Archive for Juni, 2007

Juni 20, 2007

Biografi Syaikh Fauzan al Fauzan


Beliau adalah Syaikh yang mulia, DR. Shalih bin Fauzan bin Abdillah dari keluarga Al Fauzan, dari suku Asa Syamasiyyah. Beliau lahir tahun 1345 H/1933 M. Ayahnya meninggal dunia semenjak beliau masih anak-anak dan beliau dipelihara oleh keluarganya. Beliau belajar Al Quran, dasar membaca dan menulis di bawah asuhan Imam Masjid Wilayah yang juga Qari’ tetap, yaitu Syaikh yang mulia Hammud bin Sulaiman Ath Thallal, yang kemudian menjadi hakim di kora Dariyyah (bukan Dar’iyyah di Riyadh) di wilayah Qasim. Beliau kemudian belajar di sebuah madrasah negeri yang dibuka di Asa Syamasiyyah pada tahun 1369 H/1948 M. Beliau menyelesaikan studinya di Madrasah Faishaliyyah di Buraidah pada tahun 1371 H/1950 M dan kemudian beliau diangkat sebagai guru madrasah anak-anak. Beliau melanjutkan studi di Institut Pendidikan Buraidah ketika dibuka tahun 1373 H/1952 M, dan lulus tahun 1377 H/1956 M. Beliau kemudian melanjutkan di Fakultas Syari’ah di Universitas Imam Muhammad Ibnu Su’ud Riyadh dan lulus tahun 1381 H/1960 M. Setelah itu, beliau mengambil gelar Magister dan Doktoralnya di bidang Fikih.

read more »

Juni 19, 2007

Hukum Ijarah


Pengertian secara bahasa : “Menjual manfaat / kegunaan”. Sedangkan secara istilah : “Akad untuk mendapatkan manfaat dengan pembayaran”.

Dan jika mereka telah menyusukan buat kamu, maka berilah upah kepada mereka“. (At-Tholak : 6).

Salah satu dari keduanya berkata : Wahai ayahku, sewalah dia, sesungguhnya orang yang terbaik yang kau sewa adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qoshos: 26)

Berilah upah buruh sebelum kering keringatnya“. (H.R. Abu Ya’la, Ibnu Majah, Tabrani dan Tirmidzi).

Sesungguhnya Rasululah SAW berbekam dan memberikan upah kepada pembekamnya.” (H.R.Bukhori, Muslim dan Ahmad).

Pada prinsipnya terdapat kesepakatan di kalangan para sahabat sebelum kedatangan beberapa orang seperti Hasan Basri dan Abu Bakar al-Ashom, Ibnu Kisan, Ismail bin Aliyah, Qosyani dan Nahroni. Ijarah ini dibolehkan karena manusia memerlukan akad semacam ini dalam kehidupan muamalah mereka.

Rukun Ijaroh

1. Mu’jar ( Orang / barang yang diupah/disewa).
2. Musta’jir ( Orang yang menyewa/ mengupah)
3. Shighot ( Ijab dan qobul).
4. Upah dan manfaat.

Kaidah-Kaidah dalam Ijaroh :

  • Semua barang yang dapat dinikmati manfaatnya tanpa mengurangi substansi barang tersebut, maka barang tersebut dapat disewakan.
  • Semua barang yang pemanfaatannya dilakukan sedikit demi sedikit tetapi tidak mengurangi substansi barang itu seperti susu pada unta dan air dalam sumur dapat juga disewakan.
  • Uang dari emas atau perak dan tidak dapat disewakan karena barang-barang ini setelah dikonsumsi menjadi hilang atau habis.

Syarat Ijaroh :

  • Baik Mu’jar atau musta’jir harus balig dan berakal.
  • Musta’jir harus benar-benar memiliki barang yang disewakan itu atau mendapatkan wilayah untuk menyewakan barang itu.
  • Kedua pihak harus sama-sama ridho menjalankan akad.
  • Manfaat yang disewakan harus jelas keadaannya maupun lama penyewaannya sehingga tidak menimbulkan persengketaan.
  • Manfaat atau imbalan sewa harus dapat dipenuhi secara nyata dan secara syar’i. Misalnya tidak diperbolehkan menyewakan mobil yang dicuri orang atau perempuan haid untuk menyapu masjid.
  • Manfaat yang dapat dinikmati dari sewa harus halal atau mubah karena ada kaidah ” menyewakan sesuatu untuk kemaksiatan adalah haram hukumnya”.
  • Pekerjaan yang diupahkan itu tidak merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang diupah sebelum terjadinya akad seperti menyewa orang untuk sholat.
  • Orang yang diupah tidak boleh menikmati manfaat karena pekerjaannya. Tidak boleh pengupahan (ijaroh) terhadap amalan-amalan thoat.
  • Upah harus berupah harta yang secara syar’i bernilai.
  • Barang yang disewakan tidak cacat yang dapat merugikan pihak penyewa..

Berakhirnya akad ijaroh :

  • Salah satu pihak meninggal dunia (Hanafi); jika barang yang disewakan itu berupa hewan maka kematiannya mengakhiri akad ijaroh (Jumhur).
  • Kedua pihak membatalkan akad dengan iqolah.
  • Barang yang disewakan hancur atau rusak.
  • Masa berlakunya akad telah selesai.

Sumber :

1. Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57 2. An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.3. Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.

Juni 19, 2007

Hukum Hawalah


Secara bahasa hawalah atau hiwalah bermakna berpindah atau berubah. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah para fukoha hawalah adalah pemindahan atau pengalihan penagihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang yang menanggung hutang tersebut. Batasan ini dapat digambarkan sebagai berikut. Misalnya A meminjamkan sejumlah uang kepada B dan B sebelumnya telah meminjamkan sejumlah uang kepada C. Untuk lebih menyederhanakan persoalan, kita asumsikan bahwa hutang C pada B sama jumlahnya dengan hutang B pada A. Ketika A menagih hutang kepada B, ia mengatakan kepada A bahwa ia memiliki piutang yang sama pada C. Karena itu B memberitahukan kepada A dan ia dapat menagihnya kepada C dengan catatan ketiga-tiga orang itu menyepakati perjanjian hawalah dahulu.

Pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad ZAW sampai sekarang. Dalam al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain, lihat al-Qur’an : 5: 2. Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang merupakan manifestasi dari semangat ayat tersebut.

Rasulullah SAW bersabda : “Menunda-nunda pembayaran hutang dari orang yang mampu membayarnya adalah perbuatan zalim. Dan apabila salah seorang dari kamu dipindahkan penagihannya kepada orang lain yang mampu, hendaklah ia menerima.” (H.R.Ahmad dan Abi Syaibah). Semangat yang dikandung oleh hadis ini menunjukkan perintah yang wajib diterima oleh orang yang dipindahkan penagihannya kepada orang lain. Karena itu menurut Imam Ahmad dan Dawud adh-Dhohiri orang yang dipindahkan hak penagihannya wajib menerima akad hawalah. Hanya saja jumhur ulama tidak mewajibkan hal itu dan menakwilkan kata perintah dalam hadis ini mempunyai kedudukan hukum sunnah atau dianjurkan saja, bukan sebagai suatu kewajiban yang harus diikuti.

Pada prinsipnya para ulama telah sepakat dibolehkannya akad hawalah ini. Hawalah yang mereka sepakati adalah hawalah dalam hutang piutang bukan pada barang konkrit.

Menurut madzhab Hanafi rukun hawalah ada dua yaitu ijab yang diucapkan oleh Muhil dan qobul yang diucapkan oleh Muhal dan Muhal alaih. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hawalah ada enam macam yaitu:

  • 1. Muhil ( orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang).
  • 2. Muhal ( orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai piutang).
  • 3. Muhal alaih ( orang yang dipindahkan kepadanya objek penagihan).
  • 4. Muhal bih (hak yang dipindahkan yaitu hutang).
  • 5. Piutang Muhil pada Muhal alaih.
  • 6. Shighot.

Dalam contoh di atas Muhil adalah B, Muhal adalah A dan Muhal alaih adalah C. Dalam akad hawalah Ijab yang diucapkan oleh Muhil mengandung pengertian pemindahan hak penagihan, umpamanya ia berkata kepada A : Aku pindahkan (hawalahkan) hak penagihanmu terhadap hutang saya kepada C. Sementara itu A dan C menyetujui dengan mengucapkan ” Kami setuju”. Dengan demikian akad hawalah tersebut dapat dilaksanakan dengan masing-masing pihak puas dan rela.

Persyaratan hawalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih. Berkaitan dengan Muhil, ia disyaratkan harus, pertama, berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Kedua, kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Di samping itu persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad hawalah.

Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil. Kedua, kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia menerima akad hawalah.

Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Alaih. Pertama, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya karena tidak boleh dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad hawalah dalam majlis atau di luar majlis.

Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Bih. Pertama, ia harus berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal. Kedua, hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan.

Ada dua jenis hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah. Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (oarang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.

Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal.

Hawalah Haq adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.

Hawalah Dayn adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hawalah Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.

Jika hawalah telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia kini bebas dari penagihan utang. Demikian menurut jumhur ulama. Kedua, dengan ditandatanganinya akad hawalah, maka hak penagihan Muhal ini telah dipindahkan kepada Muhal alaih. Dengan demikian ia memiliki wilayah penagihan kepadanya.

Akad hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini :

  • Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada Muhil.
  • Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
  • Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
  • Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
  • Jika Muhal menghibahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
  • Jika Muhal menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal alaih. Ini sama dengan sebab yang ke 5 di atas.
  • Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.

