Hukum Sholat Qashar dan Sholat Jama’


SHOLAT QASHAR

Dari Muhammad bin Ja’far : ” Telah bercerita kepadaku Syu’bah, dari Yahya bin Yazid Al-Hanna’i yang menuturkan : “Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqashar shalat. Sedangkan aku pergi ke Kufah maka aku shalat dua raka’at hingga aku kembali. Kemudian Anas berkata : “Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala keluar sejauh tiga mil atau tiga farskah (Syu’bah ragu), dia mengqashar shalat. (Dalam suatu riwayat) : Dia shalat dua rakaat”. (Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/129) dan Al-Baihaqi (2/146).

Syaikh Al Albani menilai hadits ini sanadnya jayyid (bagus). Semua perawinya tsiqah,yakni para perawi Asy-Syaikhain, kecuali Al-Hanna’i dimana dia adalah perawi Muslim. Namun segolongan orang-orang tsiqah juga telah meriwayatkan darinya.

Dan hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim (2/145), Abu Dawud (1201), Ibnu Abi Syaibah (2/108/1/2). Juga diriwayatkan darinya oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya (Q. 99/2) dari beberapa jalur yang berasal dari Muhammad bin Ja’far, tanpa dengan ucapan Al-Hanna’i : “Sedangkan aku pergi ke Kufah….sampai aku kembali”. Meskipun ini tambahan yang benar. Bahkan oleh karenanya hadits ini berlaku. Demikian pula hadits ini juga dikeluarkan oleh Abu Awannah (2/346) dari jalur Abu Dawud (dia adalah Ath-Thayalisi), dia berkata : “Telah bercerita kepadaku Syu’bah. Namun Ath-Thayalisi tidak meriwayatkannya dalam Musnad-nya”.

(Al-Farsakh) berarti tiga mil. Dan satu mil adalah sejauh mata memandang ke bumi, dimana mata akan kabur ke atas permukaan tanah sehingga tidak mampu lagi menangkap pemandangan. Demikianlah penjelasan Al-Jauhari.

Namun dikatakan pula ; batas satu mil adalah jika sekira memandang kepada seseorang di kejauhan, kemudian tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan dan dia hendak pergi atau hendak datang, seperti keterangan dalam Al-Fath (2/467). Dan menurut ukuran sebagian ulama sekarang adalah sekitar 1680 meter.

Kandungan Hukumnya.
Hadits ini menjelaskan bahwa jika seseorang pergi sejauh tiga farsakh (satu farsakh sekitar 8 km), maka dia boleh mengqashar shalat. Al-Khuththabi telah mnjelaskan dalam Ma’alimus Sunan (2/49) : “Meskipun hadits ini telah menetapkan bahwa jarak tiga farsakh merupakan batas dimana boleh melakukan qashar shalat, namun sungguh saya tidak mengetahui seorangpun dari ulama fiqih yang berpendapat demikian”.

Dalam hal ini ada beberapa pertimbangan :

  • Bahwa hadits ini memang tetap seperti semula, namun Imam Muslim mengeluarkannya dan tidak dinilai lemah oleh lainnya.
  • Hadits ini tidak berbahaya dan boleh saja diamalkan. Soal tidak mengetahui adanya seorangpun ulama fiqih yang mengatakan demikian, itu tidak menghalangi untuk mengamalkan hadits ini. Tidak menemukan bukan berarti tidak ada.
  • Sesungguhnya perawinya telah mengatakan demikian, yaitu Anas bin Malik. Sedang Yahya bin Yazid Al-Hanna’i, sebagai perawinya juga telah berfatwa demikian, seperti keterangan yang telah lewat. Bahkan telah berlaku pula dari sebagian sahabat yang melakukan shalat qashar dalam perjalanan yang lebih pendek daripada jarak itu. Maka Ibnu Abi Syaibah (2/108/1) telah meriwayatkan pula dari Muhammad bin Zaid bin Khalidah, dari Ibnu Umar yang menuturkan. “Shalat itu boleh diqashar dalam jarak sejauh tiga mil”. Hadits ini sanadnya shahih. Seperti yang telah Syaikh Al Albani jelaskan dalam Irwa’ul Ghalil (no. 561).

Kemudian diriwayatkan dari jalur lain yang juga berasal dari Ibnu Umar bahwa dia berkata : “Sesunguhnya aku pergi sesaat pada waktu siang dan aku mengqashar (shalat)”.

Hadits ini sanadnya juga shahih, dan dishahihkan pula oleh Al-Hafidz dalam Al-Fath (2/467). Kemudian dia meriwayatkan dari Ibnu Umar (2/111/1).
“Sesunngguhnya dia mukim di Makkah dan manakala dia keluar ke Mina, dia mengqashar (shalat)”. Hadits ini sanadnya juga shahih, dan dikuatkan. Apabila penduduk Makkah hendak keluar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mina, dalam haji Wada’, maka mereka mengqashar shalat juga sebagaimana sudah tidak ada lagi dalam kitab-kitab hadits. Sedangkan jarak antara Makkah dan Mina hanya satu farsakh. Ini seperti keterangan dalam Mu’jamul Buldan.

Sementara itu Jibilah bin Sahim memberitahukan : “Aku mendengar Ibnu Umar berkata : “Kalau aku keluar satu mil, maka aku mengqashar shalat”

Hadits ini disebutkan pula oleh Al-Hafidz dan dinilainya shahih.

Hal ini tidak menafikan terhadap apa yang terdapat dalam Al-Muwatha maupun lainnya dengan sanad-sanadnya yang shahih, dari Ibnu Umar, bahwa dia mengqashar dalam jarak yang jauh daripada itu. Juga tidak menafikan jarak perjalanan yang lebih pendek daripada itu. Nash-nash yang telah Syaikh Al Albani sebutkan adalah jelas memperbolehkan mengqashar shalat dalam jarak yang lebih pendek daripada itu. Ini tidak bisa disanggah, terlebih lagi karena adanya hadits yang menunjukkan lebih pendek lagi daripada itu.

Al-Hafidzh telah menandaskan di dalam Al-Fath (2/467-468). “Sesunguhnya hadits itu merupakan hadits yang lebih shahih dan lebih jelas dalam menerangkan soal ini. Adapun ada yang berbeda dengan nya mungkin soal jarak diperbolehkannya mengqashar, dimana bukan batas akhir perjalanannya.

Apalagi Al-Baihaqi juga menyebutkan bahwa Yahya bin Yazid bercerita : “Saya bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat. Saya keluar Kufah, yakni Bashrah, saya shalat dua raka’at dua raka’at, sampai saya kembali. Maka Anas berkata ; (kemudian menyebutkan hadits ini)”.

Jadi jelas bahwa Yahya bin Yazid bertanya kepad Anas tentang diperbolehkannya mengqashar shalat dalam bepergian bukan tentang tempat dimana dimulai shalat qashar. Kemudian yang benar dalam hal ini adalah bahwa soal qashar itu tidak dikaitkan dengan jarak perjalanan tetapi dengan melewati batas daerah dimana seorang telah keluar darinya. Al-Qurthubi menyanggahnya sebagai suatu yang diragukan, sehingga tidak dapat dijadikan pegangan. Jika yang dimaksudkannya adalah bahwa jarak tiga mil itu tidak bisa dijadikan pegangan adalah bagus. Akan tetapi tidak ada larangan untuk berpegang pada batas tiga farsakh. Karena tiga mil memang terlalu sedikit maka diambil yang lebih banyak sebagai sikap berhati-hati.

Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Hatim bin Ismail, dari Abdurrahman bin Harmilah yang menuturkan : “Aku bertanya kepada Sa’id bin Musayyab : “Apakah boleh mengqashar shalat dan berbuka di Burid dari Madinah ?” Dia menjawab : “Ya”. Wallahu a’lam. [Syaikh Al Albani mengatakan sanad atsar ini, menurut Ibnu Abi Syaibah (2/15/1) adalah shahih.]

Diriwayatkan dari Allajlaj, dia menceritakan. “Kami pergi bersama Umar Radhiyallahu ‘anhu sejauh tiga mil, maka kami diberi keringanan dalam shalat dan kami berbuka”.

Hadits ini sanadnya cukup memadai untuk perbaikan. Semua adalah tsiqah, kecuali Abil Warad bin Tsamamah, dimana hanya ada tiga orang meriwayatkan darinya. Ibnu Sa’ad mengatakan : “Dia itu dikenal sedikit haditsnya”.

Atsar-atsar itu menunjukkan diperbolehkan melakukan shalat qashar dalam jarak yang lebih pendek daripada apa yang terdapat dalam hadits tersebut.

Ini sesuai dengan pemahaman para sahabat Radhiyallahu anhum. Karena dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, kata safar (bepergian) adalah mutlak, tidak dibatasi oleh jarak tertentu, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat….” [An-Nisaa : 101]

Dengan demikian maka tidak ada pertentangan antara hadits tersebut dengan atsar-atsar ini. Karena ia memang tidak menafikan diperbolehkannya qashar dalam jarak bepergian yang lebih pendek daripada yang disebutkan di dalam hadits tersebut.

Oleh karena itu Al-Allamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad (juz I, hal. 189) mengatakan : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi bagi umatnya pada jarak tertentu untuk mengqashar shalat dan berbuka. Bahkan hal itu mutlak saja bagi mereka mengenai jarak perjalanan itu. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersilahkan kepada mereka untuk bertayamum dalam setiap bepergian. Adapun mengenai riwayat tentang batas sehari, dua hari atau tiga hari, sama sekali tidak benar. Wallahu ‘alam”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan : “Setiap nama dimana tidak ada batas tertentu baginya dalam bahasa maupun agama, maka dalam hal itu dikembalikan kepada pengertian umum saja, sebagaimana ‘bepergian” dalam pengertian kebanyakan orang yaitu bepergian dimana Allah mengaitkannya dengan suatu hukum”.

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai jarak perjalanan diperbolehkannya qashar shalat. Dalam hal ini ada lebih dari dua puluh pendapat. Namun apa yang kami sebutkan dari pendapat Ibnul Qayyim dan Ibnu Taimiyah adalah yang paling mendekati kebenaran, dan lebih sesuai dengan kemudahan Islam.

Pembatasan dengan sehari, dua hari, tiga hari atau lainnya, seolah juga mengharuskan mengetahui jarak perjalanan yang telah ditempuh, yang tentu tidak mampu bagi kebanyakan orang. Apalagi untuk jarak yang belum pernah ditempuh sebelumnya.

Dalam hadits tersebut juga ada makna lain, yakni bahwa qashar itu dimulai dari sejak keluar dari daerah. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama.

Sebagaimana dalam kitab Nailul Authar (3/83) dimana penulisnya mengatakan :  “Sebagian ulama-ulama Kufah, manakala hendak berpergian memilih shalat dua raka’at, meskipun masih di daerahnya. Sebagian mereka ada yang berkata :”Jika seseorang itu naik kendaraan, maka qashar saja kalau mau”.

Sementara itu Ibnul Mundzir lebih cenderung kepada pendapat yang pertama. Dimana mereka sepakat bahwa boleh qashar setelah meninggalkan rumah. Namun mereka berbeda mengenai sesuatu sebelumnya. Tapi hendaknya seseorang menyempurnakan sesuatu yang perlu disempurnakan sehingga dia diperbolehkan mengqashar shalat. Ibnul Mundzir berkata lagi : “Sungguh saya tidak mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqashar shalat dalam suatu perjalanannya, kecuali setelah keluar dari Madinah”.

Syaikh Al Albani menemukan : Sesungguhnya hadits-hadits yang semakna dengan hadits ini adalah banyak. Syaikh Al Albani telah mengeluarkan sebagian darinya dalam Al-Irwa’ yaitu dari hadits Anas, Abi Hurairah, Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Silahkan periksa no. 562 !

Adapun mengenai sholat qashar, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berpendapat : “Qashar shalat itu dianjurkan, bukan wajib walau dari zhahir nas terlihat wajib, sebab di sana sini masih banyak nas lainnya yang menunjukkan tidak wajib. Safar yang bisa membolehkan qashar shalat, berbuka puasa, menyapu dua sepatu atau dua kaos kaki, adalah tiga hari lamanya. Hal ini masih diperselisihkan ulama. Sebagian mereka mensyaratkan bahwa jarak qashar itu harus mencapai sekitar 81 Km. Sebagian lainnya tidak menentukan jarak tertentu yang penting sesuai dengan adat yang berlaku, sebab syara’ tidak menentukannya. Dalam suatu nazham disebutkan : “Setiap perkara yang timbul dan tak ada ketentuan syara’, maka lindungilah dengan ketentuan adat suatu tempat (‘uruf)“.

Dengan demikian, jika telah berlaku hukum safar, baik menurut jarak atau ‘uruf, maka setiap orang patut mengikutinya, baik dalam hal qashar shalat, berbuka puasa atau menyapu sepatu, dalam waktu tiga hari lamanya. Jika tidak ada kesulitan, maka puasa lebih baik tetap dipenuhi bagi yang tengah dalam perjalanan.

Qashar Dalam Perjalanan

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam berpendapat sebagai berikut :

Qashar di sini berlaku untuk shalat-shalat empat rakaat, yaitu Zhuhur, Ashar dan Isya. Dinukil dari Ibnul Mundzir adanya ijma’, bahwa tidak ada qashar dalam shalat Maghrib dan Shubuh. Tidak ada sebab untuk qashar ini kecuali perjalanan, karena ini merupakan rukhshah yang ditetapkan sebagai rahmat bagi musafir dan adanya kesulitan yang dialaminya.

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhum, dia berkata, ‘Aku menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak melebihkan shalat dalam perjalanan dari dua rakaat, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar, Umar dan Utsaman”.

Makna Hadits

Abdullah bin Umar menuturkan bahwa dia pernah menyertai nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalan beliau, Dia juga pernah menyertai Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam perjalanan mereka. Ternyata masing-masing di antara mereka senantiasa mengqashar shalat empat rakaat menjadi dua rakaat dan tidak lebih dari dua rakaat itu.

Perbedaan Pendapat Di Kalangan Ulama

Para ulama saling berbeda pendapat tentang qashar, apakah itu wajib ataukah rukhshah yang disunnatkan pelaksanaannya ?

Tiga Imam, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad membolehkan penyempurnaan shalat, namun yang lebih baik adalah mengqasharnya. Sedangkan Abu Hanifah mewajibkan qashar, yang juga didukung Ibnu Hazm. Dia berkata, “Fardhunya musafir ialah shalat dua rakaat”.

Dalil orang yang mewajibkan qashar ialah tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa mengqashar dalam perjalanan. Hal ini dapat ditanggapi bahwa perbuatan tidak menunjukkan kewajiban. Begitulah pendapat jumhur. Mereka juga berhujjah dengan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha di dalam Ash-Shahihaian, “Shalat diwajibakan dua rakaat, lalu ditetapkan shalat dalam perjalanan dan shalat orang yang menetap disempurnakan.

Hujjah ini dapat ditanggapi dengan beberapa jawaban. Yang paling baik ialah, ini merupakan perkataan Aisyah yang tidak dimarfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Aisyah juga tidak mengikuti masa difardhulkannya shalat.

