Definisi Tahqiq dan Takhrij


 Tahqiq berbeda dengan Takhrij. Takhrij adalah menunjukkan atau menisbatkan hadits kepada sumber-sumbernya yang asli, yang mengeluarkannya dengan sanadnya. Sedangkan Tahqiq adalah semakna dengan Tadqiq (pemeriksaan secara seksama dan detil) di mana sebagian ulama menghampiri sebuah Makhthuth (Manu script) dari kitab-kitab karangan ulama ingin mencetaknya, akan tetapi cetakan ini perlu adanya naskah dengan tulisan yang baik, maka sang Muhaqqiq (orang yang melakukan Tahqiq) mengajukannya untuk dicetak, lalu mengevaluasi cetakan itu dan meneliti harakat naskahnya. Bila terdapat kata-kata yang perlu untuk dijelaskan, maka ia harus menjelaskannya dan bila terdapat kata-kata yang salah tulis oleh nasikh (pemindah tulisan asli), maka ia harus membetulkannya, lalu menyiratkan kepada upaya yang dilakukannya dalam tahqiq dan pembetulan ini.

Mengeluarkan nash secara benar dan tanpa cacat dengan Tadqiq dan pembetulan ini dinamakan Tahqiq. Mudah-mudahan dengan ini perbedaan antara takhrij dan tahqiq menjadi jelas.

(SUMBER: Fatawa Haditsiyyah karya Syaikh Sa’d bin Abdullah Al Humaid, Hal.161, dinukil dari tulisan Saudara Abu Al Jauzaa di www.myquran.org)

8 Komentar to “Definisi Tahqiq dan Takhrij”

  1. Assalamualaikum wr wb

    Pak Abu,
    saya ada sedikit pertanyaan ttg hadis dan ilmu hadis.

    kalau tidak salah, kan Al-Quran dijamin kemurnian-
    nya oleh Alloh, jadi akan selalu terjaga sepanjang masa.

    nah, bagaimana dg Hadis2 ? apakah ada jaminan
    jika hadis itu shohih, berarti memang benar itu
    hadis ada dan dari Rosul Muhammad saw ?
    apakah Alloh juga menjaga kemurnian Hadis spt
    Alloh menjaga Alquran?

    bisakah suatu hadis yg shohih ternyata itu hanya
    karangan seseorang saja?

    mohon penjelasannya ya pak
    (atau url nya 🙂

    wassalam

    Abu Al Maira :

    Wa ‘alaykum warahmatullah wabarakatuh…

    Tidak ada jaminan bahwa hadits-hadits yang ada saat ini shahih semua, [atau dengan kata lain, memungkinkan adanya hadits-hadits yang lemah dan palsu atau dhaif dan maudlu’].

    Akan tetapi seperti yang mungkin pernah kita bicarakan sebelumnya, ada ilmu sendiri yang insya Allah bisa memisahkan kemurnian hadits-hadits tersebut. Misalnya ILMU AL-JARH WAT-TA’DIL, ILMU ’ILAL HADITS, dll. Mungkin anda bisa buka di kategori ilmu hadits.

    Dari dulu sampai sekarang, cukup banyak ulama-ulama dan imam-imam hadits yang cukup terkenal, seperti Imam Ahmad, Imam Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, An Nasai, At Tirmidzi, Ath Thabarani, dll.
    Bahkan ulama-ulama saat ini seperti Syaikh Al Albany, Syaikh Muqbil, dll.

    Senantiasa akan ada segolongan dari umatku menampakkan al haq, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka dan menyelisihi mereka sedang mereka teguh di atasnya.” (HR. Bukhari 7311 dan Muslim 170, 1920 dan Abu Dawud 4772 dan At Tirmidzi 1418, 1419, 1421)

    Bagaimana caranya kita mengetahui suatu hadits shahih atau tidak ?
    Tentunya kita harus belajar.

    Apakah kita harus belajar dan menjadi sekaliber ulama untuk mengetahui suatu hadits ?
    Tentu tidak, tapi jika kita sanggup itu lebih utama.

    Bagaimana caranya belajar atau paling tidak mengetahui shahih atau tidaknya suatu hadits ?
    Pertama, mari sama-sama kita belajar bahasa Arab. Kemudian, sembari belajar mari kita merujuk kitab-kitab hadits yang sudah diteliti keshahihannya, misalnya Silsilah Ash Shahihah-nya Syaikh Al Albany, dll.

    Coba antum kunjungi situs almanhaj.or.id, muslim.or.id dan banyak situs2 salaf lainnya. Akan lebih baik jika anda mengikuti pengkajian salaf. Jangan segan2 untuk membeli majalah-majalah yang bermanfaat seperti As Sunnah, Al Furqon, Asy Syariah, dll.

