ILMU HADITS : ZIYADAH ATS-TSIQAH


ZIYADAH ATS-TSIQAH

 

 

Yang dimaksud dengan ziyadah ats-tsiqah adalah hadits yang terdapat padanya tambahan perkataan dari sebagian perawi yang tsiqah, sedang hadits itu diriwayatkan juga oleh perawi lain (tetapi tidak memakai tambahan itu).

Para ulama hadits telah memeprhatikan hal ini, di antara mereka yang terkenal :

  • Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ziyad An-Naisabury.
  • Abu Nu’aim Al-Jurjani.
  • Abu Al-Walid Hasan bin Muhammad Al-Quraisyi.

Tempat Terdapatnya Ziyadah Ats-Tsiqah dan Kondisi-Kondisinya

Ziyadah Ats-Tsiqah terdapat pada matan dengan tambahan satu kata atau kalimat, atau terdapat pada sanad, dengan mengangkat hadits mauquf atau menyambung hadits mursal.

Dan tambahan itu :

  • Kadang terjadi dari satu orang, yang meriwayatkan hadits dalam keadaan kurang dalam satu riwayat, sedangkan dalam riwayat lainb terdapat penambahan.
  • Dan kadang terjadi tambahan dari orang selain yang meriwayatkannya dalam keadaan kurang.

Hukumnya

Ibnu Shalah telah membagi – dan diikuti oleh Imam An-Nawawi – Ziyadah Ats-Tsiqah bila ditinjau dari sudut sah dan tidaknya, dibagi menjadi tiga bagian :

  • Tambahan yang tidak bertentangan dengan riwayat para perawi yang tsiqah. Bagian ini hukumnya sah atau maqbul (diterima).
  • Tambahan yang bertentangan dengan riwayat para perawi yang tsiqah dan tidak mungkin untuk dikumpulkan antara keduanya, dimana jika diterima salah satunya maka ada yang tertolak di riwayat lain, maka bagian ini di-tarjih antara riwayat tambahan dan riwayat yang menentangnya. Yang kuat atau rajih diterima, sedangkan yang marjuh atau lemah ditolak.
  • Tambahan yang di dalamnya terdapat semacam pertentangan dari riwayat para perawi yang tsiqah, seperti mengikat (taqyid) yang muthlaq, atau mengkhususkan (takhshish) yang umum, maka pada bagian ini hukumnya sah dan diterima.

Contoh Tambahan Lafadh pada Matan

  • Contoh tambahan yang tidak terdapat peretntangan : Diriwayatkan Muslim dari jalan Ali bin Mushar, dari Al-A’masy, dari Abi Razin dan Abi Shalih, dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari tambahan lafadh : “falyuriqhu” artinya : “maka hendaklah ia buang isinya”; dalam hadits tentang jilatan anjing. Semua ahli hadits dari para murid Al-A’masy tidak ada yang menyebut lafadh tersebut. Yang mereka riwayatkan adalah begini : “Apabila anjing menjilat di bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia cuci bejana itu tujuh kali“. Maka tambahan kalimat : “hendaklah ia buang isinya” adalah riwayat dari Ali bin Mushar sendirian, sedangkan dia adalah seorang yang tsiqah; maka diterima haditsnya (karena tidak ada pertentangan antara riwayat dengan tambahan dengan riwayat tanpa tambahan).
  • Contoh tambahan yang terdapat perselisihan, seperti tambahan “Hari Arafah” yang terdapat pada hadits yang berbunyi : “Hari Arafah, hari berkorban dan hari tasyriq, hari raya kita orang Islam, hari raya kita umat Islam, adalah hari raya makan dan minum“.Hadits ini dilihat dari semua jalannya adalah tanpa kalimat “Hari Arafah“. Dan tambahan ini hanya terdapat pada riwayat Musa bin Ali bin Rabbah, dari bapaknya, dari ‘Uqbah bin ‘Amir,; dan tambahan ini telah di-tarjih.
  • Contoh tambahan lafadh yang terjadi semacam pertentangan. Diriwayatkan oleh Muslim, dari jalan Abu Malik Al-Asyja’i, dari Rib’i, dari Hudzaifah, berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Telah dijadikan semua bumi untuk kami sebagai masjid dan dijadikan debunya untuk kami sebagai alat bersuci“.Di sini terdapat Abu Malik Sa’ad bin Thariq Al-Asja’i dengan tambahan lafadh : “debunya“, sedangkam perawi yang lain tidak menyebutkannya. Hadits yang mereka riwayatkan adalah : “Telah dijadikan untuk kami bumi sebagai masjid dan tempat bersuci“.

Madzhab Asy-Syafi’i dan Malik menerima tambahan lafadh seperti ini, dan ini pendapat yang benar. Sedangkan pengikut madzhab Hanafi, mereka menjadikan tambahan ini sebagai tambahan yang bertentangan dan menerapkan aturan tarjih antara lafadh tambahan dan hadits asli (tanpa tambahan). Oleh karena itu, mereka tidak mengamalkan tambahan seperti ini.

Hukum Tambahan dalam Sanad

Yang dimaksud tambahan dalam sanad di sini adalah menjadikan hadits mauquf menjadi marfu’, atau menyambung sanad yang mursal menjadi maushul. Atau dengan kata lain, terjadinya pertentangan antara me-marfu’-kan dengan me-mauquf-kan, dan me-maushul-kan dengan me-mursal-kan.

Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi tambahan seperti ini :

  1.  
    • Jumhur fuqahaa dan ahli ushul fiqh menerima tambahan ini.
    • Jumhur ahlihadits menolak adanya tambahan ini.
    • Sebagian ahli hadits berpendapat agar dilakukan tarjih, yang terbanyak itulah yang diterima.

Contohnya

Hadits : “Tidak sah pernikahan seseorang kecuali dengan adanya wali”. Hadits ini diriwayatkan oleh Yunus bin Abi Ishaq As-Sab’i dan anaknya Isra’il, dan Qais bin Ar-Rabi’, dari Abi Ishaq dengan sanad bersambung.  Dan diriwayatkan pula oleh Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah bin Al-Hajjaj, dari Abi Ishaq dengan sanad mursal.

Sumber :

Ditulis oleh Abu Al Jauzaa

Tinggalkan komentar