Sumber :

  • Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57
  • An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.
  • Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.
Juni 19, 2007

Hukum Mudhorobah


Hukum Mudhorobah

 

Secara bahasa mudhorobah berasal dari akar kata dhoroba – yadhribu – dhorban yang bermakna memukul. Dengan penambahan alif pada dho’, maka kata ini memiliki konotasi “saling memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Para fukoha memandang mudhorobah dari akar kata ini dengan merujuk kepada pemakaiannya dalam al-Qur’an yang selalu disambung dengan kata depan “fi” kemudian dihubungkan dengan “al-ardh” yang memiliki pengertian berjalan di muka bumi. Ini merujuk kepada usaha perniagaan pada zaman dahulu yang dilakukan dengan cara berjalan ke tempat-tempat yang jauh, misalnya dari Makkah ke Syam dan ke Yaman.Mudhorobah merupakan bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak sedangkan penduduk Hijaz lebih suka menggunakan kata “qirodh” untuk merujuk pola perniagaan yang sama. Mereka menamakan qirodh yang berarti memotong karena si pemilik modal memotong dari sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya. Kadang-kadang juga dinamakan dengan muqorodhoh yang berarti sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan laba karena si pemilik modal memberikan modalnya sementara pengusaha meniagakannya dan keduanya sama-sama berbagi keuntungan.Dalam istilah fikih muamalah, mudhorobah adalah suatu bentuk perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengusaha, yang selanjutnya disebut mudhorib, untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan kerugian, jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal.

Mudhorobah merupakan jenis akad tidak lazim yaitu suatu akad di mana salah satu pihak yang melaksanakan kontrak ini dapat membatalkan kontraknya tanpa harus menunggu persetujuan dari pihak yang lain. Mudhorobah dalam hal ini mirip wadiah.

Para ulama sepakat bahwa landasan syariah mudhorobah dapat ditemukan dalam al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan qiyas.
Dan orang-orang yang lain berjalan di muka bumi mencari keutamaan Allah” Q.S. Al-Muzammil : 20. Ayat ini menjelaskan bahwa mudhorobah ( berjalan di muka bumi) dengan tujuan mendapatkan keutamaan dari Allah (rizki). Dalam ayat yang lain Allah berfirman : “Maka apabila sholat (jum’at) telah ditunaikan, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah keutamaan Allah“. Q.S al-Jum’ah : 10. Ayat-ayat senada masih banyak ditemukan dalam al-Qur’an yang dipandang oleh para fukoha sebagai basis dari diperbolehkannya mudhorobah. Dipandang secara umum, kandungan ayat di atas mencakup usaha mudhorobah karena mudhorobah dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan salah satu bentuk mencari keutamaan Allah.Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Abbas bin Abdul Muttholib apabila membayarkan hartanya untuk mudhorobah memberikan persyaratan kepada sang Mudhorib agar tidak menuruni lembah atau membeli binatang yang berparu-paru basah. Jika ia tidak mengindahkan persyaratan ini, maka ia harus menanggung resiko yang terjadi karenanya. Persyaratan ini disampaikan kepada Rasulullah SAW dan beliau membolehkannya.” (H. R. Thabrani dalam al-Ausath dengan sanad yang lemah).Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib bahwa Rasulullah SAW bersabda : Tiga perkara yang di dalamnya terdapat berkah yaitu jual beli secara tangguh, mudhorobah dan mencampur gandum dan jelai untuk kepentingan keluarga dan bukan untuk dijual“. Hadis inipun sanadnya lemah.

Diriwayatkan dari sejumlah sahabat bahwa mereka membayarkan harta anak yatim secara mudhorobah dan tak seorangpun ada yang menyangkal hal itu. Hal ini jelas merupakan suatu bentuk ijma’ di kalangan para sahabat.

Mudhorobah dapat dipandang sama dengan Musaqoh yang memang dihajatkan dalam masyarakat. Ini disebabkan karena ada orang yang punya kebun atau tanah pertanian tetapi tidak memiliki kehlian untuk merawatnya dan memerlukan orang lain yang lebih ahli untuk mengelola kebun dan tanamannya itu. Dengan demikian dapat dipertemukan sinerji antara pemilik kebun dan pengelolanya kemudian berbagi keuntungan dari hasil yang telah dipetik.

Menurut madzhab Hanafi rukun mudhorobah itu ada dua yaitu Ijab dan Qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun mudhorobah ada tiga macam yaitu adanya pemilik modal dan mudhorib, adanya modal, kerja dan keuntungan dan adanya shighot yaitu Ijab dan Qobul.

Secara umum mudhorobah dapat dibagi menjadi dua macam golongan yaitu mudhorobah muthlaqoh dan mudhorobah muqoyyadah. Yang dimaksud dengan mudhorobah muthlaqoh adalah konttrak mudhorobah yang tidak memiliki ikatan tertentu. Misalnya dalam ijab si pemilik modal mengatakan ” Aku membayar harta ini sebagai modal mudhorobah dan keuntungan akan kita bagi 60% dan 40%”. Kalimat ini tidak mengandung ikatan apa-apa seperti tidak menyebutkan usaha apa yang akan dikerjakan dengan modal mudhorobah dan ketentuan-ketentuan lain.

Sementara itu mudhorobah muqoyyadah adalah jenis mudhorobah yang pada akadnya dicantumkan persyaratan-persyaratan tertentu misalnya hanya boleh berusaha di kota tertentu, untuk jual beli barang tertentu, dalam waktu tertentu atau dengan orang tertentu. Ikatan-ikatan ini membuat mudhorobah menjadi terikat dan sempit.

Kontrak mudhorobah sebelum diimplementasikan secara nyata dalam usaha oleh sang mudhorib belum menjadi akad lazim. Artinya ketika akad sudah disetujui oleh si pemilik modal dan pengusaha, masing-masing pihak masih memiliki hak untuk membatalkan akad itu. Misalnya si pemilik modal menarik kembali modalnya atau pengusaha mengembalikan modalnya kepadanya. Pembatalan semacam ini tidak menganggu sama sekali substansi mudhorobah. Hanya saja ketika akad ini sudah nyata-nyata dilaksanakan oleh sang mudhorib, maka ketika itu ia berubah menjadi akad lazim dan tidak diperbolehkan salah satu pihak untuk membatalkan tanpa persetujuan dari pihak yang lain.

Persyaratan dalam akad mudhorobah dapat merujuk kepada pihak yang melakukan akad seperti pemodal dan pengusaha, modal yang disetor dan keuntungan yang akan diraih. Adapun syarat utama bagi pemodal dan mudhorib (Aqidaan) adalah keduanya harus memiliki kemampuan untuk diwakili dan mewakilkan. Hal ini dikarenakan sang mudhorib mengelola modal orang lain dan ini mengandung makna perwakilan. Tidak disyaratkan mudhorobah harus dilakukan oleh seorang Muslim, ia dapat diusahakan oleh orang-orang non-Islam.

Persyaratan yang berkaitan dengan modal yang disetor antara lain, yang pertama adalah bahwa modal itu harus berupa mata uang yang berlaku di pasaran. Tidak diperbolehkan modal yang disetor itu dalam bentuk barang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Ini dimaksudkan agar nilai modal yang disetor itu mudah ditentukan. Seandainya modal itu berupa barang, maka kemungkinannya sulit menentukan nilai yang paling tepat dan berakibat pada ghoror yang mungkin akan menjadi faktor pemicu persengketaan di kemudian hari. Kedua, modal yang disetor harus diketahui ukurannya. Jika tidak diketahui ukurannya akan menimbulkan ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan. Ketiga, modal yang disetor harus berbentuk uang yang dihadirkan ketika usaha mudhorobah dilakasanakan dan bukan berupa utang atau harta lain yang tidak dapat dihadirkan. Keempat, modal yang disetor harus diserahkan kepada sang mudhorib. Bilamana tidak terjadi penyerahan modal kepadanya maka tidak ada makna bagi mudhorobah karena tidak mungkin diimplementasikan secara nyata.

Persyaratan yang berkaitan dengan keuntungan antara lain, pertama, keuntungan harus dapat diketahui ukurannya. Masing-masing pihak harus mendapatkan penjelasan yang benar, terang dan memadai tentang porsi keuntungannya. Tidak dibenarkan porsi keuntungan ini tidak diterangkan kepada mereka. Jika memang dalam akad tersebut tidak dijelaskan masing-masing porsi, maka pembagiannya menjadi 50% dan 50%. Hal ini dikarenakan akad mudhorobah mengandung pengertian pembagian keuntungan 50% dan 50% karena ia merupakan bentuk dari musyarokah yang menghendaki persamaan dalam porsi. Pertanyaan, jika dalam akad mudhorobah disyaratkan bahwa kerugian yang timbul akan ditanggung oleh sang mudhorib bagaimanakah hukumnya? Menurut madzhab Hanafi, persyaratan ini batal tetapi tidak membatalkan hukum mudhorobah yang sedang diimplementasikan. Artinya mudhorobah tetap sah dan tetap dapat dilanjutkan.

Kedua, keuntungan merupakan bagian yang dibagi bersama dengan perbandingan yang tegas seperti 30% : 70% atau 40% : 60% misalnya. Tidak diperbolehkan pembagian keuntungan dengan menyatakan nilai nominal misalnya Rp. 100.000,- bagi si pemodal atau Rp. 80.000,- bagi sang mudhorib karena hal itu belum tentu mencerminkan keuntungan sebenarnya yang diraih. Berapapun keuntungan yang direalisasikan dalam mudhorobah, maka hal itu harus dibagi bersama-sama kepada masing-masing pihak.