Adapun dalil-dalil jumhur tentang tidak wajibnya qashar ialah firman Allah “Maka tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat kalian” [An-Nisa : 101]

Penafian kesalahan di dalam ayat ini menunjukkan bahwa qashar itu merupakan rukhshah dan bukan sesuatu yang dipastikan. Di samping itu, dasarnya adalah penyempurnaannya. Adanya qashar karena dirasa shalat itu terlalu panjang. Dalil lainnya adalah hadits Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengqqashar dalam perjalanan dan menyempurnakannya, pernah puasa dan tidak puasa [Diriwayatkan Ad-Daruquthni, yang menurutnya, ini hadits Hasan]

Dalil-dalil jumhur dapat ditanggapi sebagai berikut : Ayat ini disebutkan tentang qashar sifat dalam shalat khauf dan hadits tentang hal ini dipermasalahkan. Sampai-sampai Ibnu Taimiyah berkata : “Ini merupakan hadits yang didustakan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam mengatakan, sebaiknya musafir tidak meninggalkan qashar, karena mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai cara untuk keluar dari perbedaan pendapat dengan orang yang mewajibkannya, dan memang qashar inilah yang lebih baik menurut mayoritas ulama.

Dikutip dari Ibnu Taimiyah di dalam Al-Ikhtiyarat, tentang kemakruhan menyempurnakannya. Dia menyebutkan nukilan dari Al-Imam Ahmad, yang tidak mengomentari sahnya shalat orang yang menyempurnakan shalat dalam perjalanan, Ibnu Taimiyah juga berkata : “Telah diketahui secara mutawatir, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa shalat dua rakaat dalam perjalanan, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar dan Umar setelah beliau. Hal ini menunjukkan bahwa dua rakaat adalah lebih baik. Begitulah pendapat mayoritas ulama.

Kesimpulan Hadits

  • Pensyaratan qashar shalat empat rakaat dalam perjalanan menjadi dua rakaat saja.
  • Qashar merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidun dalam perjalanan mereka.
  • Qashar bersifat umum dalam perjalanan haji, jihad dan segala perjalanan untuk ketaatan. Para ulama juga memasukkan perjalanan yang mubah. Menurut An-Nawawy, jumhur berpendapat bahwa dalam semua perjalanan yang mubah boleh dilakukan qashar. Sebagian ulama tidak membolehkan qashar dalam perjalanan kedurhakaan. Yang benar, rukhshah ini bersifat umum dan sama untuk semua orang.
  • Kasih sayang Allah terhadap makhlukNya dan keluwesan syari’at ini, yang memberi kemudahan dalam beribadah kepada makhluk. Karena perjalanan lebih sering mendatangkan kesulitan, maka dibuat keringanan untuk sebagian shalat, dengan mengurangi bilangan rakaat shalat. Jika tingkat kesulitan semakin tinggi seperti karena memerangi musuh, maka sebagian shalat juga diringankan.
  • Perjalanan di dalam hadits ini tidak terbatas, tidak dibatasi dengan jarak jauh. Yang lebih baik ialah dibiarkan menurut kemutlakannya, lalu rukhshah diberikan kepada apapun yang disebut perjalanan. Pembatasanya dengan tempo tertentu atau jarak farsakh tertetntu, tidak pernah disebutkan di dalam nash. Syaihul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Perjalanan tidak pernah dibatasi oleh syari’at, tidak ada pembatasan menurut bahasa. Hal ini dikembalikan kepada tradisi manusia. Apa yang mereka sebut dengan perjalanan, maka itulah perjalanan”

SHOLAT JAMA’

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan Tabuk, apabila hendak berangkat sebelum tergelincir matahari, maka beliau mengakhirkan Dzuhur hingga beliau mengumpulkannya dengan Ashar, lalu beliau melakukan dua shalat itu sekalian. Dan apabila beliau hendak berangkat setelah tergelincir matahari, maka beliau menyegerakan Ashar bersama Dzuhur dan melakukan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau berjalan. Dan apabila beliau hendak berangkat sebelum Maghrib maka beliau mengakhirkan Maghrib sehingga mengerjakan bersama Isya’, dan apabila beliau berangkat setelah Maghrib maka beliau menyegerakan Isya’ dan melakukan shalat Isya’ bersama Maghrib“. Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud (1220), At-Tirmidzi (2/438) Ad-Daruquthni (151), Al-Baihaqi (3/165) dan Ahmad (5/241-242), mereka semua memperolehnya dari jalur Qutaibah bin Sa’id : ” Telah bercerita kepadaku Al-Laits bin Sa’ad dari Yazid bin Abi Habib dari Abi Thufail Amir bin Watsilah dari Mu’adz bin Jabal, secara marfu. Dalam hal ini Abu Dawud berkomentar :”Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Qutaibah saja”.

Syaikh Al Albani menilai : “Dia adalah tsiqah dan tepat. Maka tidak mengapa meskipun dia sendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Al-Laits selain darinya. Inilah yang benar, semua perawinya tsiqah. Yakni para perawi Asy-Syaikhain. Juga telah dinilai shahih oleh Ibnul Qayyim dan lainnya. Namun Al-Hakim dan lainnya menganggapnya ada ‘illat yang tidak baik, seperti yang telah saya jelaskan dalam Irwa ‘Al-Ghalil (571). Di sana saya menyebutkan mutabi’ (hadits yang mengikuti) kepada Qutaibah dan beberapa syahid (hadits pendukung) yang memastikan keshahihannya.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik (I/143/2) dari jalur lain yang berasal dari Abi Thufail dengan redaksi, “Sesungguhnya mereka keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Tabuk. Maka adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan antara Dzuhur dan Ashar serta Magrib dan Isya. Abu Thufail berkata : ‘Kemudian beliau mengakhirkan (jama’ takhir) shalat pada suatu hari. Lalu beliau keluar dan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau masuk (datang). Kemudian keluar dan shalat Maghrib serta Isya sekalian“.

Dan dari jalur Malik telah dikeluarkan oleh Imam Muslim (7/60) dan Abu Dawud (1206), An-Nasa’i (juz I, hal 98), Ad-Darimi (juz I, hal 356), Ath-Thahawi (I/95), Al-Baihaqi (3/162), Ahmad (5/237) dan dalam riwayat Muslim (2/162) dan lainnya dari jalur lain :

“Kemudian saya berkata : ‘Apa maksudnya demikian ?” Dia berkata : Maksudnya agar tidak memberatkan umatnya”.

Kandungan Hukumnya

Dalam hadits ini terdapat beberapa masalah.

