangan ketika bertemu. Dan sepanjang pengetahuan kami, tidak ada contoh shahih dari Nabi, para shahabat, serta imam empat yang menjelaskan tentang disyari’atkannya berjabat tangan seusai shalat berjama’ah. Sebagai penguat pernyataan ini, akan kami berikan beberapa contoh perkataan para ulama madzhab tentang pertanyaan yang diajukan.

    ULAMA MADZHAB HANAFIYYAH

    1. Imam Ibnu ‘Abidin dalam kitab Hasyiyah-nya (6/381) berkata :

    لكن قد يقال إن المواظبة عليها بعد صلوات خمسة قد يؤدي الجهلة إلى اعتقاد سنيتها في خصوص هذا المواضع وأن لها خصوصية زائدة على غيرها مع أن ظاهر كلامهم أنه لم يفعلها أحد من السلف في هذه المواضع وكذا قالوا بسنية قراءة السورة الثلاثة في الوتر مع الترك أحيانا لئلا يعتقد وجوبها ونقل في {تبيين المحارم} عن {الملتقط} أنه تكره المصاحفة بعد أداء الصلاة بكل حال لأن الصحابة ما صافحوا بعد أداء الصلاة ولأنها من سنن الروافض

    “Akan tetapi, dapatlah dikatakan bahwa menjadikan hal itu sebagai rutinitas yang dilakukan setelah selesai shalat yang lima waktu (itu merupakan satu kesalahan), sebab nanti orang-orang awam akan meyakini perbuatan itu sebagai suatu amalan yang sunnah yang biasa dilakukan pada tempat-tempat tersebut. Dan mereka juga akan meyakini bahwa perbuatan tersebut memiliki kelebihan tertentu dibandingkan amalan-amalan lainnya. Padahal mereka jelas-jelas menyatakan bahwa amalan tersebut tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun dari kaum salaf pada tempat-tempat tersebut (yaitu jabat tangan seusai shalat). Begitulah juga ketika mereka menyatakan sunnahnya bagi kita untuk membaca tiga macam surat (Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas di dalam raka’at terakhir pada) shalat witir, bersamaan dengan itu mereka juga menganjurkan untuk meninggalkannya sesekali waktu, agar hal tersebut tidak dianggap wajib hukumnya. Dan telah dinukil dalam kitab Tabyiinil-Mahaarim dari Al-Multaqith; tentang pendapat dibencinya berjabat tangan setelah selesai shalat dalam keadaan bagaimanapun juga. Hal itu disebabkan para shahabat tidaklah berbuat hal tersebut, dan hal itu merupakan sunnahnya kaum Rafidlah” ( = yaitu sebuah kelompok sesat – red.).

    2. Syaikh Mullah Ali Al-Qari Al-Hanafy telah berkata :

    فأين هذا من السنة ؟ ولهذا صرح بعض علمائنا بأنها مكروهة حينئذ، وأنها من البدع المذمومة

    “Dimana posisi perbuatan ini dalam sunnah yang disyari’atkan (baca : Mana dalil tentang sunnahnya perbuatan ini – yaitu berjabat tangan seusai shalat) ? Untuk itulah, maka sebagian ulama kami telah memakruhkannya (membencinya) bila dilakukan pada saat tersebut (yaitu seusai shalat), dan hal tersebut termasuk perbuatan bid’ah yang tercela” (lihat kitab Tuhfatul-Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi 7/427 oleh Al-Mubarakfury).

    ULAMA MADZHAB MALIKIYYAH

    Imam Ibnul-Hajj Al-Maliki berkata dalam kitabnya Al-Madkhal (2/219) :

    وينبغي له أن يمنع ما أحد ثوه من المصافحة بعد الصلاة الصبح وبعد الصلاة العصر وبعد الصلاة الجمعة، بل زاد بعضهم في هذا الوقت فعل ذلك بعد الصلوات الخمس، وذلك كله من البدع، وموضوع المصافحة في الشرع إنما هو عند لقاء المسلم لأخيه لا في ءدبار الصلوات، فحيث وضعها الشرع نضعها، فينهى عن ذلك ويزجر فاعله لما أتى به من خلاف السنة.

    “Dan patut baginya untuk melarang untuk melarang manusia dari melakukan apa yang telah mereka ada-adakan (dalam agama ini dengan) berjabat tangan setelah selesai shalat ‘Asar, shalat Shubuh, dan shalat Jum’at. Dan bahkan pada saat ini mereka juga telah melakukannya pula setelah shalat yang lima waktu. Semua itu termasuk perbuatan bid’ah (yang terlarang). Adapun tempat yang benar (yang telah dibenarkan dalam agama) untuk melakukan jabat tangan itu adalah di saat seorang muslim bertemu dengan saudaranya (yang muslim). Bukannya di setiap selesai dari shalat. Ketika agama ini mengajarkan kita demikian, maka hendaklah kita cukup mengikutinya saja (tanpa menambah-nambah). Maka wajib untuk melarang mereka dari berbuat hal tersebut. Dan hendaklah orang yang berbuat hal itu dicela lantaran apa yang telah ia perbuat menyelisihi sunnah” (lihat juga kitab Tahiyyatus-Salaam fil-Islaam 2/842).

