Benarkah Pelaksanaan Sistem Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah ?


Murabahah seolah menggenapi “khazanah” praktik-praktik ribawi di sekitar kita. Sistem ini awalnya mengadopsi praktik jual beli yang sudah berlaku umum. Namun dengan memosisikan bank sebagai lembaga pembiayaan, praktik ini dan yang sejenis -seperti leasing- pun tak lepas dari jerat riba.

Di antara sistem akad jual beli yang cukup banyak ditemukan pada bank-bank adalah apa yang mereka sebut dengan istilah murabahah. Sistem transaksi ini sering dijumpai di bank-bank yang mengatasnamakan dirinya “Bank Islam.” Banyak kaum muslimin yang terlena dengan embel-embel Syariah atau nama-nama berbahasa Arab pada produk-roduknya, sehingga jarang di antara mereka yang memperhatikan atau mempertanyakan dengan seksama sistem transaksi yang terjadi.
Maka menerangkan masalah seperti ini dipandang lebih wajib daripada system-sistem riba yang berlaku di bank-bank konvensional, sebab amat sedikit kaum muslimin yang mengetahuinya.
Istilah tersebut di atas sesungguhnya telah ada dan diulas oleh para ahli fiqih sejak dahulu. Namun kini istilah tersebut dipakai untuk sebuah hakekat permasalahan yang tidak sama dengan apa yang dahulu mereka ulas. Di kalangan ahli fiqih dikenal sebuah transaksi dengan istilah “jual beli amanah.” Disebut demikian karena seorang penjual wajib jujur dalam menyebutkan harga sebuah barang kepada seorang pembeli.

Transaksi ini ada 3 jenis:

  • Murabahah
    Gambarannya adalah ‘Amr -misalkan- membeli HP seharga Rp. 500 ribu lalu dia jual dengan keuntungan Rp. 100 ribu -misalkan-.
  • Wadhi’ah
    Gambarannya adalah seseorang membeli sepeda seharga Rp. 1.000.000,- kemudian karena terdesak kebutuhan, maka dijualnya dengan harga Rp. 900.000,-
  • Tauliyah
    Gambarannya adalah seseorang membeli barang seharga Rp. 10.000,- lalu dijual dengan harga yang sama.

Transaksi-transaksi di atas diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama, kecuali poin satu (murabahah) di mana sebagian kecil ulama memakruhkannya. Namun yang rajih adalah boleh dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Adapun sistem murabahah yang terjadi di bank-bank “Islami”, gambarannya sebagai berikut:

  • Calon pembeli datang ke bank, dia berkata kepada pihak bank: “Saya bermaksud membeli mobil X yang dijual di dealer A dengan harga Rp. 90 juta. Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut dengan pemohon, dengan mengatakan: “Kami jual mobil tersebut kepada anda dengan harga Rp. 100 juta, dengan tempo 3 tahun.” Selanjutnya bank menyerahkan uang Rp. 90 juta kepada pemohon dan berkata: “Silahkan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut.”
    Transaksi di atas dilakukan di kantor bank.
  • Sama dengan gambaran pertama, hanya saja pihak bank menelpon showroom dan berkata “Kami membeli mobil X dari anda.” Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: “Silahkan anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.”
    Hukum dua jenis transaksi di atas ini adalah haram sebab pihak bank menjual sesuatu yang belum dia terima.
  • Sama dengan gambaran sebelumnya, hanya saja pihak bank datang langsung ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata kepada pihak showroom: “Berikan mobil ini kepada si fulan (pemohon).” Sementara, akad jual beli dengan tambahan keuntungan antara pihak bank dan pemohon sudah purna sebelum pihak bank berangkat ke showroom.
    Hukum transaksi inipun haram, sebab pihak bank menjual sesuatu yang tidak dia miliki.
    Hakikat akad ini adalah pihak bank menjual nominal harga barang (90 juta) dibayar dengan nominal harga jual (100 juta) dengan formalitas sebuah mobil, dan ini adalah riba fadhl.
  • Sama dengan yang sebelumnya, hanya saja pihak bank datang ke showroom membeli mobil tersebut dan berkata: “Biarkan mobil ini di sini sebagai titipan.” Lalu pihak bank mendatangi pemohon dan mengatakan: “Pergi dan ambil mobil tersebut di showroom.”
    Hukum akad ini juga haram, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli barang hingga barang tersebut dipindahkan oleh sang pedagang ke tempat mereka sendiri. Maka transaksi di atas termasuk menjual sesuatu yang belum diterima.
  • Seorang pemohon datang ke bank dan dia butuh sebuah barang, maka pihak bank mengatakan: “Kami akan mengusahakan barang tersebut.” Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank, mungkin pula belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke toko dan membeli barang selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian terjadilah transaksi antara pemohon dan pihak bank.
    Pada akad di atas, pihak bank telah memiliki barang tersebut dan tidak dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut. Hukum transaksi ini dirinci:
  • bila akadnya dalam bentuk keharusan (tidak bisa dibatalkan) maka haram, karena termasuk menjual sesuatu yang tidak dia miliki.
  • bila akadnya tidak dalam bentuk keharusan dan bisa dibatalkan oleh pihak penjual atau pembeli, maka masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa kini:
  •  
    • Mayoritas ulama sekarang membolehkan transaksi tersebut, sebab tidak mengandung pelanggaran-pelanggaran syar’i. Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan Al-Lajnah Ad-Da`imah.
    • Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin melarang transaksi ini dengan alasan bahwa akad tersebut adalah tipu daya menuju riba, dan beliau memasukkan akad ini ke dalam sistem ‘inah bahkan lebih parah lagi.
      Hakikatnya adalah pinjam meminjam uang dengan bunga, di tengah-tengahnya ada sebuah barang sebagai formalitas. Kenyataan yang ada, pihak bank sendiri tidak akan mau dengan cara ini. Dia pasti membuat perjanjian-perjanjian, saksi-saksi, dan jaminan-jaminan atas barang tersebut.

Gambaran kelima di atas hampir tidak bisa dijumpai di bank-bank yang ada, kecuali dengan bentuk keharusan (tidak bisa dibatalkan).
Maka transaksi di atas juga tidak diperbolehkan dan kita harus berhati-hati dari sistem-sistem yang diberlakukan oleh bank manapun. (Syarhul Buyu’, hal. 90-92)
Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber :

Judul Asli : Sistem Murabahah, ditulis oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin, http://www.asysyariah.or.id

7 Responses to “Benarkah Pelaksanaan Sistem Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah ?”

  1. mohon ijin untuk mengcopy artikel dg maksud sbg bahan pertimbangan.

    Abu Al Maira :

    Silahkan akhi…. Jangan lupa sebutkan darimana ana mengambilnya…

  2. jadi artinya bagaimana ? bank2 syariah di Indonesia belum bebas riba ?
    saya ada rencana untuk pinjam di bank syariah untuk pembangunan rumah, bagaimana system yang amannya,

    terimakasih, wassalam.

    Abu Al Maira :

    Coba anda cermati lagi judul yang saya berikan : “Benarkah Pelaksanaan Sistem Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah ?”

    Dalam hal ini saya tidak memvonis bahwa system yang di jalankan oleh bank2 syariat di Indonesia tidak bebas riba. Dengan tulisan yang saya sampaikan, selanjutnya mari kita sama2 melihat, mempelajari dan menganalisa apakah memang sudah sesuai syariat atau tidak ? Kalau masalah bagi hasil antara nasabah dengan pihak bank, sepertinya pada umumnya tidak ada masalah. Hanya pada penyaluran pinjaman/dana kepada pihak debitur, nah disana banyak muncul masalah2.