  • Boleh mengumpulkan dua shalat pada waktu bepergian walaupun pada tempat selain Arafah dan Muzdalifah ; demikian pendapat jumhurul ulama. Berbeda dengan mazdhab Hanafiyah. Mereka menakwilkannya dengan ‘jama’ shuwari’ yakni mengakhirkan Dzhuhur sampai mendekati waktu Ashar demikian pula Maghrib dan Isya’. pendapat ini telah dibantah oleh jumhurul ulama dari berbagai segi. Pertama : Pendapat ini jelas menyalahi pengertian jama’ secara dhahir. Kedua : Tujuan disyariatkan jama’ adalah untuk mempermudah dan menghindarkan kesulitan, seperti yang telah dijelaskan oleh riwayat Muslim. Sedangkan jama’ dalam pengertian ‘shuwari’ masih mengandung kesulitan. Ketiga : Sebagian hadits tentang jama’ jelas menyalahkan pendapat mereka itu. Seperti hadits Anas bin Malik yang berbunyi. “Mengakhirkan Dzuhur sehingga masuk awal Ashar, kemudian dia menjama’ (mengumpulkan) keduanya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (2/151) dan lainnya. Keempat : Bahkan pendapat itu juga bertentangan dengan pengertian jama taqdim sebagaimana dijelaskan oleh hadits Mu’adz berikut ini. “Dan apabila dia berangkat setelah tergelincir matahari, maka dia akan menyegerakan Ashar kepada Dzuhur”. Dan sesungguhnya hadits-hadits yang serupa ini adalah banyak, sebagaimana telah disinggung.
  • Sesungguhnya soal jama’ (mengumpulkan dua shalat) disamping boleh jama takhir, boleh juga jama taqdim. Ini dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Um (I/67), disamping oleh Imam Ahmad dan Ishaq, sebagaimana dikatakan oleh At-Tarmidzi (2/441).
  • Sesungguhnya diperbolehkan jama’ pada waktu turunnya (dari kendaraan) sebagaimana diperbolehkan manakala berlangsung perjalanan. Imam Syafi’i dalam Al-Um, setelah meriwayatkan hadits ini dari jalur Malik, mengatakan : “Ini menunjukkan bahwa dia sedang turun bukan sedang jalan. Karena kata ‘dakhala’ dan ‘kharaja’ (masuk dan keluar) adalah tidak lain bahwa dia sedang turun. Maka bagi seorang musafir boleh menjama’ pada saat turun dan pada saat berjalan’.

Syaikh Al Albani berpendapat : Dengan nash ini maka tidaklah perlu menghiraukan kata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/189) menuturkan : “Bukanlah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melakukan jama’ sambil naik kendaraan dalam perjalanannya, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang, dan tidak juga jama’ itu harus pada waktu dia turun“.

Nampaknya banyak kaum muslimin yang terkecoh oleh kata-kata Ibnul Qayyim ini. Oleh karenanya mestilah ingat kembali.

Adalah janggal bila Ibnul Qayyim tidak memahi nash yang ada dalam Al-Muwatha’, Shahih Muslim dan lain-lain ini. Akan tetapi keheranan tersebut akan hilang manakala kita ingat bahwa dia menulis kitab Az-Zad itu, adalah pada waktu dimana dia jauh dari kitab-kitab lain, yakni dia dalam perjalanan, sebagai seorang musafir. Inilah sebabnya mengapa dalam kitab tersebut disamping kesalahan itu, banyak juga kesalahan yang lain. Dan mengenai hal ini telah saya jelaskan dalam At-Ta’liqat Al-Jiyad ‘Ala Zadil Ma’ad.

Yang membuat pendapat ini tetap janggal adalah bahwa gurunya, yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, telah menjelaskan dalam sebuah bukunya, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim. Mengapa hal itu tidak diketahui oleh Ibnul Qayyim padahal dia orang yang paling mengenal Ibnu Taimiyah dengan segala pendapatnya.? Setelah menuturkan hadits itu, Syaikhul Islam dalam Majmu’atur Rasail wal-Masa’il (2/26-27) mengatakan : “Pengertian jama’ itu ada tiga tingkatan : Manakala sambil berjalan maka pada waktu yang pertama.

Sedangkan bila turun maka pada waktu yang kedua. Inilah jama’ sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadits Anas dan Ibnu Umar. Itu menyerupai jama’ di Muzdalifah. Adapun manakala di waktu yang kedua baik dengan berjalan maupun dengan kendaraan, maka di-jama’ pada waktu yang pertama. Ini menyerupai jama’ di Arafah. Sungguh hal ini telah diriwayatkan dalam As-Sunnan (yakni hadits Mu’adz ini). Adapun manakala turun pada waktu keduanya, maka dalam hal ini tidak aku ketahui hadits ini menunjukkan bahwa beliau Nabi turun di kemahnya dalam bepergian itu. Dan bahwa beliau mengakhirkan Dzuhur kemudian keluar lalu shalat Dzuhur dan Ashar sekalian.

Kemudian beliau masuk ke tempatnya, lalu keluar lagi dan melakukan shalat Maghrib dan Isya’ sekalian. Sesungguhnya kala ‘ad-dukhul’ (masuk) dan ‘khuruj’ (keluar), hanyalah ada di rumah (kemah saja). Sedangkan orang yang berjalan tidak akan dikatakan masuk atau keluar. Tetapi turun atau naik.

“Dan Tabuk adalah akhir peperangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Beliau sesudah itu, tidak pernah bepergian kecuali ketika haji Wada’. Tidak ada kasus jama’ darinya kecuali di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di Mina, maka tidak ada seorangpun yang menukil bahwa beliau pernah menjama’ di sana.

Mereka hanya menukilkan bahwa beliau memang mengqashar di sana. Ini menunjukkan bahwa beliau dalam suatu bepergian terkadang menjama’ dan terkadang tidak. Bahkan yang lebih sering adalah bahwa beliau tidak men-jama’ . Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak menjama’. Dan juga menunjukkan bahwa jama’ bukan menjadi sunah Safar sebagaimana qashar, tetapi dilakukan hanya bila diperlukan saja, baik dalam bepergian maupun sewaktu tidak dalam bepergian supaya tidak memberatkan umatnya. Maka seorang musafir bilamana memerlukan jama’ maka lakukan saja, baik pada waktu kedua atau pertama, baik ia turun untuknya atau untuk keperluan lain seperti tidur dan istirahat pada waktu Dzuhur dan waktu Isya’. Kemudian dia turun pada waktu Dzuhur dan waktu Isya. Dia turun pada waktu Dzuhur karena lelah dan mengantuk serta lapar sehingga memerlukan istirahat, tidur dan makan. Dia boleh mengakhirkan Dzuhur kepada waktu Ashar kemudian menjama’ taqdim Isya dengan Maghrib lalu sesudah itu bisa tidur agar bisa bangun di tengah malam dalam bepergiannya.

Maka menurut hadits ini dan lainnya adalah diperbolehkan men-jama’. Adapun bagi orang yang singgah beberapa hari di suatu kampong atau kota, maka meskipun ia boleh mengqashar, karena dia musafir, namun tidak diperkenankan men-jama’. Ia seperti halnya tidak boleh shalat di atas kendaraan, tidak boleh shalat dengan tayamum dan tidak boleh makan bangkai.

Hal-hal seperti ini hanya diperbolehkan sewaktu diperlukan saja. Lain halnya dengan soal qashar. sesungguhnya ia memang menjadi sunnah dalam shalat perjalanan”.

Menjama’ Dua Sholat Dalam Perjalanan

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam berpendapat sebagai berikut :

Diperbolehkan baginya manjama’ shalat Zhuhur dengan Ashar dalam salah satu waktu di antara keduanya, menjama’ shalat Maghrib dengan Isya’ dalam salah satu waktu di antara keduanya. Semua ini merupakan keluwesan syariat yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudahannya, yang berarti merupakan karunia dari Allah, agar tidak ada keberatan dalam agama.

“Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama antara Zhuhur dan Ashar jika berada dalam perjalanan, juga menjama antara Maghrib dan Isya” [Ini lafazh Al-Bukhary dan bukan Muslim, seperti yang dikatakan Abdul haq yang menghimpun Ash-Shahihain. Ibnu Daqiq Al-Id juga mengingatkan hal ini. Mushannif mengaitkan takhrij hadits ini kepada keduanya, karena melihat asal hadits sebagaimana kebiasaan para ahli hadits, karena Muslim mentakhrij dari riwayat Ibnu Abbas tentang jama’ antara dua shalat, tanpa mempertimbangkan lafazhnya. Inilah yang telah disepakati bersama. Menurut Ash-Shan’any. Al-Bukhary tidak metakhrijnya kecuali berupa catatan. Hanya saja dia menggunakan bentuk kalimat yang pasti]

Makna Hadits

Di antara kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengadakan perjalanan, apalagi di tengah perjalanan, maka beliau menjama’ antara shalat Zhuhur dan Ashar, entah taqdim entah ta’khir. Beliau juga menjama antara Maghrib dan Isya, entah taqdim entah ta’khir, tergantung mana yang lebih memungkinkan untuk dikerjakan dan dengan siapa beliau mengadakan perjalanan. Yang pasti, perjalanan ini menjadi sebab jama’ dan shalat pada salah satu waktu di antara dua waktunya karena waktu itu merupakan waktu bagi kedua shalat.

