Hukum Gadai / Agunan Dalam Islam (Rahn)


 

HUKUM RAHN

Ar-Rahn merupakan mashdar dari rahana-yarhanu-rahnan; bentuk pluralnya rihân[un], ruhûn[un] dan ruhun[un]. Secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng); juga berarti al-habs (penahanan). [Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’, IV/213, al-Maktab al-Islami, Beirut. 1400 ; Muhammad bin Ahmad ar-Ramli al-Anshari, Ghâyah al-Bayân Syarh Zabidi ibn Ruslân, I/193, Dar al-Ma’rifah, Beirut. tt; Abu Abdillah al-Maghribi, Mawâhib al-Jalîl, V/2, Dar al-Fikr, Beirut, cet. ii. 1398]

Secara syar‘i, ar-rahn (agunan) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya.

Ar-Rahn disyariatkan dalam Islam. Allah Swt. berfirman: “Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (TQS al-Baqarah [2]: 283).

Aisyah ra. menuturkan: “Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Anas ra. juga pernah menuturkan: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu alaihi wasalam pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR al-Bukhari).

Ar-Rahn boleh dilakukan baik ketika safar maupun mukim. Firman Allah, in kuntum ‘alâ safarin (jika kalian dalam keadaan safar), bukanlah pembatas, tetapi sekadar penjelasan tentang kondisi. Riwayat Aisyah dan Anas di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam melakukan ar-rahn di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim. [QS al-Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa dalam muamalah tidak secara tunai ketika safar dan tidak terdapat penulis untuk menuliskan transaksi itu maka ar-rahn dalam kondisi itu hukumnya sunnah. Dalam kondisi mukim hukumnya mubah. Lihat: Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (Sûrah al-Baqarah), hlm. 437-438, Dar al-Ummah, Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006.]

Imam Al Qurthubi mengatakan : “Tidak ada seorangpun yang melarang Ar- Rahn pada keadaan tidak safar, kecuali Mujahid, Al Dhahak dan Dawud (Ad Dzohiri) [AbhatsHai’at Kibar Ulama 6/107]. Demikian juga Ibnu Hazm.

Adapun Ibnu Qudamah, beliau mengatakan : Diperbolehkan Ar-rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).

Sedangkan Ibnul Mundzir mengatakan : Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Menurutnya, Ar-Rahn tidak ada kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).

Dalam keadaan demikian, para ulama berselisih dalam dua pendapat.

Pendapat Pertama : Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah).

Ibnu Qudamah: berkata Ar-rahn tidaklah wajib. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya. Karena ia (Ar-Rahn) adalah jaminan atas hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung jawaban)” [Al Mughni 6/444] .
Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan Ar-Rahn dalam keadaan mukim sebagaimana disebutkan diatas yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajib. Demikian juga karena Ar-Rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti halnya Adh-Dhimaan (Jaminan Pertanggung jawaban) dan Al Kitabah (penulisan perjanjian hutang). Disamping itu, juga karena ini adanya kesulitan ketika harus melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila Al-Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya.

Pendapat Kedua : Wajib dalam keadaan safar. Demikian pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah:

“Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”

Menurut mereka, kalimat “(maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang))” adalah berita yang rmaknanya perintah. Juga dengan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semua syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka ia bathil walaupun seratus syarat.” [HR Al Bukhari]

Mereka mengatakan: Pensyaratan Ar-Rahn dalam keadaan safar ada dalam Al-Qur’an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim, sehingga ia tertolak.

Pendapat ini dibantah, bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya : “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)” [Al-Baqarah ; 283].

Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu’amalah adalah boleh (mubah) hingga ada larangan, dan disini tidak terdapat adanya larangannya. [Abhats Hai’at Kibar Ulama 6/112-112]

Yang rojih adalah pendapat pertama, Wallahu A’lam.

Ar-rahn mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok), yaitu:

  • Shighat (ijab dan qabul)
  • Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang mengagunkan (ar-râhin) dan yang menerima agunan (al-murtahin)
  • Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).

Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf, maka akad ar-rahn tersebut sah.

Harta yang diagunkan disebut al-marhûn (yang diagunkan). Harta agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada al-murtahin pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin). Bisa juga yang iserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-lain.

Harta agunan itu haruslah harta yang secara syar‘i boleh dan sah dijual. Karenanya tidak boleh mengagunkan khamr, patung, babi, dan sebagainya. Harta hasil curian dan gasab juga tidak boleh dijadikan agunan. Begitu pula harta yang bukan atau belum menjadi milik ar-râhin karena Rasul Shalallahu alaihi wasalam telah melarang untuk menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi milik kita. [Rasul bersabda, “Lâ tabi’ mâ laysa ‘indaka (Jangan engkau jual apa yang bukan milikmu) (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi)]

Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli dengan kredit tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus dijadikan agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mabî’) tadi.