Kedudukan Hukum Mudhorobah yang Sah :1. Bagi sang mudhorib yang mengelola aset pemilik modal, maka kedudukan hukumnya adalah sebagai orang yang diberi amanat seperti halnya dalam wadiah. Ia menerima titipan dari sang pemilik modal tanpa ada penggantian seperti dalam jual beli. Bila mana ia melakukan transaksi apapun dalam usaha ini, maka itu semua dilakukan dalam kapasitasnya sebagai seorang wakil. 2. Berkaitan dengan pola pengelolaan mudhorobah oleh sang mudhorib, maka kedudukannya bisa berubah dengan mengacu kepada jenis-jenis mudhorobah yang dipilih. Kalau ia muthlaqoh, maka sang mudhorib bebas untuk melakukan usaha selama hal itu masih dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syara’. Dalam hal mudhorobah muqoyyadah, maka sang mudhorib tidak diperbolehkan bergerak leluasa dan bebas memilih peluang usaha yang ada. Ia harus tunduk kepada persyaratan dari pihak pemodal.
Ketentuan hukum tentang pengelolaan mudhorib dalam mudhorobah ada tiga macam, yaitu pertama, hal-hal yang dapat dilaksanakan oleh mudhorib di mana hal itu dianggap sudah menjadi kebiasaan menurut adat istiadat. Misalnya melakukan jual beli, mewakilkan kepada orang lain dan lain-lain. Kedua, hal-hal bukan menjadi wilayah kekuasaannya kecuali memang diberikan izin untuk mengelola dengan pendapatnya sendiri. Misalnya si pemodal mengatakan ” Niagakan hartaku ini dengan mudhorobah dan kamu dapat memanfaatkan pendapatmu sendiri di dalamnya atau mewakilkannya kepada orang lain”. Ketiga, hal-hal yang tidak boleh dilaksanakan kecuali telah mendapatkan izinnya secara terang seperti memberikan hibah kepada orang lain.
Mudhorib Melaksanakan mudhorobah yang Kedua.
Yang dimaksud dengan mudhorib melaksanakan mudhorobah yang kedua adalah kenyataan dalam lapangan bilamana sang mudhorib dalam perniagaannya melakukan akad mudhorobah kembali kepada orang lain dengan modal yang ia telah terima dari si pemilik modal. Menurut madzhab Hanafi hal ini tidak diperbolehkan kecuali jika modal itu diserahkan kepada pemilik modal. Golongan ini berpendapat bahwa mudhorib pertama tidak bertanggung jawab terhadap modal yang diserahkannya kepada mudhorib kedua kecuali jika yang terakhir ini telah benar-benar melaksanakan perniagaan dan mendapatkan keuntungan atau kerugian. Pembagian keuntungan di sini adalah sebagai berikut. Sang pemilik modal mendapatkannya sesuai dengan kesepakatan antara dia dan mudhorib pertama. Sementara itu bagian keuntungan dari mudhorib dibagi berdua dengan mudhorib yang kecua sesuai dengan porsi bagian yang telah disepakati antara keduanya. 3. Berkaitan dengan hak-hak mudhorib yang dapat ia nikmati pada saat menjalankan usaha mudhorobah yaitu, pertama, beaya operasi dan keuntungan yang disepakati dalam kontrak. Hanafiyah tidak membolehkan mudhorib menggunakan modal mudhorobah untuk beaya operasi kecuali diizinkan oleh pemodal. Sedangkan jumhur ulama membolehkannya. Adapun besarnya beaya operasi ini ditentukan oleh kebiasaan yang berlaku dengan menghindari kemubadziran. Beaya operasi ini akan diambil dari keuntungan , jika memang ada. Apabila ternyata usaha ini tidak mendapatkan keuntungan, maka hal itu diambilkan dari modal karena merupakan bagian penyusutan dari modal. Kedua, sang mudhorib mendapatkan bagian keuntungan yang telah disepakati dalam kontrak jika memang menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, maka mudhorib tidak mendapatkan apa-apa. 4. Berkaitan dengan sang pemilik modal. Sudah jelas bahwa ia berhak mendapatkan labanya yang telah ditentukan porsinya di depan pada waktu akan disetujui. Akad mudhorobah akan berakhir atau batal dengan kejadian-kejadian di bawah ini :1. Mudhorobah gugur atau batal karena fasakh atau ada larangan untuk mengelola dan ini dinyatakan dalam persyaratan. 2. Meninggalnya salah satu dari orang yang melaksanakan akad seperti meningalnya pemilik modal atau mudhorib. Mudhorobah berakhir karena akad mudhorobah ini mengandung arti perwakilan dan dalam suatu akad yang menerima perwakilan menjadi gugur atau batal jika yang mewakilan atau yang melaksanakan perwakilan itu meninggal dunia. 3. Salah satu pihak hilang akal seperti gila. Ini membatalkan mudhorobah karena penyakit gila menghilangkan “ahliah” orang tersebut. Ahliah ialah kemampuan orang untuk dapat dibebani oleh hukum.4. Murtadnya si pemilik modal atau terbunuh dalam keadaan murtad. Ini tidak berlaku bagi sang mudhorib.

 

5. Hancurnya modal di tangan mudhorib sebelum dapat dilaksanakan kontrak mudhorobah ini. Ini membatalkannya karena tidak memungkinkan lagi dilanjutkan implementasi akad mudhorobah karena modalnya tidak ada.

Sumber :

  • Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57
  • An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.
  • Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.

 

Juni 19, 2007

Hukum Syirkah


Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).

Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).

Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra : Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].

Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:

  • 1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
  • 2. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
  • 3. Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:

  • 1. Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
  • 2. Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).

Macam-Macam Syirkah

Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:

(1) syirkah inân;

(2) syirkah abdan;

(3) syirkah mudhârabah;

(4) syirkah wujûh; dan

(5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148).

An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).

Syirkah Inân

Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).

Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.

Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.

Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).

Syirkah ‘Abdan

Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.

Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).

Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).

Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].

Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).

Syirkah Mudhârabah

Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).

Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).

Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.

Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).

Syirkah Wujûh

Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).

Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).

Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).

Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).

Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).

Syirkah Mufâwadhah

Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).

Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).

Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.

Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

Sumber :

  • Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57
  • An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.
  • Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.
Juni 19, 2007

Hukum Jual Beli Kredit Dalam Islam


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata [dalam Fatawa Mu’ashirah, hal. 52-53, dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin] :

“Menjual dengan kredit artinya bahwa seseorang menjual sesuatu (barang) dengan harga tangguh yang dilunasi secara berjangka. Hukum asalnya adalah dibolehkan berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” [Al-Baqarah : 282]

Demikian pula, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah membolehkan jual beli As-Salam, yaitu membeli secara kredit terhadap barang yang dijual. Akan tetapi kredit (angsuran) yang dikenal di kalangan orang-orang saat ini adalah termasuk dalam bentuk pengelabuan terhadap riba. Teknisnya ada beberapa cara, di antaranya :

Pertama
Seseorang memerlukan sebuah mobil, lalu datang kepada si pedagang yang tidak memilikinya, sembari berkata, “Sesungguhnya saya memerlukan mobil begini”. Lantas si pedagang pergi dan membelinya kemudian menjual kepadanya secara kredit dengan harga yang lebih banyak. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah bentuk pengelabuan tersebut karena si pedagang mau membelinya hanya karena permintaannya dan bukan membelikan untuknya karena kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan keuntungan tambahan, seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara riba (memberikan bunga, pent), padahal para ulama berkata, “Setiap pinjaman yang diembel-embeli dengan tambahan, maka ia adalah riba”. Jadi, standarisasi dalam setiap urusan adalah terletak pada tujuan-tujuannya.

Kedua
Bahwa sebagian orang ada yang memerlukan rumah tetapi tidak mempunyai uang, lalu pergi ke seorang pedagang yang membelikan rumah tersebut untuknya, kemudian menjual kepadanya dengan harga yang lebih besar secara tangguh (kredit). Ini juga termasuk bentuk pengelabuan terhadap riba sebab si pedagang ini tidak pernah menginginkan rumah tersebut, andaikata ditawarkan kepadanya dengan separuh harga, dia tidak akan membelinya akan tetapi dia membelinya hanya karena merasa ada jaminan riba bagi dirinya dengan menjualnnya kepada orang yang berhajat tersebut.

Gambaran yang lebih jelek lagi dari itu, ada orang yang membeli rumah atau barang apa saja dengan harga tertentu, kemudian dia memilih yang separuh harga, seperempat atau kurang dari itu padahal dia tidak memiliki cukup uang untuk melunasinya, lalu dia datang kepada si pedagang, sembari berkata, “Saya telah membeli barang anu dan telah membayar seperempat harganya, lebih kurang atau lebih banyak dari itu sementara saya tidak memiliki uang, untuk membayar sisanya”. Kemudian si pedagang berkata, “Saya akan pergi ke pemilik barang yang menjualkannya kepada anda dan akan melunasi harganya untuk anda, lalu saya mengkreditkannya kepada anda lebih besar dari harga itu. Dan banyak lagi gambaran-gambaran yang lain.

