Archive for Januari, 2009

Januari 30, 2009

Menyikapi Kesalahan ‘Ulama Ahlus-Sunnah


 

 

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitaabusy-Syuruuth (Syarat-Syarat) dalam Shahih-nya tentang kisah peristiwa (perjanjian damai) Al-Hudaibiyyah dan perjalanan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ke tempat tersebut. Di dalamnya disebutkan[1] :

وسار النبي صلى الله عليه وسلم حتى إذا كان بالثَّنِيَّةِ التي يهبط عليهم منها بَرَكَت به راحلتُهُ، فقال النَّاسُ : حَلْ حَلْ، فألَحَّتْ فقَلوا : خلأت القصواءُ. فقال النّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : ((ما خلأت القصواء وما ذاك لها بخلقٍ ولكن حَسَبَهَا حَابسُ الفيل))….الحديث

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berjalan.  Hingga ketika sampai di Bukit Tsaniyyah tempat mereka turun, tiba-tiba kendaraan onta yang beliau naiki menderum.  Para shahabat berkata : ‘Lepaskan, lepaskan…’.  Ternyata onta tersebut malah mogok tidak mau jalan.  Para shahabat berkata : ‘Onta belang itu mogok’.  Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ia tidak mogok, dan tidak biasanya ia seperti itu.  Tetapi ia ditahan oleh yang menahan onta…..” [al-hadiits].

Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata tentang fiqh hadits ini :

جواز الحكم على الشيء بما عرف من عادته وإن جاز أن يطرأ عليه غيره فإذا وقع من شخص هفوة لا يعهد منه مثلها لا ينسب إليها ويرد على من نسبه إليها معذرة من نسبه إليها ممن لا يعرف صورة حاله لأن خلاء القصواء لو لا خارق العادة لكان ما ظنه الصحابة صحيحا ولم يعاتبهم النبي صلى الله عليه وسلم على ذلك لعذرهم في ظنهم

”Diperbolehkan menghukumi sesuatu berdasarkan apa yang diketahui dari kebiasaannya, meskipun kemudian yang terjadi berbeda (dari kebiasaan tersebut).  Apabila seorang melakukan sesuatu kekeliruan yang tidak biasa terjadi padanya, maka ia tidak boleh divonis atau dihakimi begitu saja.  Tetapi harus ditolerir dan dimaafkan. Hal itu dikarenakan onta belang dalam hadits di atas seandainya ia tidak menyalahi kebiasaan, maka dugaan shahabat pasti benar dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari mereka karena mereka salah menduga seperti itu” [selesai].  

read more »

Januari 12, 2009

Sholat Tahiyyatul Masjid Pada Waktu-Waktu Terlarang


 

Seperti kita ketahui bersama bahwa ada waktu-waktu terlarang untuk shalat. Ada 5 waktu yang dimaksudkan yaitu [1] sesudah shalat shubuh sampai matahari terbit, [2] ketika metahari terbit hingga setinggi tombak, [3] ketika matahari berada di atas kepala hingga tergelincir ke barat, [4] sesudah shalat Ashar sampai matahari menguning, dan [5] ketika matahari menguning sampai matahari tenggelam sempurna. Inilah waktu-waktu terlarang untuk shalat sebagaimana dijelaskan para ulama berlandaskan pada hadits-hadits yang shohih. Namun yang jadi pertanyaan adalah bagaimana jika kita masuk masjid pada waktu terlarang tadi, apakah kita boleh mengerjakan shalat sunnah tahiyatul masjid? Berikut penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawanya.

read more »

Januari 8, 2009

Al-Ijar Al-Muntahi Bit Tamlik (Penyewaan Yang Berakhir Dengan Kepemilikan)


 

Transaksi ini untuk awal kalinya terjadi pada tahun 1847 di Ingris. Mula-mula hanya dilakukan perindividu kemudian menjadi transaksi yang dipakai oleh banyak perusahan sehingga mulailah transaksi ini tersebar ke negara-negara lain. Pada tahun 1953 M mulai masuk ke amerika serikat dan tahun 1962 M masuk ke Prancis dan pada tahun 1397 H mulai masuk ke negara-negara Islam.