Perbedaan Pendapat Di Kalangan Ulama

Para ulama saling berbeda pendapat tentang jama’ ini. Mayoritas shahabat dan tabi’in memperbolehkan jama’, baik taqdim maupun ta’khir. Ini juga merupakan pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ats-Tsaury. Mereka berhujjah dengan hadits-hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, begitu pula hadits Mu’adz, bahwa jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat sebelum matahari condong, maka beliau menjama shalat Zhuhur dan Ashar pada waktu shalat Ashar. Beliau mengerjakan keduanya secara bersamaan. Tapi jika beliau berangkat sesudah matahari condong, maka beliau shalat Zhuhur dengan Ashar, lalu berangkat. Jika beliau berangkat sebelum Maghrib, maka belaiu menunda shalat Maghrib dan mengerjakannya bersama shalat Isya. Jika beliau berangkat sesudah masuk waktu Maghrib, maka beliau mengerjakan shalat Isya bersama shalat Maghrib. [Diriwayatkan Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidizy]

Sebagian Imam menshahihkan hadits ini. Sementara yang lain mempermasalahakannya. Asal hadits ini ada dalam riwayat Muslim tanpa menyebutkan jama taqdim.

Sementara Abu Hanifah dan dua rekannya. Al-Hasan dan An-Nakha’y tidak memperbolehkan jama’. Mereka menakwil hadits-hadits tentang jama’, bahwa itu merupakan jama’ imajiner. Gambarannya, menurut pendapat mereka, beliau mengakhirkan shalat Zhuhur hingga akhir waktunya lalu mengerjakannya, dan setelah itu mengerjakan shalat Ashar pada awal waktunya. Begitu pula untuk shalat Maghrib dan Isya.

Tentu saja ini tidak mengenai dan bertentangan dengan pengertian lafazh jama’, yang artinya menjadikan dua shalat di salah satu waktu di antara dua waktunya, yang juga ditentang ketetapan jama’ taqdim, sehingga menafikan cara penakwilan seperti itu. Al-Khaththaby dan Ibnu Abdil Barr menyatakan jama’ sebagai rukhshah. Mengerjakan dua shalat, yang pertama pada akhir waktunya dan yang kedua pada awal waktunya, justru berat dan sulit. Sebab orang-orang yang khusus pun sulit mencari ketetapan waktunya. Lalu bagaimana dengan orang-orang awam ?

Ibnu Hazm dan salah satu riwayat dari Malik menyatakan, yang boleh dilakukan ialah jama’ ta’khir dan tidak jama’ taqdim. Mereka menanggapi hadits-hadits yang dikatakan sebagian ulama, yang dipermasalahkan.

Mereka juga saling berbeda pendapat tentang hukum jama’. Asy-Syafi’i, Ahmad dan jumhur berpendapat, perjalanan merupakan sebab jama’ taqdim dan ta’khir. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari Malik. Pendapat Malik dalam riwayat yang masyhur darinya, pengkhususan darinya, pengkhususan jama’ pada waktu dibutuhkan saja, yaitu jika sedang mengadakan perjalanan. Ini juga merupakan pilihan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim. Menurut Al-Bajy, ketidaksukaan Malik terhadap jama’, karena khawatir jama’ inmi dilakukan orang yang sebenarnya tidak mendapat kesulitan. Adapun pembolehannya jika mengadakan perjalanan, didasarkan kepada hadits Ibnu Umar.

Abu Hanifah tidak memperbolehkan jama’ kecuali di Arafah dan Muzdalifah, karena untuk keperluan manasik haji dan bukan karena perjalanan.

Jumhur berhujjah dengan hadits-hadits yang menyebutkan jama’ secara mutlak tanpa ada batasan perjalanan, ketika singgah atau ketika mengadakan perjalanan. Begitu pula yang disebutkan di dalam Al-Muwaththa’ dari Muadz bin Jabal, bahwa pada Perang Tabuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat, kemudian keluar shalat Zhuhur dan Ashar bersama-sama, kemudian masuk dan keluar lagi untuk shalat Maghrib dan Isya’. Menurut Ibnu Abdil Barr, isnad hadits ini kuat. Asy-Syafi’y menyebutkannya di dalam Al-Umm. Menurut Ibnu Abdul Barr dan Al-Bajy, keluar dan masuknya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa beliau sedang singgah dan tidak sedang dalam perjalanan. Ini merupakan penolakan secara tegas terhadap orang yang menyatakan bahwa beliau tidak menjama’ kecuali ketika mengadakan perjalanan.

Dalil Al-Imam Malik, Syaikhul Islam dan Ibnul Qayyim ialah hadits Ibnu Umar, bahwa jika beliau mengadakan perjalan, maka beliau menjama’ Maghrib dan Isya’, seraya berkata : “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perjalanan, maka beliau menjama keduanya”.

Tapi menurut jumhur, tambahan bukti dalam beberapa hadits yang lain layak untuk diterima. Bagaimanapun juga, bepergian mendatangkan banyak kesulitan, baik ketika singgah maupun ketika dalam perjalanan. Rukhshah jama’ tidak dibuat melainkan untuk memberikan kemudahan didalamnya.

Ibnul Qayyim di dalam Al-Hadyu, menjadikan hadits Mu’adz dan sejenisnya termasuk dalil-dalilnya, bahwa rukhshah jama’ tidak ditetapkan melainkan ketika mengadakan perjalanan (bukan ketika singgah). Adapun pendapat Abu Hanifah tertolak oleh berbagai hadits yang shahih dan jelas maknanya.

Faidah Hadits

Pertama,

Seperti yang disebutkan pengarang tentang jama’ karena perjalanan, maka disana ada beberapa alasan selain perjalanan yang memperbolehkan jama’, di antaranya hujan. Al-Bukhary meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ Maghrib dan Isya’ pada suatu malam ketika turun hujan. Jama’ ini dikhususkan untuk Maghrib dan Isya’, bukan untuk Zhuhur dan Ashar. Namun ulama lain membolehkannya juga, di antaranya Al-Imam Ahmad dan rekan-rekannya.

Begitu pula alasan sakit. Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama’ Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ bukan karena takut dan hujan. Dalam riwayat lain disebutkan, bukan karena takut dan perjalanan. Tidak ada sebab lain kecuali sakit. Banyak ulama yang memperbolehkannya, di antaranya Malik, Ahmad, Ishaq dan Al-Hasan. Ini juga merupakan pendapat segolongan ulama dari madzhab Syafi’y, seperti Al-Khaththaby dan ini juga merupakan pilihan An-Nawawy di dalam Shahih Muslim. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa Al-Imam Ahmad menetapkan pembolehan jama’ bagi orang yang terluka dan karena kesibukan, yang didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan tentang masalah ini. Ada pula yang menetapkan pembolehan jama’ bagi wanita istihadhah, karena istihadhah termasuk penyakit.