Akan tetapi yang menjadi dhabit (ketentuan yang lebih khusus) adalah bahwa setiap hal yang tujuannya untuk mendapatkan riba, maka ia adalah riba sekalipun dikemas dalam bentuk akad yang halal, sebab tindakan pengelabuan tidak akan mempengaruhi segala sesuatu. Mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah, hanya akan menambahnya menjadi semakin lebih buruk karena mengandung dampak negativ Dari hal yang diharamkan dan penipuan, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Janganlah kamu melakukan dosa sebagaimana dosa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi sehingga (karenanya) kemu menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah (sekalipun) dengan serendah-rendah (bentuk) pengelabuan (siasat licik)“. [Ibn Baththah dalam kitab Ibthalil Hiyal hal. 24. Irwa’ul Ghalil 1535]

Mengenai penjualan kredit dengan penambahan harga, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan [dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah V/419-427] :

“”Barangsiapa menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, maka baginya (harga,-pent) yang paling sedikit atau (kalau tidak mau, maka harga yang lebih tinggi adalah, -pent) riba” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam “Al-Mushannaf (VI/120/502)”, Abu Daud dari Ibnu Abi Syaibah (no. 3461), Ibnu Hibban di dalam “Shahihnya (1110)”, Al-Hakim (II/45), dan Al-Baihaqi (V/343) kesemuanya meriwayatkan bawha telah becerita kepada kami Ibnu Abi Zaidah dari Muhammad bin Amir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu, sanadnya hasan, bahkan telah dishahihkan oleh Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, juga oleh Ibnu Hazm di dalam “Al-Muhalla (IX/16). Juga diriwayatkan oleh An-Nasa’i (VII/296, cetakan baru), At-Tirmidzi (I/232), dia menshahihkannya, Ibnul Jarud (286), Ibnu Hibban (1109), Al-Baghawi di dalam “Syarh As-Sunnah (VIII/142/211)”, ia juga menshahihkannya, Ahmad (II/342, 375, 503) dan Al-Baihaqi dari beberapa jalan dari Muhammad bin Amr dengan lafazh : “Beliau melarang dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan“]

Al-Baihaqi berkata : “Bahwa Abdul Wahhab (yakni Ibnu Atha’) berkata yaitu (si penjual) berkata : “Itu (barang) untukmu apabila kontan Rp 10,- namun jika dengan penundaan (seharga) Rp 20,-”

Imam Ibnu Qutaibah juga menerangkannya dengan (keterangan) ini, beliau berkata di dalam “Gharib Al-Hadits (I/18) : “Diantara jual beli yang terlarang (ialah) dua syarat (harga) dalam satu penjualan, yaitu (misalnya) seseorang membeli barang seharga dua dinar jika temponya dua bulan, dan seharga tiga dinar jika temponya tiga bulan. Itulah makna “dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.”

Dan hadits itu dengan lafazh ini [“Dua syarat di dalam satu penjualan”] adalah ringkas dan shahih. Hadits ini tersebut didalam hadits Ibnu Umar dan Ibnu Amr, keduanya telah ditakhrij di dalam “Irwaa Al-Ghalil (V/150-151)”.

Dan semakna dengan hadits itu adalah ucapan Ibnu Mas’ud : “Satu akad jual beli di dalam dua akad jual beli adalah riba” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq di dalam Al-Mushannaf (VIII/138-139), Ibnu Abi Syaibah (VI/199), Ibnu Hibban (163, 1111) dan Ath-Thabrani (41/1), sanadnya shahih]

Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/393), dan ini juga merupakan riwayat Ibnu Hibban (1112) (dari Ibnu Mas’ud,-pent) dengan lafazh : “Tidak patut dua akad jual-beli di dalam satu akad jual-beli (menurut lafazh Ibnu Hibban : Tidak halal dua akad jual beli) dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Allah melaknat pemakan (riba) [Pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun tidak makan, diungkapkan dengan makan karena makan adalah kegunaan terbesar dari riba dan karena riba itu umumnya seputar makanan. Pemberi makan riba adalah orang yang memberikan riba kepada orang yang mengambilnya, walaupun yang mengambil tadi tidak memakannya,-pent. (Lihat Al-Fathur-Rabbani Ma’a Syarhihi Bulughul -Amani (XV/68) oleh Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, Penerbit Dar Ihya At-Turots Al-Arabi, tanpa tahun], saksinya dan penulisnya“. Dan sanadnya juga shahih

Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Nashr di dalam As-Sunnah (54), dia menambahkan dalam satu riwayat “Yaitu seseorang berkata : “Jika kontan maka (harganya) sekian dan sekian, dan jika tidak kontan maka (harganya) sekian dan sekian“.
Apalagi sekelompok ulama dan Fuqaha (para ahli fiqh) menyepakatinya atas hal itu. Mereka adalah :

  1. Ibnu Sirin Ayyub. Meriwayatkan darinya, bahwa Ibnu Sirin membenci seseorang berkata : “Aku menjual (barang,-pent) kepadamu seharga 10 dinar secara kontan, atau 15 dinar secara tempo” [Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq di dalam “Al-Mushannaf (VIII/138/14630)” dengan sanad yang shahih darinya (Ibnu Sirin)].
  1. Thawus. Dia berkata : “Apabila (penjual,-pent) mengatakan bahwa (barang) itu dengan (harga) sekian dan sekian jika temponya sekian dan sekian, tetapi dengan (harga) sekian jika temponya sekian dan sekian. Lalu terjadi jual beli atas (cara) ini, maka (penjual harus mengambil, -pent) harga yang lebih rendah sampai tempo yang lebih lama. [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq juga (14631) dengan sanad yang shahih juga. Abdur Razaq juga meriwayatkan (pada no 14626), demikian pula Ibnu Abu Syaibah (VI/120) dari jalan Laits dari Thawus dengannya (perkataan di atas,-pent) secara ringkas, tanpa perkataan : “Lalu terjadi jual beli…” tetapi dengan tambahan (riwayat) : “Kemudian (jika penjualnya, -pent) menjual dengan salah satu dari kedua harga itu sebelum (pembeli, -pent) berpisah dari (penjual), maka tidak mengapa”. Akan tetapi ini tidak shahih dari Thawus, karena :Laits -yaitu Ibnu Abu Salim- telah berubah ingatan (karena tua)].
  1. Sufyan Ats-Tsauri. Mengatakan bahwa, jika engkau berkata : “Aku menjual kepadamu dengan kontan (seharga) sekian, dan dengan tidak kontan (seharga) sekian dan sekian”, kemudian pembeli membawanya pergi, maka dia berhak memilih di antara dua (harga) penjualan tadi, selama belum terjadi keputusan jual-beli atas salah satu harga. Dan jika telah terjadi jual-beli seperti ini, maka itu adala dibenci.Itulah “dua penjualan di dalam satu penjualan”, dan itu tertolak serta terlarang. Maka jika engkau mendapati barangmu masih utuh, engkau dapat mengambil harga yang paling rendah dan waktu yang lebih lama. [Diriwayatkan oleh Abdur Razaq (14632) dari Sufyan Ats-Tsauri].
  1. Al-Auza’i. Riwayatnya secara ringkas senada dengan di atas. Dalam riwayat itu dikisahkan bahwa Al-Auza’i ditanya : “Jika (pembeli,-pent) membawa pergi dagangan itu (berdasarkan jual-beli dengan) dua syarat tadi?” Dia (Al-Auza’i) menjawab : “Harga barang itu dengan harga yang terendah dengan tempo yang lebih lama“. Al-Khaththabi menyebutkannya (riwayat ini, pent) di dalam “Ma’alimus Sunnah (V/99)”. Kemudian para imam hadits dan lughoh (bahasa Arab) berjalan mengikuti sunnah mereka, diantaranya :
  • Imam An-Nasa’i. Beliau berkata dibawah bab : Dua penjualan di dalam satu penjualan: “yaitu seseorang berkata : Aku menjual kepadamu barang ini seharga 100 dirham secara kontan, dan seharga 200 dirham secara tidak kontan”.Demikian juga An-Nasa’i menerangkan seperti itu pada hadits Ibnu Amr “Tidak halal dua persyaratan di dalam satu penjualan“. [Hadits ini ini telah ditakhrih didalam “Al-Irwaa (1305) dan lihatlah “Shahihul Jaami (7520)”.
  • Ibnu Hibban. Beliau berkata di dalam “Shahihnya (VII/225-Al-Ihsan)” : “Telah disebutkan larangan tentang menjual sesuatu dengan harga 100 dinar secara kredit, dan seharga 90 dinar secara kontan. Beliau menyebutkan hal itu dibawah hadits Abu Hurairah dengan lafazh yang ringkas.
  • Ibnul Atsir. Di dalam “Gharibul Hadits” dia menyebutkannya di dalam penjelasan dua hadits yang telah diisyaratkan tadi.

HUKUM JUAL BELI KREDIT
Sesungguhnya telah disebutkan pendapat-pendapat yang lain mengenai tafsir “dua penjualan” itu, mungkin sebagiannya akan dijelaskan berikut ini. Namun tafsir yang telah lewat di atas adalah yang paling benar dan paling masyhur, dan itu persis dengan apa yang sekarang ini dikenal dengan (istilah) “Jual Beli Kredit”. Bagaimana hukumnya ?

Dalam hal ini, para ulama telah berselisih pendapat semenjak dahulu hingga sekarang dan menjadi tiga pendapat.

  1. Bahwa hal itu adalah batil secara mutlak, dan ini adalah pendapat Ibnu Hazm
  2. Bahwa hal itu adalah tidak boleh kecuali apabila dua harga itu dipisah (ditetapkan) pada salah satu harga saja. Misalnya apabila hanya disebutkan harga kreditnya saja.
  3. Bahwa hal itu tidak boleh. Akan tetapi apabila telah terjadi dan harga yang lebih rendah dibayarkan maka boleh.

Dalil madzhab yang pertama adalah zhahir larangan pada hadits-hadits yang telah lalu, karena pada asalnya larangan itu menunjukkan batilnya (perdagangan model itu). Inilah pendapat yang mendekati kebenaran, seandainya tidak ada apa yang nanti disebutkan saat membicarakan dalil bagi pendapat yang ketiga.

Sedangkan para pelaku pendapat kedua berargumentasi bahwa larangan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan harga, yaitu : ketidak pastian harga ; apakah harga kontan atau kredit. Al-Khaththabi berkata : “Apabila (pembeli) tidak tahu harga (maka) jual beli itu batal. Adapun apabila dia memastikan pada salah satu dari dua perkara (harga, -pent) itu dalam satu majlis akad, maka (jual-beli) itu sah”.