Istilah Al-Ijar Al-Muntahi Bit Tamlik adalah istilah yang baru dan tidak dikenal dalam buku-buku fiqh sebelumnya. Namun penjelasan dan hukum untuk setiap masalah pasti ada tuntunannya dalam syari’at Islam.

Berhubung karena pembahasan masalah ini membutuhkan uraian yang panjang dan mendetail maka kami akan berusaha menyebutkan kesimpulan-kesimpulan hukum bagi setiap bentuk dari Al-Ijar Al-Muntahi Bit Tamlik (penyewaan yang berakhir dengan kepemilikan).

 

Definisi

Al-Ijar Al-Muntahi Bit Tamlik (penyewaan yang berakhir dengan kepemilikan) adalah pemilikan manfaat dari suatu barang tertentu dalam jangka waktu tertentu yang berakhir dengan kepemilikan barang tersebut dengan sifat khusus dengan harga tertentu.

Contoh : Seseorang datang kepada seorang pedagang dan berkata : “Saya akan membeli darimu mobil dengan harga 100.000.000,- ini secara angsuran bulanan”. Maka si pedagang berkata : “Tidak apa-apa, tapi untuk menjaga hakku maka akad antara kita berdua adalah dengan bentuk penyewaan sebanyak 2.500.000,- perbulan selama 40 bulan, bila engkau telah menyerahkan sewaan terakhir maka mobil akan menjadi milikmu dan bila engkau berhenti maka mobil akan kembali kepada kami dan apa yang engkau bayar sebelumnya adalah terhitung upah sewaan”.

read more »

Januari 8, 2009

Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` (Jual Beli Keuntungan Bagi Yang Meminta Pembelian)


 

 

Jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah bila seseorang (disebut pihak pertama) yang tidak memiliki uang tunai untuk membeli suatu barang maka ia pun datang kepada seorang pedagang atau pihak tertentu (disebut pihak kedua) yang mampu membelikan dan membayarkan untuknya barang tersebut secara tunai dari seorang penjual (disebut pihak ketiga) lalu pihak pertama membayar kepada pihak kedua secara kredit.

 

Hukumnya

 

Kebanyakan ulama di zaman ini berpendapat bahwa jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah boleh dengan ketentuan tidak disertai keharusan dari pihak kedua atas pihak pertama untuk membeli barang tersebut. Apabila ada keharusan maka hal tersebut masuk ke dalam kategori menjual sesuatu yang belum ia miliki dan ini adalah terlarang berdasarkan hadits Hakim bin Hizam secara marfu’ :

 

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Jangan kamu jual apa yang tidak ada disisimu (padamu)”.(HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` 5/132/1292)

Maksudnya : Jangan kamu menjual apa yang bukan milikmu, belum kamu pegang atau di luar kemampuanmu.

 

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pada tanggal 16/6/1402 H bertepatan 10/4/1982 ditanya dengan nash berikut :

“Apabila seorang nasabah Bank Islamy berhasrat untuk membeli barang seharga 1.000 Riyal Saudi lalu ia memperlihatkan dan mensifatkannya (barang tersebut) kepadanya (bank tersebut,-pent.) dan berjanji untuk membelinya darinya secara keuntungan dengan kredit selama satu tahun dengan keuntungan sekadar 100 Riyal Saudi sehingga menjadilah total harganya 1.100 Riyal Saudi. Hal tersebut setelah Bank membelinya (barang tersebut) dari pemiliknya tanpa ada keharusan pada nasabah untuk menunaikan janjinya tersebut maupun tertulis. Bagaimana pendapat anda tentang mu’amalah ini ?”

Maka beliau menjawab : “Kalau kenyataannya seperti yang disebut dalam pertanyaan maka tidak haraj (dosa, ganjalan) dalam mu’amalah tersebut apabila barang telah tetap dalam kepemilikan Bank Islamy dan ia telah mengambilnya dari kepemilikan penjual (hal ini,-pent) berdasarkan dalil-dalil syari’at. Mudah-mudahan Allah memberi Taufiq kepada semuanya” [1] .