Akad ar-rahn (agunan) merupakan tawtsîq bi ad-dayn, yaitu agar al-murtahin percaya untuk memberikan utang (pinjaman) atau bermuamalah secara tidak tunai dengan ar-râhin. Tentu saja itu dilakukan pada saat akad utang (pinjaman) atau muamalah kredit. Jika utang sudah diberikan dan muamalah kredit sudah dilakukan, baru dilakukan ar-rahn, maka tidak lagi memenuhi makna tawtsîq itu. Dengan demikian, ar-rahn dalam kondisi ini secara syar‘i tidak ada maknanya lagi.

Pada masa Jahiliah, jika ar-râhin tidak bisa membayar utang (pinjaman) atau harga barang yang dikredit pada waktunya, maka barang agunan langsung menjadi milik al-murtahin. Lalu praktik Jahiliah itu dibatalkan oleh Islam. Rasul Shalallahu alaihi wasalam bersabda : “Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya.” (HR as-Syafii, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni)

Karena itu, syariat Islam menetapkan, al-murtahin boleh menjual barang agunan dan mengambil haknya (utang atau harga kredit yang belum dibayar oleh ar-râhin) dari hasil penjualan tersebut. Lalu kelebihannya harus dikembalikan kepada pemiliknya, yakni ar-râhin. Sebaliknya, jika masih kurang, kekurangan itu menjadi kewajiban ar-râhin. Hanya saja, Imam al-Ghazali, menegaskan bahwa hak al-murtahin untuk menjual tersebut harus dikembalikan kepada hakim, atau izin ar-râhin, tidak serta-merta boleh langsung menjualnya, begitu ar-râhin gagal membayar utang pada saat jatuh temponya. [Abu Hamid al-Ghazali, al-Wasith, III/520, Dar as-Salam, Kairo. 1417 H]

Atas dasar ini, muamalah kredit motor, mobil, rumah, barang elektronik, dsb saat ini-yang jika pembeli (debitor) tidak bisa melunasinya, lalu motor, mobil, rumah atau barang itu diambil begitu saja oleh pemberi kredit (biasanya perusahaan pembiayaan, bank atau yang lain), jelas menyalahi syariah. Muamalah yang demikian adalah batil, karenanya tidak boleh dilakukan.

Pemanfaatan al-marhun oleh al-Murtahin [An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/340-343, min mansyurat Hizb at-Tahrir, Dar al-Ummah li ath-Thaba’ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi’, Beirut, cet. v (mu’tamadah). 2003]

Setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Namun, itu bukan berarti al-murtahin boleh memanfaatkan harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah tawtsîq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadis di atas, tetap menjadi hak pemiliknya, yakni ar-râhin. Karena itu, ar-râhin berhak memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan barang agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak mengurangi manfaat barang yang diagunkan (al-marhun). Ia juga boleh menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah al-murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan.

Hanya saja, pemanfaatan barang oleh al-murtahin tersebut hukumnya berbeda dengan orang lain. Jika akad ar-rahn itu untuk utang dalam bentuk al-qardh, yaitu utang yang harus dibayar dengan jenis dan sifat yang sama, bukan nilainya. Misalnya, pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah, atau beras 1 ton (dengan jenis tertentu), atau kain 3 meter (dengan jenis tertentu).

Pengembaliannya harus sama, yaitu 50 juta rupiah, atau 1 ton beras dan 3 meter kain dengan jenis yang sama [Samih ‘Athif az-Zain, al-Mu’amalat, Dar al-Kitab al-Lubnani, Lebanon, cetakan I, 1995, 285 dan 303-304]. Dalam kasus utang jenis qardh ini, al-murtahin tidak boleh mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu merupakan tambahan manfaat atas qardh. Tambahan itu termasuk riba dan hukumnya haram. [Rasul bersabda : “kullu qardhin jarra manfa’atan fahuwa majhun min wujûhi ar-ribâ (Setiap pinjaman yang menarik suatu manfaat maka itu termasuk salah satu bentuk riba.) [HR al-Baihaqi]]

Jika ar-rahn itu untuk akad utang dalam bentuk dayn, yaitu utang barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya, seperti hewan, kayu bakar, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung berdasarkan nilainya [Samih ‘Athif az-Zain, al-Mu’amalat, Dar al-Kitab al-Lubnani, Lebanon, cetakan I, 1995, 285 dan 303-304. Secara umum, sebenarnya dayn lebih umum daripada qardh. Dengan kata lain, dayn juga meliputi qardh, namun konteks dayn yang dimaksud dalam pembahasan ini dispesifikkan untuk kasus utang di luar qardh, yang telah dijelaskan di atas], maka al-murtahin boleh memanfaatkan barang agunan itu dengan izin dari ar-râhin. Sebab, manfaat barang agunan itu tetap menjadi milik ar-râhin. Tidak terdapat nash yang melarang hal itu karena tidak ada nash yang mengecualikan al-murtahin dari kebolehan itu.