    ULAMA MADZHAB SYAFI’YYAH

    1. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata :

    إنها بدعة مكروهة لا أصل لها فى الشرع وإنه ينبه فاعلها أولا ويعزر ثانيا

    “(Perbuatan seperti itu – yaitu berjabat tangan setelah shalat) termasuk perbuatan bid’ah yang dibenci. Tidak ada asal-usulnya dalam agama ini. Dan wajib bagi setiap orang yang melakukannya untuk diperingati dalam kali yang pertama dan dihukum ta’zir pada kali yang kedua” (lihat Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 6/381).

    2. Imam Al-‘Izz bin Abdis-Salaam mencela perbuatan ini dalam kitabnya Al-Mujaalasah Al-‘Ilmiyyah halaman 46 dan dalam Fataawaa-nya halaman 46-47 :

    المصافحة بعد الصبح والعصر من البدع

    “Berjabat tangan setelah selesai dari shalat Shubuh dan ‘Asar termasuk perbuatan bid’ah”.

    3. Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (pensyarah kitab Shahih Al-Bukhari) telah menyangkal orang yang memperbolehkan perbuatan itu dalam Fathul-Baari (12/324).

    ULAMA MADZHAB HANABILAH

    Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitab Majmu’ Fataawaa-nya (23/339) :

    وسئل عن المصافحة عقيب الصلاة، هل هي سنة أم لا ؟
    فأجاب : الحمد لله المصعفحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة والله أعلم

    Beliau ditanya tentang (hukum) berjabat tangan setelah selesai shalat : “Apakah perbuatan ini termasuk Sunnah atau bukan ?”
    Kemudian beliau menjawab : “Alhamdulillah,…. berjabat tangan setelah selesai shalat itu bukanlah termasuk perbuatan yang disunnahkan. Akan tetapi hal itu termasuk perbuatan bid’ah. Allaahu a’lam”.

    ULAMA MASA KINI

    Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Ifta’ (Komisi Tetap Riset/Pembahasan dan Fatwa) Saudi Arabia pernah ditanya hal sebagai berikut :

    ما حكم المصافحة للمصلي والسلام على الإمام وعلى صاحب اليمين وصاحب اليسار ؟

    “Apakah hukumnya berjabat tangan kepada seseorang yang telah selesai dari shalat dan mengucapkan salam kepada imam serta kepada orang-orang yang berada di samping kanan dan kirinya ?”

    Maka mereka menjawab sebagai berikut :

    إن لم يكن صافحه عند لقائه إياه قبل الصلاة صافحه بعد السلام منها، سواء كانت فريضة أم نفلا وسواء كا عن يمينِه أو يساره لكن يكون في الفريضة بعد الأذكار المشروعة بعدها، أما السلام المأمومين على الإمام بعد الفراغ من الصلاة فلا نعلم أنه ورد فيه شيء خاص به

    “Apabila orang itu belum berjabat tangan ketika bertemu dengannya sebelum dia shalat, maka dia boleh untuk menjabat tangannya setelah dia salam, baik shalat yang wajib maupun sunat/nafilah, baik jama’ah yang ada di kiri maupun di kanannya. Dan apabila setelah shalat wajib, maka dia melaksanakan itu (yaitu berjabat tangan) adalah waktu selesai dzikir setelah selesai shalat. Adapun perbuatan makmum yang menyampaikan salam kepada imam setelah selesai dari shalat, maka kami belum mengetahui adanya sesuatupun (dalil) yang khusus (menerangkan) hal itu” (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah no. 3866).

    Dan lain-lain dari perkataan para ulama.

    Apa yang dapat kita simpulkan dari pembahasan di atas adalah bahwa :

    1. Berjabat tangan disunnahkan pada saat bertemu.
    2. Tidak ada dalil khusus yang menyatakan disunnahkannya berjabat tangan setelah selesai shalat. Maka mengkhususkan dan membiasakan perbuatan itu termasuk bid’ah yang dicela.
    3. Berjabat tangan setelah selesai shalat diperbolehkan jika sebelumnya dua orang muslim tersebut belum bertemu dengan mengucapkan salam dan berjabat tangan (dengan tanpa menyengaja/rutinitas mengakhirkannya setelah shalat).
    4. Kebiasaan berjabat tangan seusai shalat yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin di masjid-masjid hendaknya ditinggalkan karena tidak sesuai dengan contoh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya.