 

Dan Syaikh Sholih Al-Fauzan ditanya dengan pertanyaan berikut :

“Seseorang datang kepadaku dan ia berkata saya butuh sejumlah uang dan ia meminta kepadaku agar saya pergi bersamanya kesuatu tempat supaya saya membelikan untuknya mobil kemudian ia akan menjualnya dan mengambil harganya dengan (ketentuan) ia akan melunasinya kepadaku dengan taqsith (cicilan) bulanan. Saya tidak punya tempat penjualan mobil tapi siapa yang datang kepadaku menginginkan uang untuk ia pakai nikah atau membangun rumah maka saya pun pergi bersamanya  ke suatu tempat penjualan mobil dan saya belikan untuknya mobil dengan harga 40 ribu Riyal –misalnya- dan ia menjualnya dengan (harga) 38 ribu Riyal dan saya mencatat (kewajiban) atasnya senilai 55 ribu riyal atau 60 ribu riyal dengan (ketentuan) ia membayarnya dalam bentuk taqsith bulanan ?”.

Maka beliau menjawab : “Hukum pada seperti mu’amalah ini adalah apabila tidak terdapat dari engkau akad bersamanya sebelum pembelian mobil bahkan terdapat janji (saja) -misalnya- atau terdapat saling paham dan belum ada akad kemudian engkau pergi dan membeli mobil lalu engkau jual kepadanya setelah engkau beli dan engkau pegang maka tidak haraj (dosa, ganjalan) pada hal itu adapun kalau penjualanmu kepadanya sudah terjadi sebelum engkau membeli mobil lalu engkau pergi dan membeli mobil itu maka ini tidaklah boleh berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alahi wa sallam kepada Hakim bin Hizam “Jangan kamu jual apa yang tidak ada disisimu (padamu)”…….[2]

 

Dan dalam keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy no. 40, 41 point pertama[3] disebutkan bahwa : “Sesungguhnya jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian apabila terjadi pada barang setelah masuk kedalam kekuasaan orang yang dimintai (pihak kedua,-pent.) dan setelah terdapat kepemilikan yang diinginkan secara syari’at maka ia adalah jual beli yang boleh sepanjang terbebankan atas orang yang dimintai (pihak kedua) tanggung jawab kerusakan sebelum penyerahan dan rentetan pengembalian karena aib yang tersembunyi dan semisalnya dari hal-hal yang mengharuskan pengembalian setelah penyerahan dan telah terpenuhi syarat-syarat jual beli dan telah tiada penghalang-penghalangnya”.

 

Di pihak lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berpendapat tentang haramnya jual beli keuntungan bagi peminta transaksi. Dalam kitab Asy-Syarh Al-Mumti’ 8/224, beliau menyatakan : “Dan dari masalah-masalah (baca : bentuk-bentuk) Al-‘Inah atau dari hilah (tipu daya) untuk riba adalah apa yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ini, (yaitu) tatkala ia butuh mobil kemudian ia pergi kepada seorang pedagang dan berkata saya butuh mobil begini di tempat penjualan mobil begini maka pergilah si pedagang lalu membeli mobil dari tempat penjualan mobil itu dengan suatu harga kemudian ia menjualnya dengan yang lebih banyak dari harganya kepada orang yang butuh mobil sampai ke suatu waktu (secara kredit,-pent.) maka ini adalah hilah yang sangat jelas untuk melakukan riba…”. Dan semisal dengan itu keterangan beliau dalam ketika menjawab pertanyaan no. 501 dalam silsilah Liqo`ul Maftuh.