Syaikh Al Albani berkata : “Alasan dilarangnya ‘dua (harga) penjualan dalam satu penjualan’ disebabkan oleh ketidaktahuan harga, adalah alasan yang tertolak. Karena hal itu semata-mata pendapat yang bertentangan dengan nash yang jelas di dalam hadits Abu Hurairah dan Ibnu Mas’ud bahwa (penyebab larangan) itu adalah riba. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain (yang menjadi pendapat ini tertolak, -pent) ialah karena alasan mereka ini dibangun di atas pendapat wajibnya ijab dan qabul dalam jual beli. Padahal (pendapat) ini tidak ada dalilnya, baik melalui Kitab Allah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di dalam (jual-beli) itu cukup (dengan) saling rela dan senang hati. Maka selama ada rasa saling rela dan senang hati di dalam jual beli, dan ada petunjuk kearah sana, berarti itu merupakan jual-beli yang syar’i. Itulah yang dikenal oleh sebagian ulama dengan (istilah) jual beli Al-Mu’aathaah [Yaitu akad jual beli yang terjadi tanpa ucapan atau perkataan (ijab qabul) akan tetapi dengan perbuatan saling rela. Seperti pembeli mengambil barang dagangan dan memberikan (uang) harganya kepada penjual ; atau penjual memberikan barang dan pembeli memberikan (uang) harganya tanpa berbicara dan tanpa isyarat, baik barang itu remeh atau berharga. (Lihat “Al-Fihul Islami wa Adillatuhu IV/99 oleh DR Wahbah Az-Zuhaili)], Asy-Syaukani berkata di dalam “As-Sail Al-Jarar (III/126)”

“Jual beli al-mu’aathaah ini, yang dengannya terwujud suasana saling rela dan senang hati adalah jual beli syar’i yang diijinkan oleh Allah, sedangkan menambahinya (dengan syarat-syarat lain, pent) adalah termasuk mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh syara (agama)”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga telah menjelaskan hal itu di dalam Al-Fatawa (XXIX/5-21) yang tidak memerlukan tambahan lagi, hendaklah orang yang ingin memperluas (masalah ini) melihat ke sana.

Syaikh Al-Albani berkata : “Apabila demikian, maka seorang pembeli sewaktu dia telah berpaling (membawa) apa yang dia beli, mungkin dia membayar kontan atau mungkin membayar kredit. Jual beli dengan cara yang pertama itu sah, sedangkan pada cara kedua yaitu pembeli membawa barang dengan menanggung harga kredit -dan inilah masalah yang sedang diperselisihkan-, lalu mana alasan tidak mengerti harga yang dikemukakan di atas ? Khususnya lagi apabila pembayaran itu dengan angsuran, maka angsuran yang pertama dia bayar dengan kontan sedang sisa angsurannya tergantung kesepakatan. Dengan demikian batallah illat (alasan/sebab) tidak mengertinya harga sebagai dalil, baik melalui atsar maupun melalui penelitian.

Dalil pendapat yang ketiga adalah hadits bab ini (hadits yang dibicarakan ini ,-pent), ditambah atsar (hadits) Ibnu Mas’ud. Sesungguhnya kedua hadits tersebut sepakat bahwa : ‘dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan adalah riba”. Jadi riba itulah yang menjadi illat (alasan)nya. Dengan demikian maka larangan itu berjalan sesuai dengan illat (alasan)nya, baik larangan itu menjadi ada, ataupun menjadi tidak ada. Karenanya bila dia mengambil harga yang lebih tinggi, berarti itu riba. Tetapi bila mengambil harga yang lebih rendah, maka hal itu menjadi boleh. Sebagaimana keterangan dari para ulama, yang telah menyatakan bahwa boleh untuk mengambil yang lebih rendah harganya, dengan tempo yang lebih lama, karena sesungguhnya dengan demikian berarti dia tidak menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.

Bukankah anda lihat apabila (penjual) menjual barang dagangannya dengan harga pada hari itu, dan dia membebaskan pembeli untuk memilih antara membayar harga secara kontan atau hutang, maka dia tidak dikatakan : Telah menjual dengan dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, sebagaimana hal itu jelas. Dan itulah yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya pada hadits yang bicarakan, “Maka baginya (harga) yang paling sedikit, atau (kalau tidak mau maka harga yang lebih tinggi adalah) riba” [lihat hadits yang menjadi pokok bahasan di atas, -pent]

Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensahkan penjualan itu karena hilangnya illat (alasan/sebab yang menjadikannya terlarang). Beliau membatalkan harga tambahan, karena hal itu adalah riba. Pendapat ini adalah juga pendapat Thawus, Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i rahimahullah sebagaimana telah diterangkan di atas. Dari sinilah dapat diketahui gugurnya perkataan Al-Khaththabi di dalam “Ma’alimus Sunan (V/97)”.

Dan kesimpulannya ; bahwa pendapat yang kedua itu adalah pendapat yang paling lemah, karena tidak ada dalil padanya kecuali akal bertentangan dengan nash. Kemudian diiringi oleh pendapat yang pertama, karena Ibnu Hazm yang mempunyai pendapat itu mengklaim bahwa hadits bab ini telah dihapus (mansukh) oleh hadits-hadits yang melarang dua penjualan di dalam satu penjualan, dan klaim itu tertolak, karena bertentanan dengan ushul (fiqh,-pent).

Karena (di dalam ushul fiqh, sebuah hadits itu,-pent) tidak akan menjadi (pembicaraan) naskh (penghapusan hukum) kecuali apabila jama’ (penggabungan nash) sulit dilakukan, padahal jama’ bisa dilakukan dengan mudah disini.

Ketahuilah akhi (saudaraku) Muslim ! bahwa mu’amalah tersebut yang telah tersebar di kalangan para pedagang dewasa ini, yaitu jual beli kredit, dan mengambil tambahan (harga) sebagai ganti tempo, dan semakin panjang temponya ditambah pula harganya. Dari sisi lain itu hanyalah mu’amalah yang tidak syar’i karena meniadakan ruh Islam yang berdiri di atas (prinsip) memudahkan kepada manusia, kasih sayang terhadap mereka, sebagaimana di dalam sabda beliau “Mudah-mudahan Allah merahmati seorang hamba, yang mudah apabila dia menjual, mudah apabila dia membeli, mudah apabila dia menagih” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang dermawan, yang lemah lembut, yang dekat niscaya Allah haramkan dari neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan lainnya, dan telah disebutkan takhrijnya no. 938]

Maka seandainya salah seorang dari mereka (para pedagang ) bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjual (barang) dengan (sistim hutang atau kredit dengan harga kontan, sesunguhnya itu lebih menguntungkannya, hatta dari sisi materi. Karena hal itu akan menjadikan orang-orang ridha kepadanya dan mau membeli darinya serta akan diberkati di dalam rizkinya, sesuai dengan firmanNya Azza wa Jalla “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan jalan keluar baginya dan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak ia sangka” [Ath-Thalaq : 2]

Dan pada kesempatan ini aku nasehatkan kepada para pembaca untuk meruju kepada risalah al-akh Al-Fadhil Abdurrahman Abdul Khaliq (yang berjudul) : “Al-Quuluf Fashl Fii Bari’il Ajl”, karena risalah ini istimewa dalam masalah ini, bermanfaat dalam temanya, mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kepadanya.”

Sumber :

  1. Majalah As-Sunnah Edisi 12/Th III/1420-1999, Penjualan Kredit Dengan Tambahan Harga, Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Peneremah Abu Shalihah Muslim Al-Atsari, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah.
  2. Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq
Juni 19, 2007

Hukum Bekerja di Bank Menurut Islam


 

Apakah gaji-gaji yang diterima oleh para pegawai bank-bank secara umum ?

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan [dalam Kitabut Da’wah, Juz I] :

“Tidak boleh bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan riba karena hal itu berarti membantu mereka di dalam melakukan dosa dan pelanggaran. Sementara Allah telah berfirman “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Ma’idah : 2]

Dan terdapat pula hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara shahih bahwasanya “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan “Mereka itu sama saja” [Hadits Riwayat Muslim, Kitab Al-Musaqah 1598].”

Selanjutnya,  Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan [dalam Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin, Juz II]:

“Bekerja di sana diharamkan karena dua alasan.

Pertama : Membantu melakukan riba

Bila demikian, maka ia termasuk ke dalam laknat yang telah diarahkan kepada individunya langsung sebagaimana telah terdapat hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau : “melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya.

Beliau mengatakan, “Mereka itu sama saja”.

Kedua : Bila tidak membantu, berarti setuju dengan perbuatan itu dan mengakuinya.

Oleh karena itu, tidak boleh hukumnya bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan riba. Sedangkan menyimpan uang disana karena suatu kebutuhan, maka tidak apa-apa bila kita belum mendapatkan tempat yang aman selain bank-bank seperti itu. Hal itu tidak apa-apa dengan satu syarat, yaitu seseorang tidak mengambil riba darinya sebab mengambilnya adalah haram hukumnya.
Sumber :

Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 25-26 Darul Haq

Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan :

Pertanyaan :

“Saya bekerja pada sebuah bank dan ketika saya sudah keluar, barulah saya mengetahui bahwa harta yang telah saya dapatkan darinya, semuanya adalah haram. Bila pernyataan ini benar, apa yang mesti saya perbuat dengan uang tersebut; apakah saya sedekahkan atau bagaimana?”