    Itulah yang dapat kami jawab. Allaahu a’lam

    Abul Maira :

    Syukran atas tambahan dan penjelasannya akh…
    Barakallahu fiik..

  25. makasih pak ustadz, atas pencerahannya…
    emang klo hal megang-megangin tangan orang sehabis sholat mah dah menjadi kebiasaan…
    malahan ada yang sampe main2 colek. (setengah maksa) seakan2 klo ga salaman sehabis sholat, sholatnya jadi batal. ini menurut saya perlu dijelaskan sejelas2nya, karena kita tau sholat adalah amalan yang pertama dihisab nantinya… sebenarnya bukan cuman itu aja pak ustadz. ada sebagian orang mengikuti sunah2 rasul itu seenak perutnya, seperti berwangi2an, trus bersiwak, bersalaman juga… semua itu dilakukan di waktu yang tidak tepat… terkadang dilakukan disaat orang2 mau mendirikan sholat. (disaat sdh Iqamah).

    nah… klo ngeblog itu kalian harus merujuk ke saya =))
    manusiaaaaaaaaaaaaaaaaaa…… klo di tunjukkin yang benar masihhhhh…. slalu nolak =))

  26. >>>artikel yg brmanfaat.. ________________________ iya.. Tp q kadang heran yg adat di anggap melebihi agama, yg nyata2 tuntunan agama malah di abaikan.

  27. Assalamualaikumu wa rahmatullah

    Afwan , ana mau tanya tentang hadist berikut yang juga dipakai untuk melakukan salam – salaman setelah sholat

    عَنْ سَيِّدِنَا يَزِيْد بِنْ اَسْوَدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَنَّهُ صَلَّى الصُّبْحَ مَعَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وَسَلّمْ. وَقالَ: ثُمَّ ثَارَ النَّاسُ يَأخُذوْنَ بِيَدِهِ يَمْسَحُوْنَ بِهَا وُجُوْهَهُمْ, فَأَخَذتُ بِيَدِهِ فَمَسَحْتُ بِهَا وَجْهِيْ.(رواه البخارى)

    Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad bahwa ia shalat subuh bersama Rasulallah, lalu setelah shalat para jamaah berebut untuk menyalami Nabi, lalu mereka mengusapkan ke wajahnya masing-masing, dan begitu juga saya menyalami tangan Nabi lalu saya usapkan ke wajah saya. (H.R. Bukhari, hadits ke 3360).

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam…

    Saya coba nukil jawaban ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi Hafidzhahullah untuk pertanyaan yang serupa…

    Beliau menjawab :

    Pada biografi shahabat Yazid bin Al-Aswad radhiyallahu anhu, tidak disebutkan baginya riwayat dalam kutubus sittah sebuah riwayat pun kecuali satu riwayat dalam Sunan Abu Daud, At-Tirmidzy dan An-Nasaiy tentang shalat. Jadi, walaupun dicari dalam shahih Al-Bukhary hingga tujuh turunan tidak akan ketemu.
    Memang ada riwayat yang semisal dengannya diriwayatkan oleh Al-Bukhary, bukan dalam shahihnya, tapi dalam At-Tarikh Al-Kabir pada biografi Yazid bin Al-Aswad. Konteks yang lebih mendekati Lafazh yang disebutkan oleh penanya diriwayatkan oleh Ad-Darimy dan Ahmad. Sanadnya bagus dari sisi riwayat. Namun pemahaman terhadap riwayat tersebut harus diluruskan sebagai berikut:
    Pertama,
    hadits tersebut menunjukkan boleh bertabarruk dengan dzat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan apa yang berasal dari beliau seperti bekas wudhu, rambut, ludah dan semisalnya, karena Allah telah menjadikan berkah pada Nabi-Nya dan Allah mengidzinkan hal tersebut khusus untuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Siapa yang meyakini hal tersebut untuk selain Nabi, maka dia telah berdusta atas Nama agama. Tidak pernah ada bentuk tabarruk kepada selain Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tidak kepada Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali maupun selainnya dari orang-orang Shalih.
    Kedua,
    hadits tersebut tidak menunjukkan bolehnya bersalaman selepas shalat, karena kejadian tersebut tidak ada kaitannya dengan shalat, dengan bukti bahwa para shahabat juga bersalaman dengan Nabi shalallahu alaihi wa sallam pada selain shalat untuk keperluan yang sama sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa riwayat tentang tabarruk.
    Wallahu A’lam

Tinggalkan komentar