Ketentuan di atas berlaku, jika pemanfaatan barang agunan itu tidak disertai dengan kompensasi. Namun, jika disertai kompensasi, seperti ar-râhin menyewakan agunan itu kepada al-murtahin, maka al-murtahin boleh memanfaatkannya baik dalam akad al-qardh maupun dayn. Karena dia memanfaatkannya bukan karena statusnya sebagai agunan al-qardhu tetapi karena dia menyewanya dari ar-rahin.

Dengan ketentuan, sewanya tersebut tidak dihadiahkan oleh ar-râhin kepada al-murtahin. Namun, jika sewanya tersebut dihadiahkan, maka statusnya sama dengan pemanfaatan tanpa disertai kompensasi, sehingga tetap tidak boleh dalam kasus al-qardh, dan sebaliknya boleh dalam kasus dayn.

KAPAN AR-RAHN (GADAI) MENJADI KEHARUSAN?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah keharusan Ar-Rahn. Apakah langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah serah terima barang gadainya

Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.

[1]. Serah terima adalah menjadi syarat keharusan terjadinya Ar-Rahn. Demikian pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah.

Dan Ar-Rahn adalah transaksi penyerta yang memerlukan adanya penerimaan, sehingga perlu adanya serah terima (Al-Qabdh) seperti hutang. Juga karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka tidak diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia. [Al Mughni 6/446]

[2]. Ar-Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya maka ia pun dipaksa untuk menyerahkannya. Demikian pendapat madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah.

Ar-Rahn adalah akad transaksi yang mengharuskan adanya serah terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti hal jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, bahwa serah terima hanyalah menjadi penyempurna Ar-Rahn dan bukan syarat sahnya.

Menurut Prof. DR. Abdullah Al Thoyyar, yang rajih, bahwasanya Ar-Rahn menjadi keharusan dengan adanya akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faidah Ar-Rahn, yaitu berupa pelunasan hutang dengannya atau dengan nilainya, ketika (hutangnya) tidak mampu dilunasi.

KAPAN SERAH TERIMA AR-RAHN DIANGGAP SAH?
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.

Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.

Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, dalam hal ini perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.

HUKUM-HUKUM SETELAH SERAH TERIMA.
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang.

[1]. Pemegang Barang Gadai
Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). [Al-Baqarah : 283]

Dan sabda beliau “Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” [Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi]

[2]. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi]

Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai. [Lihat pembahsannya dalam Taudhih Al Ahkam 4/462-477]

Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan barang gadai menjadi hak pihak penggadai, karena barang itu merupakan miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan Murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan, dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu berarti peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka Murtahin mengendarainya dan memeras susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasulullah “Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah, apabila digadaikan. Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberi nafkah” [HR Al Bukhori no. 2512]

Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah mereka memandang Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya” [HR Al daraquthni dan Al Hakim]

Mereka tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya, kecuali Ahmad dan inilah yang rajih Insya Allah karena hadits shohih tersebut. [Al Fiqh Al Muyassar hal 117]

Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits pemanfaatan kendaraan gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul syari’at menunjukkan, hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin (yang memberikan hutang) memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila Murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini terdapat kompromi dua kemaslahatan dan dua hak. [Dinukil dari Taudhih Al Ahkaam 4/462]

[3]. Pertumbuhan Barang Gadai
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya [Abhats Hai’at Kibar Ulama 6/134-135]

[4]. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu melunasinya

Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut). Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya. [Taudhih Al Ahkaam 4/467]

Kesimpulannya, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila Rahin dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun bila Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya, dengan izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Demikianlah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Adapun Malikiyah, mereka memandang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang, Murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.[ Al Fiqh Al Muyassar hal 119]

Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu terwujud dengan menjual barang gadai tersebut. Juga untuk mencegah adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya, jika diberlakukan penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya, maka selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya, maka penggadai tersebut tetap memiliki hutang sisa, antara nila barang gadai denan hutangnya dan ia wajib melunasinya.

Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai. Penyelesaian dan pelunasan hutang dilakukan secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di tengah masyarakat kebanyakan. Yakni terjadinya tindak kezhaliman yang dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang gadai, walau nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat. Perbuatan semacam ini, sangat jelas merupakan perbuatan Jahiliyah dan perbuatan zhalim yang harus dihilangkan. Semoga kita terhindar dari perbuatan ini.

Maraji’ :

  • Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57
  • An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.
  • Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.
  • Kitab Al Fiqh Al Muyassarah, Qismul Mu’amalah, Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 115
  • Abhaats Hai’at Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su’udiyah, disusun oleh Al Amaanah Al ‘Amah Lihai’at Kibar Al Ulama. Cetakan pertama tahun 1422H
  • Kitab Taudhih Al Ahkam Min Bulugh Al Maram, Syeikh Abdullah Al Bassaam cetakan kelima tahun 1423, Maktabah Al Asadi, Makkah, KSA
  • Mughni, Ibnu Qudamah tahqiq DR. Abdullah bin Abdulmuhsin Alturki dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit hajar, Kairo, Mesir.
  • Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan Muhamma Najieb Al Muthi’I, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa Al TUrats Al ‘Arabi, Beirut.