Kemudian Beliau menjawab:

“Barangsiapa yang mendapatkan harta yang haram dari hasil riba atau selainnya, kemudian dia bertaubat darinya; maka hendaknya dia menyedekahkannya dan tidak memakannya. Atau mengalokasikannya pada proyek kebajikan dengan tujuan untuk melepaskan diri darinya, bukan untuk tujuan mendapatkan pahala sebab ia adalah harta yang haram, sedangkan Allah Ta’ala adalah Maha Suci dan tidak menerima kecuali yang suci (baik-baik). Akan tetapi, pemiliknya ini mengeluarkannya dari kepemilikannya dan mengalokasikannya pada proyek kebajikan atau memberikannya kepada orang yang membutuhkan karena ia (harta tersebut) ibarat harta yang tidak bertuan yang dialokasikan untuk kemashlahatan. Ini semua dengan syarat, dia menghentikan pekerjaan yang haram tesebut dan tidak terus menerus larut di dalamnya.”

(al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, Jld.IV, Hal. 137-138, No. 141)

Dalam kesempatan yang lain, seseorang bertanya kepada Beliau,

“Saya bekerja pada sebuah perusahaan yang mendapatkan fasilitas perbankan dari bank-bank yang bertransaksi dengan riba sekitar 5% dari keuntungan perusahaan. Bagaimana status hukum gaji saya dari perusahaan ini; apakah boleh saya bekerja di sana?, mengingat mayoritas perusahaan-perusahan yang ada beroperasi dengan cara ini.”

Maka beliau menjawab:

“Bertransaksi dengan riba haram hukumnya terhadap perusahaan-perusahaan,bank-bank dan individu-individu. Tidak boleh seorang muslim bekerja pada tempat yang bertransaksi dengan riba meskipun persentase transaksinya minim sekali sebab pegawai/karyawan pada instansi-instansi dan tempat-tempat yang bertransaksi dengan riba berarti telah bekerja sama dengan mereka diatas perbuatan dosa dan melampaui batas. Orang-orang yang bekerja sama dan pemakan riba, sama-sama tercakup dalam laknat yang disabdakan oleh Rasulullah: “Allah telah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, pencatatnya serta kedua saksinya dan pencatatnya”.(HR.Muslim)

Jadi disini, Allah Ta’ala melaknat orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, saksi dan pencatat karena mereka bekerja sama dengan pemakan riba itu.

Karenanya wajib bagi anda, wahai saudara penanya, untuk mencari pekerjaan yang jauh dari hal itu. Allah Ta’ala (artinya): “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan menganugerahinya rizki yang tidak dia sangka-sangka”.(Q,.s.ath-Thalaq: 2).

(Dan sabda Nabi- red) artinya: “Dan barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah Ta’ala maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya”. (HR.Musnad Ahmad).

(al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, Jld.IV, Hal. 142-143, No. 148)

Juni 13, 2007

Tanaman Herba Untuk Obat Batuk


Wortel (Daucus carota).

Wortel diparut, diperas dengan air panas hingga ¾ gelas, diminum 2 kali sehari. Kandungan : Protein, karbohidrat, vitamin A, Glutation, beta karoten.

Mengkudu (Morinda citrifolia).

Buah mengkudu dan jeruk nipis diperas, dimasukkan ke dalam 2 gelas air panas, lalu disaring untuk diminum 3 kali sehari. Kandungan : Morindon, morindin, metil asetil, asam kapril, soranyidiol.

Jahe (Zingiber officinale).

Jahe dibakar dan dimemarkan, direbus bersama-sama adas, kayu manis, cengkeh, dan gula aren. Setelah disaring dapat diminum 3 kali sehari 4 sendok makan untuk dewasa dan 3 kali sehari 2 sendok makan untuk anak-anak. Kandungan : Minyak atsiri, gingerol, resin, zat pati, dan gula.

Jeruk nipis (Citrus aurantifolia).

Air perasan jeruk nipis ditambah madu. Kandungan : Asam sitrat, asam amino, minyak atsiri, dan vitamin B1.

Lidah buaya (Aloe vera) .

Empulur lidah buaya dipotong kecil-kecil kemudian dicampur dengan madu. Diminum 3 kali sehari 1 sendok teh. Kandungan : Aloin, barbaloin, isobarbaloin, beta-barbaloin, damar.

Saga (Abrus precatorius).

Daun saga manis bersama-sama kayu manis, cengkeh, adas, pulasari, dan bawang merah serta gula batu, direbus. Diminum 3 kali sehari 10 sendok makan untuk dewasa, 1 sendok makan untuk anak-anak. Kandungan : Saponin, glisirisin, abrin, dan flavonoid.

Sembung (Blumea balsamifera).

Daun sembung dan daun jinten diiris-iris, direbus bersama cengkeh, kemukus, kapulaga, kayu manis, dan adas sebanyak 3 gelas hingga 2 ½ gelas. Diminum 3 kali sehari 8 sendok makan untuk dewasa, 1-5 sendok makan untuk anak-anak. Kandungan : Minyak atsiri, glikosida, tanin.

Sirih (Piper betle).

5 lembar daun sirih bersama cengkeh, kapulaga, kemukus, dan kayu manis direbus. Diminum 3 kali sehari 8 sendok makan untuk dewasa, 1-5 sendok makan untuk anak-anak. Kandungan : Minyak atsiri (kadinen, kavikol, sineol, eugenol), zat samak.

Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi).

Segenggam bunga belimbing ditambah gula batu direbus dengan segelas air hingga tinggal ½ gelas, diminum pagi dan sore. Kandungan : Asam oksalat dan kalium.

Meniran (Phyllanthus niruri).

3-7 tumbuhan lengkap ditumbuk halus direbus dengan 3 sendok makan air. Rebusannya dicampur madu 1 sendok makan, diminum sekaligus. Kandungan : Kalium, mineral, damar, filantin.

Kencur (Kaempferia galanga).

Kencur dikunyah. Kandungan : Kamfer, borneol, sineol, alkohol.

Juni 13, 2007

Batu Empedu


MENURUT penelitian klinis diketahui, wanita yang berumur 50 tahun ke atas, terutama yang bentuk tubuhnya agak gemuk, berisiko merasa ada gejala tidak nyaman di tubuhnya. Gejala utamanya adalah rasa tidak nyaman atau sakit di daerah punggung sebelah kanan, tetapi tidak ada gejala sakit di daerah perut kanan atas, juga tidak mual, muntah dll.

Memang gejala tersebut tidak spesifik. Penderita biasanya tidak mempunyai riwayat infeksi atau adanya batu dalam empedu. Pemeriksaan rutin biasa juga tidak menunjukkan gejala yang berarti, daerah punggung tidak menunjukkan bengkak atau merah, bila ditekan tidak menimbulkan rasa sakit, lengan kanan atas tidak terganggu pergerakannya, perut bagian kanan atas tidak terlihat tegang dan tidak sakit bila ditekan. Tetapi bila di USG (ultrasonografi) di daerah hati dan empedu, dapat dipastikan adanya batu dalam kandung empedu.

Batu empedu (gallstones) yang nama lainnya cholelithiasis adalah adanya batu dalam kandung empedu.

Penyebabnya, insiden dan faktor-faktor risiko. Cholelithiasis biasanya tanpa gejala dan ditemukan pada waktu pemeriksaan rutin sinar X, pembedahan atau otopsi. Batu ini dibentuk dari garam-garam empedu, lecithin, dan kolesterol. Batu-batu ini biasanya berupa butiran halus seperti pasir, atau menjadi besar hingga diameter 2,5 cm.

Gejala-gejalanya timbul bila batu tersebut menyumbat salah satu saluran dari sistem biliaris. Insiden batu empedu adalah 1 di antara 1.000 penduduk. Prevalensinya lebih besar pada wanita dan yang berumur lebih dari 40 tahun.

MencegahSebenarnya tidak ada cara untuk mencegah terjadinya batu empedu. Bila timbul gejala-gejala batu empedu, jagalah makanan Anda dengan makan makanan yang rendah lemak dan mengurangi berat badan. Ini mungkin akan sangat berguna untuk mengontrol gejala-gejala batu empedu.

Namun secara umum gejala-gejalanya antara lain:

1.      Sakit perut terutama sebelah kanan atas, atau di tengah, atau bagian atas. Serangan sakit ini berulang-ulang, rasa sakitnya sangat tajam, kejang, tapi bisa juga tumpul/bias. Kadang-kadang sakit ini menjalar ke bagian belakang atau di bawah tulang belikat kanan. Sakitnya makin parah bila makan makanan yang berlemak dan terjadi segera setelah makan.

2.      Mata dan kulit tubuh menjadi kuning (jaundice) dan Demam (fever).

Ada yang perlu menjadi perhatian masyarakat, terutama kaum wanita. Penderita sering tidak merasakan gejala apa-apa. Akan tetapi warna tinja yang pucat seperti dempul, rasa mual dan muntah, bisa menjadi gejala batu empedu. Selain itu, sakit dada bagian atas (heartburn), banyak gas dan sering kentut, atau rasa penuh di daerah perut pun hendaknya dicurigai.

Pengobatan yang biasa dilakukan dokter adalah dengan pembedahan. Itupun hanya dilakukan bila terdapat gejala-gejala. Namun menurut Dr. Lai Chiu Nan, dengan mengatur diet sedemikian rupa, sehingga memacu mengalirnya cairan empedu, dan relaksasi otot katup saluran empedu, membuat batu yang ada di saluran empedu dapat dikeluarkan. 

Juni 13, 2007

Anthrax


Anthrax adalah penyakit hewan yang dapat menular ke manusia dan bersifat akut. Penyebabnya bakteri Bacillus anthracis. Menurut drh Suprodjo Hardjo Utomo MS APU dari Balitvet, bakteri ini bersifat aerob, memerlukan oksigen untuk hidup. Di alam bebas bakteri ini membentuk spora yang tahan puluhan tahun dalam tanah dan bisa menjadi sumber penularan pada hewan dan manusia. Kasus di Bogor tejadi karena spora terbawa banjir. Hewan tertular akibat makan spora yang menempel pada tanaman yang dimakan. Hewan yang mati akibat anthrax harus langsung dikubur atau dibakar, tidak boleh dilukai supaya bakteri tidak menyebar.