Kedua,

Batasan perjalanan yang menyebabkan pembolehan jama’ diperselisihkan para ulama. Asy-Syafi’i dan Ahmad menetapkan lama perjalanan selama dua hari hingga ke tujuan, atau sejauh enam belas farskah [Satu farskah sama dengan empat mil. Satu mil sama dengan satu setengah kilometer. Enam belas farsakh sama dengan enam puluh emapt mil, atau sama denan sembilan puluh enam kilometer]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menetapkan pilihan bahwa apa pun yang disebut dengan perjalanan, pendek atau jauh, diperbolehkan jama’ didalamnya. Jadi tidak diukur dengan jarak tertentu. Menurut pendapatnya, di dalam nash Al-Kitab dan As-Sunnah tidak disebutkan perbedaan antara jarak dekat dengan jarak jauh. Siapa yang membuat perbedaan antara jarak dekat dan jarak jauh, berarti dia memisahkan apa yang sudah dihimpun Allah, dengan sebagian pemisahan dan pembagian yang tidak ada dasarnya. Pendapat Syaikhul Islam ini sama dengan pendapat golongan Zhahiriyah, yang juga didukung pengarang Al-Mughny.

Ibnul Qayyim menyatakan di dalam Al-Hadyu, tentang riwayat yang membatasi perjalanan sehari, dua hari atau tiga hari, maka itu bukan riwayat yang shahih.

Ketiga,

Menurut jumhur ulama, meninggalkan jama’ lebih utama daripada jama’, kecuali dalam dua jama’, di Arafah dan Muzdalifah, karena disana ada kemaslahatan.

Kesimpulan Hadits

  • Boleh menjama shalat Zhuhur dengan Ashar, shalat Maghrib denan Isya’
  • Keumuman hadits menimbulkan pengertian tentang diperbolehkannya jama’ taqdim dan ta’khir antara dua shalat. Beberapa dalil menunjukkan hal ini seperti yang sudah disebutkan di atas.
  • Menurut zhahirnya dikhususkan saat mengadakan perjalanan. Diatas telah disebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dan dalil dari masing-masing pihak. Menurut Ibnu Daqiq Al-Id, hadits ini menunjukkan jama’ jika dalam perjalan. Sekiranya tidak ada hadits-hadits lain yang menyebutkan jama’ tidak seperti gambaran ini, tentu dalil ini mengharuskan jama’ dalam kondisi yang lain. Diperbolehkannya jama’ di dalam hadits ini berkaitan dengan suatu sifat yang tidak mungkin diabaikan begitu saja. Jika jama’ dibenarkan ketika singgah, maka pengamalannya lebih baik, karena adanya dalil lain tentang pembolehannya diluar gambaran ini, yaitu dalam perjalanan. Tegaknya dalil ini menunjukkan pengabaian pengungkapan sifat ini semata. Dalil ini tentu tidak dapat dianggap bertentangan dengan pengertian di dalam hadits ini, karena pembuktian pembolehan apa yang disampaikan di dalam gambaran ini secara khusus, jauh lebih kuat.
  • Hadits ini dan juga hadits-hadits lainnya menunjukkan bahwa jama’ dikhususkan untuk shalat Zhuhur dengan Ashar, Mgahrib dengan Isya, sedangkan Subuh tidak dapat dijama’ dengan shalat lainnya.

Hukum Menjama’ Sholat Ashar dengan Sholat Jum’at

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan sebagai berikut :

Tidak boleh menjama (menggabungkan) shalat Ashar dengan shalat Jum’at ketika diperbolehkan menjama antara shalat Ashar dan Dzuhur (karena ada alasan syar’i, seperti perjalanan,-red) . Seandainya seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh melintasi suatu daerah, lalu dia melakukan shalat Jum’at bersama kaum muslimin disana, maka (dia) tidak boleh menjama Ashar dengan shalat Jum’at.

Seandainya ada seorang yang menderita penyakit sehingga diperbolehkan untuk menjama shalat, (lalu ia) menghadiri shalat dan mengerjakan shalat Jum’at, maka dia tidak boleh menjama shalat Ashar dengan shalat Jum’at. Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [An-Nisaa : 103]

Maksudnya, (ialah) sudah ditentukan waktunya. Sebagian dari waktu-waktu ini sudah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala secara global dalam firmanNya “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan (oleh Malaikat)” [Al-Israa : 78]

Jika ada yang mengatakan, apakah tidak boleh mengqiyaskan jama shalat Ashar ke Jum’at dengan menjama shalat Ashar ke Dzuhur?

Jawabnya adalah tidak boleh, karena beberapa sebab :

  • Tidak ada qiyas dalam masalah ibadah.
  • Shalat Jum’at merupakan shalat tersendiri, memiliki lebih dari 20 hukum (ketentuan-ketentuan) tersendiri yang berbeda dengan shalat Dzuhur. Perbedaan seperti ini menyebabkannya tidak bisa disamakan (diqiyaskan) ke shalat yang lainnya.
  • Qiyas seperti (dalam pertanyaan diatas, -pent) ini bertentangan dengan dhahir sunnah. Dalam shahih Muslim, dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama Maghrib dengan Isya di Madinah dalam kondisi aman dan tidak hujan.

Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah juga turun hujan yang menimbulkan kesulitan, akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjama shalat Ashar dengan Jum’at, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan lainnya dari sahabat Anas bin Malik, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta hujan pada hari Jum’at saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar. Sebelum beliau turun dari mimbar, hujan turun dan mengalir dari jenggotnya. Ini tidak akan terjadi, kecuali disebabkan oleh hujan yang bisa dijadikan alasan untuk menjama shalat, seandainya boleh menjama Ashar dengan shalat Jum’at. Sahabat Anas bin Malik mengatakan, pada hari Jum’at berikutnya, seseorang datang dan berkata : “Wahai, Rasulullah. Harta benda sudah tenggelam dan bangunan hancur, maka berdo’alah kepada Allah agar memberhentikan hujan dari kami”.

Kondisi seperti ini, (tentunya) memperbolehkan untuk menjama, jika seandainya boleh menjama ‘ shalat Ashar dengan shalat Jum’at.

Jika ada yang mengatakan “Mana dalil yang melarang menjama shalat Ashar dengan shalat Dzuhur?”

Pertanyaan seperti ini tidak tepat, karena hukum asal beribadah adalah terlarang, kecuali ada dalil (yang merubah hukum asal ini menjadi wajib atau sunat, -pent). Maka orang yang melarang pelaksanaan ibadah kepada Allah dengan suatu amalan fisik atau hati, tidak dituntut untuk mendatangkan dalil. Akan tetapi, yang dituntut untuk mendatangkan dalil ialah orang yang melakukan ibadah tersebut, berdasarkan firman Allah yang mengingkari orang-orang yang beribadah kepadanya tanpa dasar syar’I “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” [Asy-Syuura : 21]

Dan firmanNya “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” [Al-Maidah : 3]

Berdasarkan ini, jika ada yang menanyakan, “Mana dalil larangan menjama shalat Ashar dengan shalat Jum’at?” (Maka) kita mengembalikan pertanyaan “Mana dalil yang memperbolehkannya ? Karena hukum asal shalat Ashar dikerjakan pada waktunya. Ketika ada faktor yang memperbolehkan untuk menjama shalat Ashar, hukum asal ini bisa diselisihi, (maka yang) selain itu tetap pada hukum asalnya, yaitu tidak boleh diajukan dari waktunya.

Jika ada yang mengatakan, “Bagaimana pendapatmu jika dia berniat shalat Dzuhur ketika shalat Jum’at agar bisa menjama?”

Jawab, jika seorang imam shalat Jum’at di suatu daerah, berniat shalat Dzuhur dengan shalat Jum’atnya, maka tidak syak lagi (demikian) ini merupakan perbuatan haram, dan shalatnya batal. Karena bagi mereka, shalat Jum’at itu wajib. Jika ia mengalihkan shalat Jum’at ke shalat Dzuhur, berarti mereka berpaling dari perintah-perintah Allah kepada sesuatu yang tidak diperintahkan, sehingga berdasarkan hadits di atas, (maka) amalnya batal dan tertolak.