    Mengenai rencana anda untuk pinjam uang dari bank syariah untuk renovasi, kebetulan saya ada info dari teman saya yang pernah melakukannya.

    Teman saya mengajukan pinjaman dana renovasi sebesar Rp 40 Juta dengan menyerahkan jaminan surat rumahnya. Selanjutnya, bank hanya memberikan Rp 28Juta plus 12,5%. Jadi yang harus dikembalikan Rp 31,5 Juta. Dengan kasus seperti ini, silahkan anda ambil kesimpulan sendiri. Allahu ‘alam. Ada baiknya anda tanya sendiri ke bank2 syariah.

    Sepanjang pengetahuan saya, system yang seharusnya adalah sbb :

    Anggaplah saya sebagai pihak bank. Anda datang kepada saya dan ingin bantuan dari saya untuk merenovasi rumah anda. Biaya yang kira2 anda butuhkan adalah sebesar Rp 40Juta, tetapi anda tidak punya dana tunai.
    Selanjutnya, saya mengatakan kesediaan untuk membantu anda. Saya catat2 apa2 saja yang ingin anda renov. Kemudian saya panggil developer, dan saya diskusikan berapa biaya yang dibutuhkan. Setelah saya memperoleh harga pasti, bahan bangunan sudah saya miliki dan kontrak kerja dengan pihak developer, saya konfirmasi kepada anda. Misalnya saya katakan biaya yang harus anda bayar untuk renovasi adalah sebesar Rp 50Juta, dicicil Rp 10Juta/bulan.
    Yang perlu diperhatikan adalah, anda bertransaksi dengan saya [sebagai pihak bank], bukan anda bertransaksi dengan pihak developer. Sebelum terjadi akad antara anda dengan saya, anda pun berhak untuk membatalkan keinginan anda, jadi tidak harus ada kepastian bahwa anda akan memakai jasa saya. Jika ada keluhanpun, maka anda komplain kepada saya.
    Demikian kira2 jalannya… Allahu ‘alam.

  3. terus bagaimana..?
    ada alternatif yang lebih “halal”..?

    Beri solusi juga donk..

  4. Alhamdulillah..
    artikel ini sangat bermanfaat bagi saya dalam menyelesaikan tugas kuliah…

  5. saya sepakat dengan artikel diatas, praktik yang terjadi dalam Pelaksanaan Sistem Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syariah Indonesia adalah Lembaga berubah menjadi seperti makelar padahal kesepakatan antara lembaga dengan pembeli (kreditur) adalah kesepakatan murahabah. Padahal antara makelar dan murahabah menjadi 2 hal yang berbeda.
    Yang sering disosialisasikan dan dikoar-koarkan adalah bahwa label ‘syariah’ menekankan pada akad yang jelas, yang dibeli apa? dan harganya berapa? berapa lama pembayarannya? apa jaminannya? serta disetujui oleh kedua belah pihak, jika jelas semua hal tersebut maka sudah syariah.
    Padahal dalam hadits-hadits dan fatwa ulama tidak demikian saja yang dikategorikan syariah, salah satu unsur utama dalam jual beli adalah penguasaan barang oleh penjual. Itu berarti jika ada dokumen dan lain-lain yang diberlakukan oleh pemerintah atas penguasaan barang tersebut (misal sertifikat rumah) maka penjual harus mengatasnamakan dirinya atas penguasaan tersebut. Baru boleh dijual. Ini sendiri tidak pernah dipraktekkan dalam murahabah oleh Lembaga Keuangan syariah di Indonesia.
    wallahualam bi showwab

  6. boleh tahu tidak,,,nama buku asli yang di karang oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin apa sih??? masalahnya saya ingin mengkaji lebih mendalam tentang sistem murabahah

    Abu al Maira :

    Itu bukan buku Pak, itu tulisan kajian beliau di situs Asy Syariah…

Trackbacks

Tinggalkan komentar