Penularan pada manusia bisa lewat kontak langsung spora yang ada di tanah, tanaman, maupun bahan dari hewan sakit (kulit, daging, tulang atau darah). Mengonsumsi produk hewan yang kena anthrax atau melalui udara yang mengandung spora, misalnya, pada pekerja di pabrik wool atau kulit binatang. Karenanya ada empat tipe anthrax, yaitu anthrax kulit, pencernaan/anthrax usus, pernapasan/anthrax paru dan anthrax otak. Anthrax otak terjadi jika bakteri terbawa darah masuk ke otak.
Masa inkubasi anthrax kulit sekitar dua sampai lima hari. Mula-mula kulit gatal, kemudian melepuh yang jika pecah membentuk keropeng hitam di tengahnya. Di sekitar keropeng bengkak dan nyeri.

Pada anthrax yang masuk tubuh dalam 24 jam sudah tampak tanda demam. Mual, muntah darah pada anthrax usus, batuk, sesak napas pada anthrax paru, sakit kepala dan kejang pada anthrax otak. Jika tak segera diobati bisa meninggal dalam waktu satu atau dua hari. Namun obatnya sudah ada, yakni penisilin dan derivatnya. Karena setiap petugas kesehatan sudah dilatih untuk menangani, sebaiknya penderita segera dibawa ke Puskesmas atau rumah sakit.

Untuk mencegah tertular anthrax dianjurkan untuk membeli daging dari tempat pemotongan resmi, memasak daging secara matang untuk mematikan kuman, serta mencuci tangan sebelum makan.

Penyakit Anthrax termasuk kelompok penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia (Zoonosis). Penyakit ini paling sering menyerang ternak herbivora terutama Sapi, domba, Kambing dan selalu berakhir pada kematian. Sasaran berikutnya kuda dan babi. Hewan kelompok omnivora ini bisa lebih bertahan sehingga sebagian penderita selamat dari maut. Serangan pada ayam, belum pernah ada laporan. Berdasar penelitan yang selama ini telah dilakukan, pada manusia, dilaporkan tingkat kematian mencapai 18 persen (dari 100 kasus, 18 penderita meninggal). Penyebab Anthrax, bernama Bacillus anthracis, dapat bersembunyi dalam tanah selama 70 tahun. Bila situasi lingkungan cocok bagi pertumbuhan kuman, misalnya karena tergenang air, B anthracis akan bangkit dari kubur dan menyerang hewan yang ada di sekitarnya. Karenanya, tanah yang tercemar merupakan sumber infeksi dan bersifat bahaya laten. Kumannya dapat terserap akar tumbuh-tumbuhan hingga mencapai daun maupun buah sehingga akan menginfeksi ternak maupun manusia yang mengkonsumsinya.

Sumber infeksi lainnya adalah bangkai ternak pengindap anthrax. Miliaran B anthracis memadati darah (septisemia), organ-organ dalam. Pokoknya seluruh tubuh bangkai, termasuk benda yang keluar dari bangkai, mengandung kuman penyebab anthrax. Dalam 1 mililiter darah setidaknya mengandung 1 miliar B anthracis. Bila B anthracis aktif bersinggungan dengan Oksigen, segera mengubah diri dalam bentuk spora yang memiliki daya tahan hidup lebih tinggi. Dalam bentuk spora ini, kuman penyebab anthrax dapat bertahan hidup sampai 70 tahun di dalam tanah. Spora-spora tersebut dapat diterbangkan angin, atau dihanyutkan aliran air kemudian mencemari apa saja (air, pakan, rumput, peralatan, kendaraan, hewan dan sebagainya). Spora B anthracis yang menempel pada pakan atau air minum dan benda lainnya, bila termakan atau terhirup pernafasan atau menempel pada kulit yang luka akan berubah menjadi bentuk aktif dan masuk ke dalam jaringan serta berkembang biak. Sejak kuman masuk ke dalam tubuh ternak sampai menimbulkan gejala sakit yang disebut masa inkubasi memerlukan waktu antara 1 – 2 minggu.

Pengenalan penyakit

Mendeteksi secara dini penyakit antraks dapat mudah dilakukan bila kalangan medis sudah pernah melihat secara langsung kelainan pathognomonis yang ada seperti eschar pada kulit, yaitu kerak hitam yang berada ditengah ulkus yang mongering. Untuk mengenal penyakit antraks tersebut maka harus diketahui manifestasi klinisnya.

Antraks kulit
Keluhan penderita : demam subfebris, sakit kepala.
Pada pemeriksaan, umumnya di daerah terbuka seperti muka, leher, lengan dan tangan ditemukan kelainan berupa papel, vesikel yang berisi cairan dan jaringan nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi oleh kerak berwarna hitam, kering yang disebut eschar ( pathognomonik ) disekitar ulkus, sering didapatkan eritema dan edema. Pada perabaan edema tersebut tidak lunak dan tidak lekuk ( non pitting ) bila ditekan, disebut juga malignant pustule.

Antraks saluran pencernaan
Keluhan penderita : rasa sakit perut yang hebat, mual, muntah, tidak napsu makan, suhu badan meningkat, hematemesis.
Pemeriksaan fisik : perut membesar dan keras, dapat berkembang menjadi ascites dan edema scrotum.

Antraks paru-paru
Keluhan penderita : demam subfebris, batuk non produktif, lesu, lemah. Dalam 2 ? 4 hari gangguan pernafasan menjadi hebatdisertai suhu yang meningkat, sianosis. Dispneu, keringat berlebihan, detak jantung menjadi lebih cepat.
Pemeriksaan fisik : edema subkutan di daerah dada dan leher.

Antraks meningitis : akibat dari komplikasi bentuk antraks yang lain. Gejala klinis seperti randang otak maupun selaput otak yaitu demam, sakit kepala hebat, kejang, penurunan kesadaran, kaku kuduk.


Juni 12, 2007

Hadits Tentang Yasin


Siapa yang membaca surat Yasin dalam suatu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya dan siapa yang membaca surat Ad-Dukhan pada malam Jum’at maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya”. [Ibnul Jauzi Al-Maudhu’at 1/247]Keterangan : Hadits ini Palsu. Ibnul Jauzi mengatakan, hadits ini dari semua jalannya adalah batil, tidak ada asalnya. Imam Daruquthni berkata : Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits. [Periksa : Al-Maudhu’at, Ibnul Jauzi, I/246-247, Mizanul I’tidal III/549, Lisanul Mizan V/168, Al-Fawaidul Majmua’ah hal. 268 No. 944]

Siapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari keridhaan Allah, niscaya Allah mengampuni dosanya”. Keterangan : Hadits ini Lemah. Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya Mu’jamul Ausath dan As-Shaghir dari Abu Hurairah, tetapi dalam sanadnya ada rawi Aghlab bin Tamim. Kata Imam Bukhari, ia munkarul hadits. Kata Ibnu Ma’in, ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat). [Periksa : Mizanul I’tidal I:273-274 dan Lisanul Mizan I : 464-465]

Siapa yang terus menerus membaca surat Yasin pada setiap malam, kemudian ia mati maka ia mati syahid”. Keterangan : Hadits ini Palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam Shaghir dari Anas, tetapi dalam sanadnya ada Sa’id bin Musa Al-Azdy, ia seorang pendusta dan dituduh oleh Ibnu Hibban sering memalsukan hadits. [Periksa : Tuhfatudz Dzakirin, hal. 340, Mizanul I’tidal II : 159-160, Lisanul Mizan III : 44-45]

Siapa yang membaca surat Yasin pada permulaan siang (pagi hari) maka akan diluluskan semua hajatnya”. Keterangan : Hadits ini Lemah. Ia diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari jalur Al-Walid bin Syuja’. Atha’ bin Abi Rabah, pembawa hadits ini tidak pernah bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab ia lahir sekitar tahun 24H dan wafat tahun 114H. [Periksa : Sunan Ad-Darimi 2:457, Misykatul Mashabih, takhrij No. 2177, Mizanul I’tidal III:70 dan Taqribut Tahdzib II:22]

Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an dua kali”. [Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman]. Keterangan : Hadits ini Palsu.
[Lihat Dha’if Jamiush Shaghir, No. 5801 oleh Syaikh Al-Albani]

Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an sepuluh kali”. [Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman]. Keterangan : Hadits ini Palsu. [Lihat Dha’if Jami’ush Shagir, No. 5798 oleh Syaikh Al-Albani]

Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu mempunyai hati dan hati (inti) Al-Qur’an itu ialah surat Yasin. Siapa yang membacanya maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu seperti pahala membaca Al-Qur’an sepuluh kali”. Keterangan : Hadits ini Palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (No. 3048) dan Ad-Darimi 2:456. Di dalamnya terdapat Muqatil bin Sulaiman. Ayah Ibnu Abi Hatim berkata : Aku mendapati hadits ini di awal kitab yang di susun oleh Muqatil bin Sulaiman. Dan ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya. (Periksa : Silsilah Hadits Dha’if No. 169, hal. 202-203) Imam Waqi’ berkata : Ia adalah tukang dusta. Kata Imam Nasa’i : Muqatil bin Sulaiman sering dusta. [Periksa : Mizanul I’tidal IV:173]