Sedangkan jika yang berniat melaksanakan shalat Jum’at dengan niat Dzuhur adalah -seorang musafir (misalnya) yang bermakmum kepada orang yang wajib melaksanakannya, maka perbuatan musafir ini juga tidak sah. Karena, ketika dia menghadiri shalat Jum’at, berarti dia wajib melakukannya. Orang yang terkena kewajiban shalat Jum’at namun dia melaksanakan shalat Dzuhur sebelum imam salam dari shalat Jum’at, maka shalat Dzuhurnya tidak sah.

Sumber :

  • Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah Wa Syaiun Min Fiqhiha Wa Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan CV. Pustaka Mantiq, hal. 362-372.
  • 257 Tanya Jawab Fatwa-fatwa Al-Utsaimin, oleh Syaikh Muhammad Al-Shalih Al-‘Utsaimin, terbitan Gema Risalah Press, hal 133-134.
  • Kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah
  • Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005. Diambil dari Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

16 Responses to “Hukum Sholat Qashar dan Sholat Jama’”

  1. belum baca sih. tp say terima kasih dulu 🙂

  2. pertanyaan:
    apa kriteria perjalanan /musafir ?
    jika misalkan dr jkt pergi ke jogja.
    di jogja selama 1 minggu diam di rumah.

    apakah diamnya di rumah ini termasuk
    dlm katagori “perjalanan” ?

    apakah selama 1 minggu tsb boleh
    sholat jama’ qoshor sekaligus

    Abu Al Maira :
    Safar=perjalanan, musafir=orang yang melakukan perjalanan.
    Definisi safar itu sendiri sudah saya jelaskan diatas, dan dalam hal ini memang terjadi khilaf mengenai jarak perjalanan yang bisa dikatakan sebagai safar.

    Tetapi kalau yang saya pahami, saya berkecenderungan mengikuti pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin, bahwa jarak untuk menentukan boleh tidaknya mengqashar shalat disesuaikan dengan ‘urf [kebiasaan/kelaziman menurut masyarakat setempat]. Maksudnya begini, saya kerja PP Cibubur-Serang setiap hari dengan jarak 130KM [pp 260KM], maka ini sudah menjadi ‘urf bagi saya, dan secara otomatis tidak berlaku hukum safar bagi saya.
    Akan tetapi jika saya pergi dari Cibubur ke Cianjur dengan jarak 86KM, maka sudah jatuh hukum safar bagi saya, karena saya dan masyarakat menganggap bahwa Cibubur-Cianjur adalah safar [perjalanan keluar kota]. Demikian pendapat yang saya pahami.

    Yang dianggap musafir adalah yang tinggal selama empat hari empat malam atau kurang, berdasarkan riwayat dari hadits Jabir dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Makkah waktu Shubuh tanggal 4 Dzulhijjah, saat Haji Wada [Al-Bukhari, kitab Taqshirush Shalat 1085]. Lalu beliau tinggal disana pada hari keempat, kelima, keenam dan ketujuh, lalu shalat Shubuh di Abthah pada hari kedelapan. Pada hari-hari tersebut beliau mengqashar shalat, tentunya beliau telah merencanakan waktu tinggalnya itu. Maka setiap musafir yang merencanakan tinggal selama masa tinggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, atau kurang dari itu, ia boleh mengqashar shalat. Sedangkan yang merencanakan tinggal lebih lama dari itu maka hendaknya ia menyempurnakan shalat, karena ia tidak lagi tergolong musafir.
    Adapun orang yang tinggal lebih dari empat hari dan belum merencanakan tinggal, bahkan rencananya adalah segera kembali begitu selesai urusannya, maka ia seperti yang tinggal di medan jihad menghadapi musuh, atau ditahan penguasa, atau terhalang oleh sakit, yang mana dalam niatnya adalah segera kembali jika selesai jidahnya, baik dengan kemenangan atau perdamaian, atau lolos dari tahanan atau sembuh dari sakit, atau terlepas dari kekuatan musuh atau penguasa atau adanya peluang untuk pulang atau telah berhasil menjual barang, dan sebagainya. Yang demikian itu termasuk musafir, ia boleh mengqashar shalat-shalat yang empat rakaat, walau masa tinggalnya lama. Hal ini berdasarkan riwayat, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama sembilan hari pada tahun penaklukan Makkah, dan selama itu beliau mengqashar shalat [Al-Bukhari, kitab Taqshirush Shalat 1080]. Beliau pun pernah tinggal di Tabuk selama 20 hari untuk jihad melawan nashrani, dan selama itu beliau mengimami shalat para sahabat dengan qashar [Ahmad 2/295, Abu Dawud dalam bab Shalat 1234, Abd bin Humaid 1139]. Demikian itu karena beliau tidak merencanakan tinggal tapi niatnya adalah safar hingga urusannya selesai.
    Demikian yang saya pahami.

    Jadi dengan niatan anda tinggal di Yogya selama 1 minggu, insya Allah, anda termasuk musafir dan berlaku hukum safar didalamnya.

    Jika anda dalam keadaan “berdiam” [tidak diatas kendaraan], yang lebih utama adalah tidak menjama’, akan tetapi diperbolehkan jika ingin menjama’. Begitu juga sebaliknya.

    Demikian yang saya pahami dan yang bisa saya copas dan sampaikan.

    Allahu ‘alam

  3. skr khusus ttg qoshor:

    masih melanjutkan contoh di jogja.
    jika kita tidak ada kesibukan apa2, dan
    juga tidak ada uzur apapun, dan kita
    sedang berdiam di jogja ( masih sbg musafir),
    mana yg lebih utama, solat qoshor , atau
    pergi ke masjid berjamaah ( yg berarti tidak
    di qoshor) ?

    apa makna rukhshah ini dikaitkan dg
    pahala dan kewajiban sholat berjamaah di
    masjid?

    Abu Al Maira :

    Kewajiban berjama’ah tidak terhapus dengan adanya rukhshah untuk meng-qashar sholat.
    Hal ini dari keumuman ayat : “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu” [An-Nisa : 102]

    Syaikh ibn Utsaimin mengatakan [majmu fatwa] : “Berdasarkan dalil ini, apabila ada seorang musafir berada di suatu daerah yang bukan daerahnya, dia wajib menghadiri shalat jama’ah di masjid ketika mendengar adzan, kecuali bila letaknya sangat jauh…”

    Jadi selama tidak ada udzur syar’i, maka kita tetap wajib mengerjakan sholat secara berjama’ah walaupun status kita sebagai musafir.

    Allahu ‘alam

    NB :
    Oh ya, kalau saya ada sedikit koreksi tentang masalah qurban [jika anda pernah bertanya ke saya]. Tolong perhatikan komentator pada tulisan Wajib/Tidaknya Qurban… Mohon dimaafkan kekeliruan saya.

    Bagaimana anda sudah mengikuti kajian di Depok ?

  4. belum pak,
    baru denger rodja.

    list yg uptodate jadwal kajian belum nemu.

  5. apakah ada saran pak,
    bagi orang yg habis waktunya seharian
    di kantor spt saya ini,
    mungkin sekolah agama/pengajian malam/
    kuliah malam ?

    Abu Al Maira :

    Sama seperti saya pak, saya berangkat dan pulang tidak pernah ketemu matahari pak. Saya PP Cibubur-Serang, sampai rumah rata-rata jam 8 malam. Saya cuma bisa ikut kajian setiap Sabtu-minggu, itu juga kalau saya atau ustadznya gak berhalangan.