 

Tarjih Dan Kesimpulan

 

Sebenarnya penamaan masalah ini dengan nama jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah penamaan yang baru muncul pada abad belakangan ini, namun hakikatnya sudah terbahas di kalangan para Imam fiqih terdahulu. Karena itu sebahagian penulis dalam masalah ini menukil bolehnya jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian sebagai pendapat dari madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Karena itu pembolehan jual beli keuntungan bagi yang meminta pembelian adalah yang paling kuat dalam masalah ini tapi dengan beberapa ketentuan yang bisa disimpulkan berdasarkan pembahasan diatas; yaitu :

  1. Tidak ada keharusan bagi pihak pertama kepada pihak kedua untuk membeli barang tersebut darinya (pihak kedua).
  2. Tanggung jawab rusaknya barang atau mengembalikannya bila ada kekurangan atau cacat ditanggung oleh pihak kedua.
  3. Akad transaksi bersama pihak pertama bila barang telah dimiliki dan dipegang oleh pihak kedua.

 

Baca : Taudhihul Ahkam 4/377-378, Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh oleh Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih, Buhuts Li Ba’dh An-Nawazil Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashiroh dan Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` karya DR. Hisamuddin ‘Ifanah.

 

Footnote :

[1] Bai’ul Murabah karya Al-Asyqor hal. 52 melalui perantara Bai’ul Murabah Lil Amiri Bisy Syira` karya DR. Hisamuddin ‘Ifanah

[2] Selesai nukilan Fatwa beliau dari Al-Muntaqo 4/136 no.140

[3] Taudhihul Ahkam 4/377 (cet. Kelima

 

http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=88&page_order=4

 

 

Januari 8, 2009

Jual Beli At-Tawarruq


 

At-Tawarruq adalah jika seseorang membeli barang dari seorang penjual dengan harga kredit lalu ia menjual barang tersebut secara kontan kepada pihak ketiga selain dari penjual.

Dinamakan dengan nama At-Tawarruq dari kalimat waraqoh yaitu lembaran uang, sebab pembeli yang merupakan pihak pertama sebenarnya tidak menginginkan barang tapi yang ia inginkan hanyalah mendapatkan uang sehingga ia bisa lebih leluasa menggunakannya.

 

Contoh : Sesorang memiliki uang sebesar 1.000.000,- sedangkan ia butuh uang 10.000.000,-, maka ia pun mencicil motor senilai 11.000.000,- dengan panjar 1.000.000,- tersebut. Setelah motor ia pegang, ia menjualnya kepada pihak ketiga selain penjual dengan harga 10.000.000,-.

 

Jadi letak perbedaannya dengan jual beli dengan cara Al-‘Inah hanya pada tempat penjualan kembali. Kalau jual beli dengan cara Al-‘Inah penjualannya kembali kepada pihak penjual sedangkan At-Tawarruq penjualannya kepada pihak ketiga selain dari pihak penjual.

read more »

Januari 5, 2009

Hadits-Hadits Dla’if yang Terdapat dalam Kitab At-Tauhid karya Syaikhul-Islam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab


 

Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah adalah salah satu ‘ulama besar yang pernah dilahirkan di jamannya. Dikatakan, beliau adalah seorang mujaddid yang mengikuti pendahulunya – yaitu Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah – dalam menegakkan kembali dakwah tauhid dan sunnah serta memerangi kesyirikan dan bid’ah, khususnya di daerah Hijaz dan sekitarnya. Beliau rahimahullah adalah seorang ulama yang mempunyai pengetahuan yang luas. Banyak sudah karya tulis yang dilahirkan melalui pena yang digenggamnya. Salah satu karya monumentalnya adalah Kitaabut-Tauhiid Alladzii Huwa Haqqullaahi ‘alal-‘Abiid. Dalam buku tersebut, beliau menjelaskan point-point ringkas dan padat tentang tauhid dan keutamaannya, serta hal-hal yang merusaknya dari perkara-perkara kesyirikan. Tidak ada seorang pun yang membacanya dengan hati terbuka, kecuali ia akan mendapatkan faedah yang sangat banyak dari kebenaran yang beliau sampaikan. Tidak lain, karena dalam buku tersebut dipenuhi dengan perkataan : qaalallaah wa qaalar-rasuul (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Namun, sebagaimana buku-buku yang lain, buku ini pun tidak lepas dari ‘kritikan’. Dalam buku tersebut masih termuat beberapa hadits dla’if – walau jumlahnya tidak banyak.