39 Responses to “Hukum Gadai / Agunan Dalam Islam (Rahn)”

  1. ASSALAMUAL AYKUM WARAMATUHOLLIH WABARAKATUHA
    AFWAN SAYA BARUSAN COPY LOGA G SALAFY ,..NGGAK PAPAKAN?

  2. Wa alaykum salam warahmatullah wabarakatuh…

    Silahkan…

  3. terima kasih atas pembahasan rahn nya..
    moga bermanfaat bagi kita semuwa

  4. assalamu’alaikum…
    jazakumullahu khairan

  5. Terimakasih atas sharing ilmu Gadai Syariah, semakin memperkuat landasan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT..

  6. Ada orang menggadaikan tanah pada saya..dengan hitungan rupiah emas..yaitu 5 rupiah emas..nanti di bayar oleh orng tsbt membayar pada saya 5 rupiah emas…kemudian tanah tersebut saya manfaatkan untk berkebun…boleh kah gadai seperti itu..mohon pencerahan nya.. Trims

    Abu al Maira :
    Haram hukumnya bagi orang yang menerima barang gadaian [pemberi pinjaman] untuk memanfaatkan barang yang digadaikan [dari penerima pinjaman].

    Setiap pinjaman yang menarik suatu manfaat maka itu termasuk salah satu bentuk riba. [HR al-Baihaqi]

    Yang boleh dimanfaatkan adalah hewan ternak yang digadaikan, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wasalam “Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” [Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi]

  7. Assalamualaikum,
    Saya mau tanya, ada tetangga pinjam uang kesaya dgn jaminan tanah untuk jalan yg dipakai bersama (karena waktu itu saya beli rumah tdk ada jalan), kemudian setelah lebih dari tanggal jatuh tempo dan hampir setahun lebih sudah nunggak tetap tidak bisa bayar, apakah boleh tanah yang umtuk jalan tsb saya miliki dgn dimasukkan ke Akta Jual Beli Tanah
    Wassalam
    Trims

    Abu al Maira
    Alaikumussalam warahmatullah…

    Jika tanah tersebut sudah dihibahkan oleh sang pemilik untuk kepentingan umum, ya harap dimaklumi. Biasanya untuk kasus-kasus seperti ini, pemilik tanah sudah “merelakan’ tanahnya untuk dijadikan jalanan umum. Sebaiknya anda bicarakan dengan sang pemilik tanah dan masyarakat di sana.

    Tapi kalau si pemilik tanah menyataakan bahwa tanah tsb tetap menjadi miliknya dan boleh dijual, maka sebaiknya anda membicarakan ini baik2. Khawartir malah nantinya anda didemo oleh masyarakat sekitar.

  8. assalamu’alaikum wr.wb.

    sangat informatif artikelnya.
    mohon ijin Copas…

    wassalam wr.wb.

  9. assalamualaikum wr. wb.

    saya baru baca artikelnya, dan saya sudah terlanjur melakukan gadai yg saya kira mengandung riba setelah saya baca artikel , bagaimana cara saya bertobat, karena dari uang yang saya pinjam terdapat bunga. terimakasih……….

    Abu al Maira :

    Alaikumussalaam warahmatullah…

    Jika Bapak mau bertobat dari hal-hal seperti itu, ya minta ampunlah kepada Allah dan jangan diulangi lagi…

  10. mau tanya mas, begini<, dditempat saya akhir-akhir ini marak akad gadai sepeda motor. dan motor yang digadaikan itu digadaikan lagi ke orang lain. dan yang menggadai tersebut bebas menggunakan motor tersebut sampai motor itu ditarik oleh pemiliknya.

    apakah muamalah tersebut hukumnya tidak boleh jika yang punya motor mengizinkan pemakaian motor tersebut?

    Abu al Maira :

    Intinya begini mas… Memanfaatkan barang gadaian itu haram hukumnya kecuali atas hewan ternak yang kita harus nafkahi makan dan minumnya mau tidak mau. Misalkan seseorang menggadaikan sawahnya/ladangnya kepada kita. Maka haram hukumnya kita menanami sawah/ladang tersebut.

    Begitu juga dengan motor, haram hukumnya memanfaatkan motor gadaian tersebut untuk kita manfaatkan. Terkecuali hal ini diperbolehkan oleh si pemilik barang, atau si pemilik barang mengamanatkan untuk merawat motornya seperti memanaskan mesin, sekedar membawa motor keliling2 untuk menggerakkan mesin dan roda, maka ini tidak mengapa.
    Akan tetapi jika pemanfaatan barang gadaian dipersyaratkan pada saat akad gadai, misalnya si penerima barang gadai mensyaratkan bahwa dia boleh menggunakan/memanfaatkan barang gadaian, maka ini juga tidak boleh.