    Saran saya, ya ikuti kajian yang waktunya mudah buat anda, mungkin Sabtu-Minggu. Belajar dari situs2 islami yang bermanhaj salaf, ikuti milis, dsb. Kalau perlu anda bisa melakukan diskusi via japri dengan anggota milis/forum diskusi yang kualifikasinya anda rasa cukup baik.

    Insya Allah, Allah akan memudahkan..

    Wallahul ‘muwaffiq

  6. wah, jauh bener pak.
    sy depok-kp rambutan aja rasanya dah jauh.
    naik motor.

    apalagi ini ya 🙂

    Abu Al Maira :

    Ya kewajiban menafkahi keluarga. Mau buka usaha sendiri, belum ada modal… mau pindah kerja belum ada kesempatan…

  7. p’abu, misalnya saya ditugaskan keluar daerah, tp tidak tau pastinya sampai kapan bisa 1 bulan ato bahkan bisa sampai 3 bulan tergantung dr prusahaan..apakah saya bisa menjama’ dan qosor selama itu?

    Abu Al Maira :

    Coba antum baca komentar2 sebelumnya, mudah2an bisa membantu…

  8. Assalamuaaikum ,

    Senang sekali membaca tulisan ini. Saya posisi di Helsinki dalam acara penelitian. Rencana saya akan tinggal 7 bulan. Sepengetahuan saya dari membaca ulasan ustad saya diperbolehkan qashar selama 7 bulan itu. Tetapi yang saya masih agak bingung, Rasulullah hanya mencontohkan selama 20 hari. Tetapi pemikiran saya, walaupun saya lebih dari 20 hari saya masih masuk safar dan alangkah lebih baik untuk qashar. Apakah sudah betul pemikiran saya, mohon diluruskan apabila salah,

    Wassalamualaikum wr.wb

    Abu al Maira :

    Alaikumussalaam warahmatullah….

    Mengenai 20 hari yang dikerjakan Rasulullah itu hanya dalam kondisional saja sewaktu beliau tinggal di Tabuk.

    Ibnul Qayyim menegaskan, “Rasulullah tidak pernah bersabda kepada umatnya : ‘Tidak boleh mengqashar sholat bila menetap sementara lebih dari 20 hari, namun secara kebetulan Rasulullah bermukim hanya sebatas hari tersebut’.” [Fiqhus Sunnah]

    Jadi kalau anda memang tidak niat bermukim disana, maka sunnahnya adalah mengqashar sholat.

    Allahu ‘alam

  9. bagaimana hukum and caranya jama’ qoshor sholat di dalam kendaraan??
    misalkan kita naik bus atau kendaraan lain dimana jarak yang ditempuh jauh, akan tetapi selama perjalanan itu banyak dijumpai masjid or mushola di samping jalan..
    terima kasih…
    sangat saya tunggu jawabnya

    Abu al Maira :

    Kalau anda melakukan safar / perjalanan yang secara syariat anda diperbolehkan untuk menjamak dan mengqashar sholat maka teknisnya sebagai berikut :

    a. Jika memungkinkan sholat dengan turun dari kendaraan, maka itu lebih baik. Artinya, jika selama waktu dhuhur anda berada di atas kendaraan tapi besar kemungkinan waktu ashar anda bisa turun dari kendaraan [waktu bis beristirahat], maka anda bisa menjamak sholat dhuhur ke ashar dengan qashar. Begitu juga sebaliknya jika anda [bis] sedang beristirahat di waktu dhuhur, maka anda bisa menjamak sholat ashar ke dhuhur dengan qashar.
    Begitu juga kondisinya dengan sholat maghrib dan isya’.
    Untuk sholat shubuh, ada baiknya anda minta supir untuk istirahat sejenak. Jika memang tidak memungkinkan, maka anda diperbolehkan untuk sholat di atas kendaraan.

    b. Selama tidak memungkinkan untuk turun dari kendaraan [misal perjalanan lintas benua dengan pesawat terbang atau antar pulau dengan kapal laut], maka diperbolehkan sholat di atas kendaraan [pesawat / kapal laut]

  10. Pak Abu,

    Mau nanya mengenai sholat jama’ dan tayamum dalam kendaraan. Apakah diperbolehkan melakukan sholat jama’ di atas kendaraan, atau haruskah sholat itu dulakukan sendiri-sendiri? Karena setahu saya kalau dilakukan di atas kendaraan berarti kita sudah bisa menentukan waktunya dan bisa melakukannya sendiri-sendiri (tidak perlu di-jama’). Terus kalau kita tayamum, apakah boleh sekali tayamum digunakan untuk melakukan sholat jama’ (dua sholat sekaligus), karena setahu saya, tayamum hanya bisa digunakan untuk satu sholat fardlu, sehingga kalau mau sholat fardlu lagi harus tayamum lagi.
    Demikian, terima kasih dan kami tunggu jawabannya

    Abu al Maira :

    kalau diatas kendaraan, hampir tidak mungkin mengerjakan sholat secara berjamaah.
    Jika kondisi memang tidak memungkinkan untuk turun dari kendaraan, maka tidak mengapa jika menjamak sholat di atas kendaraan. Misal anda berangkat sebelum dzuhur dan kendaraan baru berhenti pada waktu maghrib, maka mau tidak mau ya menjamak sholat di atas kendaraan.

    Tayammum itu pada dasarnya untuk mengganti wudhu karena tidak menemukan air [untuk berwudhu]. Dan tayammum berkenaan dengan sholat yg bersangkutan, artinya untuk sholat berikutnya ya tayammum lagi.

  11. assalaamu ‘alaikum.. saya seorang pelaut yang rutin melaksanakn pelayaran.ketika saya berlayar apakah saya dihukumi sebagai musafir? apakah saya boleh menjama’ dan mengqashar shalat?

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam…

    Status anda dihukumi sebagai musafir…

  12. assalammualaikum,saya seorang pedagang yang selalu berkeliling di kota bandung kadang sampe seharian tetapi tetap di kota bandung apakah status saya safar?batasan jarak safar itu keluar dari kota tempat tinggal kita/kampung kita tinggal?klo jarak 80-90km itu menjadi hujjah/dalil para ulama apa yang manjadi dasar dalil hadistnya?mohon penjelasan nya pa

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam…

    Itu bukan safar…

  13. bagaimana niat sholat jamak sedangkan bermakmum pada imam yang bermukim

    Abu al Maira :

    Tidak ada pengucapan / lafadz niat untuk Sholat Jamak.

    Kalau anda menjamak sholat, maka kerjakan sholat sesuai tertibnya sholat. Artinya ketika anda menjamak maghrib ke isya’ maka anda kerjakan maghrib dulu kemudian isya’.
    Jika anda menjamak sholat tersebut dan bermakmum kepada imam mukim, maka anda tetap mengerjakan sholat maghrib. Ketika rakaat ketiga maka anda langsung duduk tahiyyat akhir lalu salam walaupun imam berdiri dan mengerjakan rakaat keempat. Kalau anda masih sempat mengikuti rakaat terakhir imam, maka anda bisa langsung menyambung dengan sholat isya’. Kemudian anda menyelesaikan sisa rakaat sholat isya’.

  14. Assalamualaikum ustd.. mau tanya apabila kita menjamak takdir sholat isya-magrib yang didahulukan sholat Isyanya lebih dahulu ataukah sholat mghribnya terlebih dahulu..

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam… Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama… Kalau saya memilih pendapat yang menjaga tata urutan sholat. Artinya mengerjakan Sholat Maghrib dulu baru Sholat ‘Isya

Trackbacks

Tinggalkan komentar