Siapa yang membaca surat Yasin di pagi hari maka akan dimudahkan (untuknya) urusan hari itu sampai sore. Dan siapa yang membacanya di awal malam (sore hari) maka akan dimudahkan urusannya malam itu sampai pagi”. Keterangan : Hadits ini Lemah. Hadits ini diriwayatkan Ad-Darimi 2:457 dari jalur Amr bin Zararah. Dalam sanad hadits ini terdapat Syahr bin Hausyab. Kata Ibnu Hajar : Ia banyak memursalkan hadits dan banyak keliru. [Periksa : Taqrib I:355, Mizanul I’tidal II:283]

Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang akan mati di antara kamu“. Keterangan : Hadits ini Lemah. Diantara yang meriwayatkan hadits ini adalah Ibnu Abi Syaibah (4:74 cet. India), Abu Daud No. 3121. Hadits ini lemah karena Abu Utsman, di antara perawi hadits ini adalah seorang yang majhul (tidak diketahui), demikian pula dengan ayahnya. Hadits ini juga mudtharib (goncang sanadnya/tidak jelas)

Tidak seorang pun akan mati, lalu dibacakan Yasin di sisinya (maksudnya sedang naza’) melainkan Allah akan memudahkan (kematian itu) atasnya“. Keterangan : Hadits ini Palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan I :188. Dalam sanad hadits ini terdapat Marwan bin Salim Al Jazari. Imam Ahmad dan Nasa’i berkata, ia tidak bisa dipercaya. Imam Bukhari, Muslim dan Abu Hatim berkata, ia munkarul hadits. Kata Abu ‘Arubah Al Harrani, ia sering memalsukan hadits. [Periksa : Mizanul I’tidal IV : 90-91]

Barangsiapa yang membaca Yasin maka Allah tuliskan dengan membacanya sama dengan membaca Al Quran 10 kali”. Asy Syekh al Albani mengatakan: Maudhu’ (palsu) karena ada rawi yang bernama Harun Abi Muhammad, azd Dzahabi menuduhnya sebagai pendusta [lihat perinciannya dalam Silsilah al Ahadits adh Dhaifah, no:169]

Juni 12, 2007

Hadits Tentang Perpecahan Umat


Ummatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya di Surga kecuali kaum zindiq.”. Hadits ini diriwayatkan dari tiga jalan: Jalan Pertama, diriwayatkan oleh al-‘Uqaili dalam kitab adh-Dhu’afaa’ (IV/201) dan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab al-Maudhu’aat (I/267) dari jalan Mu’adz bin Yasin az-Zayyat, telah menceritakan kepada kami al-Abrad bin al-Asyras dari Yahya bin Sa’id dari Anas secara marfu’[1]. Jalan Kedua, diriwayatkan oleh ad-Dailami (II/1/41) dari jalan Nu’aim bin Hammad, telah menceritakan ke-pada kami Yahya Ibnul Yaman dari Yasin az-Zayyat dari Sa’ad bin Sa’id saudara Yahya bin Sa’id al-Anshari dari Anas. Jalan Ketiga, diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dari ad-Daraquthni dari jalan ‘Utsman bin Affan al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Abu Isma’il al-Ubulli Hafsh bin Umar dari Mus’ir dari Sa’ad bin Sa’id dari Anas. Pada jalan pertama ada dua orang perawi yang sangat lemah: Mu’adz bin Yasin az-Zayyat; Imam ‘Uqaili berkata: “Ia adalah seorang perawi yang majhul (tidak dikenal), haditsnya tidak terpelihara.” [Lihat Mizaanul I’tidal IV/133 dan Lisanul Mizan (VI/ 55-56)]. Al-Arbad bin al-Asyras; Imam Ibnu Khuzaimah berkata: “Ia adalah tukang dusta dan tukang memalsu hadits.” Dan al-Azdi berkata: “Haditsnya tidak sah.”  [Lihat Mizaanul I’tidal I/77-78 dan Lisaanul Mizan I/128-129]. Pada jalan kedua juga ada dua orang perawi yang lemah yaitu Nu’aim bin Hammad; Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ia benar, akan tetapi banyak salah.” [Lihat Taqriibut Tahdziib II/250 no.7192.]. Yasin bin Mu’adz az-Zayyat; Imam al-Bukhari berkata: “Munkarul hadits.” Imam an-Nasa-i dan Ibnul Jarud berkata: “Ia seorang perawi yang matruk.” Ibnu Hibban berkata: “Ia sering meriwa-yatkan hadits maudhuu’.” [Lihat Mizaanul I’tidal IV/358.]. Pada jalan ketiga juga ada dua orang perawi tukang dusta yaitu ‘Utsman bin ‘Affan al-Qurasyi as-Sijistani;
Ibnu Khuzaimah berkata: “Aku bersaksi bahwa ia sering memalsukan hadits atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Lihat Mizaanul I’tidal III/49]. Abu Isma’il al-Ubulli Hafsh bin Umar bin Maimun; Abu Hatim ar-Razi berkata: “Ia adalah syaikh tukang dusta.”  [Lihat al-Jarh wat Ta’dil (III/183, no. 789)]. Ibnul Jauzi berkata: “Hadits dengan lafazh seperti di atas, tidak ada asalnya, yang benar adalah: ‘Satu golongan yang masuk Surga, yaitu: al-Jama’ah.’” [Lihat al-Maudhuu’at I/267-268]. Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani t berkata: “Hadits dengan lafazh seperti ini (yakni seperti lafazh yang tersebut di atas) adalah palsu.” [Lihat Silsilatul Ahaadits adh-Dha’iifah wal Maudhuu’ah no. 1035].

“Perselisihan umatku adalah rahmat” ternyata bukan merupakan sabda Rasulullah. Atau disebut juga hadits maudhu’[1]. Adapun ‘ilat (kelemahan) hadits ini adalah adanya perawi yang bernama Sulaiman bin Abi Karimah, Abu Hatim Ar Rozy melemahkannya. Perawi yang bernama Juwaibir, dia seorang Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya) sebagaimana yang dinyatakan Nasa’i, Daruquthny. Dia meriwayatkan dari Adh Dhohhak perkara-perkara yang palsu termasuk “hadits” ini. Terputusnya (jalur riwayat) antara Adh Dhohhak dan Ibnu ‘Abbas.
Berkata sebagian ulama : “Hadits ini menyelisihi nash-nash ayat dan hadits, seperti firman Allah Ta’ala : “Dan mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang yang dirahmati Robbmu” dan sabda Rasulullah “Janganlah kalian berselisih, maka akan berselisih hati-hati kalian” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan dikeluarkan di dalam Sunan Abu Daud oleh Asy Syeikh Al Albani) dan hadits-hadits yang lain banyak sekali. Maka kesimpulannya bahwa kesepakatan (di atas kebenaran) itu lebih baik daripada perselisihan
.



[1] MAUDLU’ DAN MATRUK Hadist yang disanadnya ada seorang PENDUSTA, dinamakan HADIST MAUDLU’, PALSU ATAU LANCUNG; atau yang dibuat oleh orang-orang lalu mereka katakan sebagai sabda Nabi. Hadist yang disanadnya ada seorang TERTUDUH SEBAGAI PENDUSTA dinamakan HADIST MATRUK, yang ditinggalkan, yang tidak diambil, yang dibuang



[1] Satu hadist yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh seorang rawi kepada rawi lainnya sampai kepada ulama mudawwin seperti Bukhari, Muslim , Ahmad, Abu Daud dan lainnya dinamakan HADIST MARFU’, yakni hadist yang riwayatnya diangkat sampai kepada Nabi saw. Kalau ada perkataan Ahli Hadist bahwa hadist itu dirafa’kan oleh sahabat Nabi, seperti Ibnu Umar umpamanya, maka maksudnya bahwa Ibnu Umar katakan Hadist itu dari Nabi saw. bukan dari fatwanya sendiri

Juni 12, 2007

Hadits Tentang Tasbih


“Sebaik-baik pengingat adalah subhah/biji tasbih” (Diriwayatkan oleh Ad-Dailami dalam Musnad Firdaus).

Status hadits : MAUDLU’, dikarenakan :
–   sanadnya sangat gelap, yaitu para perawinya tidak dikenal;
–   sebagian rawinya ada yang tertuduh berdusta (muttaham).

Dari Abu Hurairah secara marfu’ : Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bertasbih dengan kerikil” (Diriwayatkan oleh Abul-Qasim Al-Jurjani dalam Tarikh Jurjaan nomor 68).

Status hadits : MAUDLU’, dikarenakan terdapat rawi yang bernama Abdullah bin Muhammad bin Rabi’ah Al-Qudami yang sering meriwayatkan hadits-hadits munkar dan palsu (Lihat Adl-Dla’iifah nomor 1002).

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah menemui seorang wanita dan di tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang ia gunakan untuk bertasbih/dzikir (Diriwayatkan oleh Abu Dawud nomor 1500, At-Tirmidzi nomor 3568, dan lain-lain).

Status hadits : DLA’IF, dikarenakan terdapat rawi yang bernama Khuzaimah yang majhul; juga Sa’id bin Abi Hilal, walaupun Ibnu Hajar berkata : Shaduq, akan tetapi Imam Ahmad telah menjarh-nya dimana Sa’id bin Abi Hilal ini rusak hafalannya di akhir umurnya. (Kesimpulan : Hadits ini tidak lepas dari kritik).

Dari KInanah maula Shafiyyah berkata : Aku mendengar Shafiyyah berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah menemuiku dan ditanganku ada empat ribu nawat (bijian kurma) yang aku pakai untuk menghitung dzikirku….” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi nomor 3554).

Status hadits : DLA’IF, dikarenakan terdapat rawi yang bernama :
–   Hasyim bin Sa’id. Ibnu Ma’in berkata tentangnya bahwa ia tidak ada apa-apanya (maksudnya dla’if). Ibnu Hajar dalam At-Taqrib menyebutnya dla’if.
–   Kinanah Maula Shafiyyah adalah majhul haal