  11. Ass. Sy meminjamkan uang 10 jt dgn gadaian sertifikat rumah. Kesepakatn biaya penitipan barang gadaian antara kami adalh 20rb/hr dgn tempo 6 bln. Stelah jatuh tempo, gadaian diprpanjang 3 bln lg dgn biaya gadai tetap 20rb/hr. Bolehkah gadai smacam ini? Tlg dibls. Mksh. Wss.

    Abu al Maira :

    Kaidahnya, Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan [bagi si pemberi pinjaman], maka itu adalah riba.

    Jika anda memberi pinjaman dan memperoleh keuntungan dari “biaya penitipan” maka itu adalah riba dan HARAM hukumnya.

  12. Seseorang menggadaikan sawah dengan kita untuk kepentingan usaha,sawah diserahkan dg kita dg hak penuh untuk dikelolah. Apakah perbuatan ini juga diharamkan ? Terimakasih atas jawabannya

    Abu al Maira :

    Pada dasarnya “Setiap piutang yang memberikan manfaat kepada si pemberi pinjaman maka itu adalah riba”

    Amannya, terima saja gadaian sawah tersebut dan jangan dimanfaatkan oleh anda….

    • Terimakasih atas jawabannya. Saya ingin menangapi secara logika:
      Jika sawah dibiarkan tanpa digarap pasti tdk bermanfaat, sebaliknya jika digarap ada kemungkinan berhasil atau gagal.Demikian juga Si Penggadai ada kemungkinan berhasil/gagal . Secara sederhana saya pinjam istilah alih profesi.Bagaimana logika ini ?

  13. assalamu alaikum, saya mau menanyakan tentang hukum hutang piutang, kalau ada seseorang yang meminjam emas 10 gram, lalu ia jual emas itu, tetapi perjanjiannya pihak yang berutang akan mengembalikan dalam bentuk emas 10 gram, haram tidak hukum hutang piutang seperti ini?

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam warahmatullah

    Boleh…. Dengan karat yang sama

  14. Assalamualaikum Wr.Wb
    Saya di tawari gadai untuk sebuah kendaraan motor, pemilik motor tersebut menggadaikannya kepada saya 6jt utk setahun. Jika sudah setahun maka pemilik menawarkan utk membayar 6,6Jt, jika lewat masa setahun maka mboleh menjadi milik saya. Syarat2 diatas di tawarkan oleh pemili motor tsb. Apakah saya selaku murtahin boleh menerima hal seperti itu utk menjaga kehalalannya?

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam warahmatullah…

    Yang benar adalah barang gadaian harus dijual untuk melunasi hutang. Jika barang yang digadaikan nilainya kurang dari hutang, maka anda berhak meminta dilunasi sisanya. Adapun jika anda mengikhlaskan kekurangannya, maka itu sah-sah saja.
    Jika barang gadaian dijual dan nilai jualnya lebih dari nilai hutang, maka anda wajib mengembalikannya kepada si pemilik barang tersebut..

    Adapun sistem yang terjadi di atas, anda menerima gadaian senilai 6juta dan anda memberikan pinjaman kepada teman anda tersebut sebesar 6juta.
    Selanjutnya jika teman anda tersebut memberikan 6,6juta [kelebihan pembayaran], maka itu adalah riba dan HARAM diterima.

  15. Jazakalloh khoiron atas ilmu yg tlh di berikan…

  16. dalam gadai tentunya ada sebab, apakah sebab itu termasuk rukun dalam gadai?????

    Abu al Maira :

    Sebatas pengetahuan saya sebab tidak menjadi rukun dalam gadai

  17. Assalammu’alaykum,

    saya mau bertanya mengenai gadai emas yang biasanya ada biaya penitipan untuk tiap gram emas. Bagaimana hukumnya?

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam…

    Lihat2 kasusnya,….

    Kalau biaya disebabkan perlunya extra biaya yang harus dikeluarkan untuk pengamanan jaminan emas tersebut maka diperbolehkan. Misal, karena emas tersebut harus disimpan di pihak ketiga yang harus dibayar…

    Tapi jika biaya tersebut hanya akal-akalan untuk menarik keuntungan, maka itu adalah HARAM

  18. Assalamu’alaykum
    Di lingkungan tempat tinggal keluarga saya,ada sistem gadai dengan illustrasi sebagai berikut:
    1. Si “A” menggadaikan hartanya yang berupa sawah.
    2. Si “B” meminjamkan uang kepada “A” atas sawah yang digadaikannya
    3. Tempo waktu pelunasan uang yang “B” pinjamkan tidak ditentukan. Artinya “A” boleh membayar kapan saja ketika “A” merasa mampu.
    4. Sawah tetap di kelola oleh “A”. “B” tidak ada andil sedikitpun dalam pengelolaan sawah
    5. Sebagian dari hasil panen sawah tersebut di berikan ke “B”. Dan hal ini terus berlangsung, hingga utang bisa dilunasi.
    Bagaimana hukum gadai seperti ini,mohon penjelasannya. Karena praktek seperti ini,sudah menjadi kebiasan masyarakat di lingkungan tempat tinggal keluarga saya.

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam warahmatullah….

    Jika bagian B adalah hal yang dipersyaratkan dalam gadai tadi atau sudah menjadi keharusan bagi si A untuk memberikan sebagian hasil panennya kepada si B, maka itu adalah riba dan haram hukumnya…

    • Jazakallah khair.
      Sedikit saja pertanyaan terakhir, untuk bisa memberikan penjelasan ke keluarga saya nantinya.Apakah termasuk juga riba, jika B yang mengelola sawah si A dan hasil panennya dinikmati oleh B?

      Abu al Maira :

      Wa iyyak…

      Intinya begini pak… Setiap pinjaman/piutang yang memberikan manfaat kepada orang yang memberikan pinjaman maka itu adalah riba….
      Dan yang anda sebutkan diatas itu juga termasuk riba.

  19. assalamualaikum
    mohon pencerahanya
    untuk kasus kebun emas yg mana emas d gadai untuk membeli emas lagi dan demikian seterusnya,apakah ini termasuk riba.
    karena pada saatnya harga emas naik dan d jual utk melunasi hutang gadainya tersebut

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam…

    Selama orang tersebut menggadaikan emasnya dan tidak ada sistem riba di dalamnya maka boleh…
    Jika dalam membeli/menjual emas tersebut tidak ada sistem riba di dalamnya maka boleh….

  20. Asaalaamu’alaikum Wr Wb,
    Bahwa sekarang banyak tumbuh usaha jasa pegadaian syariah, yang pada intinya ingin mendapatkan suatu keuntungan ( manfaat ) dengan adanya transaksi gadai. Yang saya ingin tanyakan adalah:
    1. Apakah transaksi gadai itu bisa dikomersilkan ?
    2. Bagaimanakah caranya/seharusnya usaha jasa gadai syariah dilaksanakan agar bisa terhindar dari riba, tapi bisa mendapatkan jasa / manfaat ( berupa uang )?
    Demikian pertanyaan saya. terima kasih.
    Asaalaamu’alaikum Wr Wb,

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam warahmatullah…

    Yang namanya gadai adalah berkaitan dengan hutang piutang / pinjam meminjam… Tidak ada hal yang bisa dikomersilkan berkaitan dengan hutang piutang / pinjam meminjam… Secara umum, pinjaman/piutang yg memberikan manfaat/tambahan kepada si pemberi pinjaman adalah riba…

  21. Asaalaamu’alaikum Wr Wb,
    Terima kasih kasih jawabannya. Saya mau tanya lagi ,
    1. Apakah gadai syariah yang dilakukan oleh Bank Syariah atau lembaga keuangan syariah yang lain tetap ada unsur ribanya?
    2. Bolehkah bila pihak bank (al-murtahin) meminta biaya penitipan barang/sewa tempat untuk penitipan barang kepada pengagun (ar-râhin) ?

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam warahmatullah…

    1. Saya kurang mengetahui dengan pasti tentang sistem yang berjalan di bank/institusi pegadaian dalam konsep syariah mereka. Yang perlu diperhatikan, jika sistemnya melanggar kaidah2 yg ada maka itu adalah riba.

    2. Al Murtahin boleh saja meminta biaya sehubungan dengan penjagaan/perawatan atas barang yang diagunkan. Dan biaya yang dibebankan semata2 dikeluarkan hanya untuk keperluan penjagaan/perawatan atas barang gadaian dan bukan untuk mencari keuntungan.
    Pertanyaannya, adakah bank/institusi pegadaian yang memberikan jasa pegadaian tapi sama sekali tidak mengambil keuntungan…?? Saya rasa, tidak ada…

  22. Assalamualaikum wr wb,
    Setelah membaca pertanyaan dan tanggapan dari kawan-kawan, saya tertarik untuk masuk ke dalam pembahasan ini.
    Saya sedikit rancu mengenai pembatasan hal-hal yang bisa mengakibatkan riba dan hal-hal yang tidak mengakibatkan riba.

    Dalam prinsip syariah memang dikatakan apabila kita mengambil keuntungan/manfaat dari barang yang digadaikan, maka riba hukumnya. Namun ada pembatasan yang juga dikemukakan dalam hadizt yaitu binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya.

    Setelah mengalami perkembangan, maka pembatasan-pembatasan tersebut dianalogikan dan diterapkan oleh konsep gadai syariah. Konsep gadai syariah tidak mengambil keuntungan/manfaat dari barang yang digadaikan, namun mengenakan biaya administrasi dan biaya penyimpanan (sewa tempat penyimpanan) barang yang digadaikan.

    Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dan berdasarkan pendapat dari Abu Al Maira, maka semakin membuat kerancuan saya dalam memahami konsep gadai syariah.
    Sehingga memunculkan pertanyaan seperti yang diungkapkan oleh sodara/i hanif.

    Demikian yang dapat saya sampaikan, dan semoga saya mendapatkan penjelasan mengenai ini.
    wassalamualaikum wr wb.

    Abu al Maira :

    Jika anda menggadaikan kambing kepada saya, otomatis kambing itu harus diberi makan. Kan tidak mungkin kambing tidak dikasih makan, dan juga tidak mungkin kalau kambing dilarang untuk menghasilkan susu.

    Jika anda menganalogikan hadits tentang bolehnya mengambil susu dari kambing yg digadaikan dengan pengembangan2 atas batasan2 barang gadaian, dalam konteks apa…?

    Jika biaya yang dibebankan memang murni semata2 hanya untuk menjaga/merawat dan untuk membayar gaji pegawai yang mengatur administrasi pegadaian, tentu sah2 saja.
    Tetapi, jika kita menginginkan adanya keuntungan [PROFIT] atas proses gadai tersebut, nah ini yang tidak diperbolehkan.

    Tidak ada yang rancu dalam hal ini.

    Kalau kita mau jujur, kita bisa menjawab sendiri. Apakah ada bank/institusi yang melakukan sistem pegadaian yang sama sekali tidak mengambil keutungan atas biaya2 yang dibebankan kepada penggadai…?? Saya rasa tidak ada.

    Perlu saya tekankan lagi, berbeda antara biaya yang dibebankan sehubungan dengan kepentingan perawatan dan administrasi barang gadaian dengan PROFIT yang ditimbulkan sehubungan dengan adanya proses pegadaian tersebut. Karena pada dasarnya gadai adalah hutang piutang.

  23. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
    Maaf Pak, pertanyaan saya agak menyimpang dari topik, tapi masih berkaitan dengan riba. Saya meyakini bahwa bunga bank hukumnya haram. Baik itu berupa simpanan maupun pinjaman. Akan tetapi dalam praktiknya saya harus memanfaatkan jasa bank untuk melakukan bisnis saya. Saya tidak pernah menggunakan bank konvesional untuk meminjam dan menyimpan uang. Tapi saya memanfaatkannya untuk melakukan transfer dan menerima transfer. Apakah cara saya ini juga di haramkan dalam Islam. Kalau diharamkan, mohon solusinya.

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam…

    Itu halal…

  24. saya ingin bertanya soal hutang piutang seperti di komentar

    Hukum Gadai / Agunan Dalam Islam (Rahn)

    anda mengatakan bahwa itu haram karena ada kelebihan pembayaran padahal yang menentukan pembayaran setelah setahun itu kan adalah pihak yang punya hutang bukan pihak yang punya uang.

    kalau kasusnya seperti ini bagaimana.

    1. saya meminjam kan uang 1 jt ke teman saya dan harus mengembalikan juga 1 jt kesaya tanpa bunga sekalipun meski itu 2 bulan kemudian atau 6 bulan kemudian dan itu sudah dijelaskan sejak awal peminjaman. tapi saat dia membayar kesaya dia bayar 1,1 jt dia bilang kesaya kelebihannya sebagai tanda terima kasih.. bagaimana hukumnya?

    2. kasusnya sama seperti no.1 tapi saat di mengembalikan uang 1 jt, dia juga memberikan saya kado/hadiah misalnya berupa pakaian atau makanan dan juga sebagai tanda terima kasih. bagaimana hukumnya?

    padahal saya tidak pernah mengharapkan keuntungan dari uang pinjaman tersebut karena bunga adalah haram.

    terima kasih atas jawabannya

    Abu al Maira :

    Inti dari pertanyaan anda berujung pada kaidah umum mengenai riba yaitu :

    “Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat/tambahan keuntungan [bagi si pemberi pinjaman], maka itu adalah riba”

    Riba itu melingkupi 4 pihak, yaitu penerima riba, pemberi riba, pencatatnya dan saksi2nya… Dosa mereka berempat sama…

  25. Berarti dalam kasus saya tersebut itu RIBA, walaupun di dalam hati saya pun tidak ada niat untuk mengharapkan hadiah tersebut.

    Lalu bagaimana jika kasusnya seperti ini : hutangnya sudah dilunasi lama, tapi suatu saat misalnya setahun kemudian , dari uang yang dia pinjam setahun yang lalu untuk bisnisnya sekarang sudah menghasilkan lebih. Lalu dia membalas jasa , misalnya traktir makan dan dia pun mengatakan ini sebagai rasa terima kasih.

    Apakah ini tersebut RIBA karena hutangnya sudah lunas setahun yang lalu tanpa tambahan manfaat disaat pembayaran.

    Abu al Maira :

    Apa yang baik menurut hati belum tentu sesuai dengan syari’at…
    Sama saja dengan orang yang hendak memberikan tempat tinggal yang layak untuk keluarganya, lantas membeli rumah dengan cara kredit ribawi… Niatnya baik, tapi caranya melanggar syari’at…

    Kalau saya boleh berpendapat, rasanya jangka waktu satu tahun setelah selesainya hutang piutang cukup lama..

    • mnrt saya jwbn saudara agak sedikit keliru, krn mnurut saya utang piutang telah selesai, apa salah nya jika peminjam memberikan hadiah ,atau tanda ucapan rasa trimakasih atas pertolongan dari yg meminjamkan dia uang sehingga dia sukses dlm usahanya.

  26. Assalamualaikum,
    Mau tanya, kasusnya adalah sbb. Ada orang meminjam uang sebesar Rp. 6.000.000 dengan jaminan sebidang tanah, tiap bulan penghutang membayar bunga Rp. 600.000 kepada pemberi hutang.
    Atau 10 % dari 6 juta/bulan.
    Apa hukumnya kasus ini, riba murni atau termasuk rahn ?
    Salam,
    Hilal

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam…

    Berapakah nilai yang dikembalikan sesungguhnya ?

  27. Assalamualaikum.Wr. wb.
    saat ini saya aktif sebagai pengelola lembaga keuangan BMT. produk yang kami Murobahah dan Ar-Rahn. terus terang saya sangat ketakutan setelah membaca tanya jawab2 di rubrik ini. ada beberapa hal yang saya ingin tanyakan sbb:
    1. yang namanya BMT/ Bank syariah tidak lepas meminjamkan uangnya dengan menggunakan akad Murobahah/ Ar-rahn, dll. intinya selalu ada keuntungan yang diharapkan dari sana. mohon solusinya agar lembaga keuangan ini bisa dapat profit tapi tidak masuk ke dalam riba.
    2. akad apa sebenarnya yang pas untuk lembaga keuangan syariah agar terhindar dari riba namun tetap bisa menjalankan usahanya sebagai lembaga keuangan.
    terimakasih.

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam….

    1. Inilah yang banyak disoroti. Pada dasarnya BMT/Bank Syariah hampir [memang] tidak pernah bisa menjalankan sistem muamalah sesuai syariah itu sendiri. Solusinya, jika menjalankan akad ar-rahn maka jalankan sesuai syariat 100%, demikian juga untuk akad2 lainnya seperti murabahah dan mudharabah. Yang perlu dipahami adalah riba hukumnya haram, tetapi sesuatu yang haram dalam muamalah tidak selalu dihukumi riba.

    2. Banyak, asal siap menanggung resiko kerugian. Contoh, jika saya hendak membeli motor secara kredit kepada BMT, maka BMT harus benar2 membeli motor tersebut sebelum diserahkan kepada saya. Dalam arti BMT sudah benar2 memiliki motor tersebut dan sudah dikuasai sepenuhnya oleh BMT. Resiko yang ditanggung BMT adalah jika saya kemudian tidak jadi melakukan akad dengan BMT.

  28. Assalamu’alaikum.
    Ustadz, untuk hadiah atau tanda terimakasih yg diberikan si peminjam kepada si pemberi pinjaman bukan kah hal tersebut halal? Bukankah ada hadist bahwa rosulullah melebihkan umur onta yg dipinjam? ini saya copas hadistnya:
    “Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam pernah meminjam dari seseorang seekor onta yang masih muda. Kemudian ada satu ekor onta sedekah yang dibawa kepada beliau. Beliau lalu memerintahkan Abu Rafi’ radhiyallâhu’anhu untuk membayar kepada orang tersebut pinjaman satu ekor onta muda. Abu Rafi’ pulang kepada beliau dan berkata: “Aku tidak mendapatkan kecuali onta yang masuk umur ketujuh”. Lalu Beliau menjawab: “Berikanlah itu kepadanya! Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya”. (HR Muslim no.4192)

    Bukankah memberi hadiah atau melebihkan pembayaran hutang (tanpa permintaan dari si pemberi hutang) termasuk dalam makna hadist tsb “Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya”.

    Terimakasih

    ‘alaykumussalaam…

    Melebihkan pembayaran perlu diklarifikasi. Apakah pemberian pembayaran tersebut diakadkan di depan atau tidak ? Jika tidak diakadkan maka tidak mengapa.
    Namun perlu diperhatikan juga niatan si pemberi pinjaman. Jika dia mengetahui bahwa ada seseorang yang kerap membutuhkan uang pinjaman dan orang tersebut juga senang memberi hadiah saat menlunasi hutangnya. Jika demikian yang terjadi sama saja si pemberi hutang mengharapkan adanya kelebihan pembayaran.

    • Assalamu’alaikum. Terimaksih atas jawaban nya.
      Jika memang ada niatan si pemberi pinjaman dgn mengharapkan hadiah, apakah menjadikana dosa bagi si pemberi hadiah? Niat si pemberi hadiah murni sbg rasa terimakasih, terlepas apakah hadiah nya di harap kan atau tidak. Mohon tanggapanya. Terimakasih.

      ‘Alaikumussalaam…

      Selama tidak dipersyaratkan di awal, maka tidak masalah

  29. assamualaikum wr.wb saya mau menanyakan bagaimana hukum menggadaikan BPKB terimakasih

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam…

    Gadai dengan sistem riba haram hukumnya…

Trackbacks

Tinggalkan Balasan ke Haqqi Batalkan balasan