    Allahul muwaffiq…

    Wasalamu ‘alaykum warahmatullah

  2. Bisakah seseorg belajar agama/Quran/Hadis scr
    sendiri. mungkin melalui buku, majalah dll ?

    atau kah harus ada/melalui ‘guru’?
    apakah boleh kita menginterpretasikan menurut
    akal kita , apakah ada dalil2nya larangan/
    kebolehan spt ini ?

    Abu Al Maira :

    Mungkin-munkin saja anda belajar sendiri dari berbagai macam media. Tetapi yang dikhawatirkan adalah jalan yang anda tempuh kurang benar / kurang terarah. Dan bukannya tidak mungkin anda akan mudah terhasut, salah mengsalahartikan ilmu yang anda dapat.

    Dengan guru [yang benar2 “guru”], insya Allah masalah-masalah tersebut dapat diminimalisir.

    Jika anda ingin menginterpretasikan segala sesuatu dengan akal [bahwa semuanya harus berkesesuaian dengan akal], sama saja halnya anda berpemahaman mu’tazilah [yang mengedepankan akal]. Bukannya nash tidak harus bertentangan dengan akal, tapi yang saya maksud adalah bahwa akal harus mengikuti nash.

    Kalau boleh saya kasih saran, jika memang anda benar2 ingin belajar, maka luangkan waktu anda untuk belajar dari ustadz/guru yang bermanhaj salaf. Cukup banyak jadwal2 kajian yang bisa anda ikuti dan disesuaikan dengan waktu dan tempat anda.

    Allahul muwaffiq…

  3. pak,
    bgmn pendapatnya ttg radio rodja 756 AM.
    sy baru bbrp waktu dengarkan ini radio.

    streamingnya di http://rodja.sytes.net:8000 ?

    Abu Al Maira :

    Radio rodja baik dan berilmu pak… Baik juga untuk rujukan….

    streaming : http://radiorodja.googlepage.com dan http://rodja.sytes.net:8000/listen.pls

  4. Alhamdulillah, sekarang tidak perlu ribet lagi untuk mendengarkan radio streaming sunnah. Cukup butuh browser dan akses multimedia (audio) saja, anda dapat mendengarkannya melalui radiobox. Antum dapat pasang radiobox ini di blog/situs antum. Silahkan baca di sini caranya.

  5. Assalamualikum wbt,

    saya mahu tahu di mana kita boleh dapat e-book atau dalam bentuk PDF mengenai buku-buku nahu yang menggunakan bahasa Melayu yang telah ditahqiqkan?jika dapat di donlow dari internet.tk

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam…

    Coba googgling aja…

  6. assalamualaikum..
    setelah melihat dan membaca coment diatas, saya mau tanya nich pendapat dari saudara.
    kita tahu bahwa sudah dipisahkan antara yg doif, hasan dan yg shohih,,
    dan semua itu karena adanya kritik sanad dan matan. tapi seperti kitab ihya’ ulumuddin yang banyak menggunakan hadits-hadits yang di anggap doif. tapi beliau imam ghozali ketika ditanya perihal yang demikian malah berkata “saya sudah mengkrosceknya secara langsung kepada nabi”. padahal masa rentang waktu yg lama antara nabi dan imam ghozali. lh gmn hadits2 yg seperti ini yang doif tapi melalui prosesi mukasyafah bisa dikroscek??
    dan hal ini jelas tidak melalu proses naqdus sanad.

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam…

    Imam al Ghazali adalah salah satu dari beberapa ulama yang tergelincir dari pemahaman ahlussunnah. Dalam penulisan kitab Ihya’ Ulumuddin, pemahaman beliau tercampur baur dengan pemahaman sufi dan filsafat. Dan kaum sufi sangat identik dengan istilah “belajar langsung kepada Nabi”.
    Mereka kaum sufi biasanya sangat sekali mempercayai tabir mimpi, bahwa mereka didatangi oleh Nabi, waktu dzikir didatangi oleh Nabi… Subhanallah…. Besar sekali kerusakan yang ditimbulkan oleh kaum sufi…

    Dalam hal ini, Imam al Ghazali adalah salah satu ulama yang tergelincir pada kesalahan2 mendasar dalam perkara aqidah. Namun kita dilarang untuk mendiskreditkan dan menghujat beliau atas kesalahan2nya…

    Pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian.

  7. Nama-nama sebagian ulama pengeritik Al-Albani

     Sarjana ahli hadits India yang bernama Habib al-Rahman al-A`zami telah menulis buku yang berjudul al-Albani Shudhudhuh wa Akhta’uh (Kekhilafan dan Kesalahan Al-Albani) dalam empat jilid.
     Sarjana Syria yang bernama Muhammad Sa`id Ramadan al-Buuti menulis dalam dua buku klasiknya yang berjudul al-Lamadhhabiyya Akhtaru Bid`atin Tuhaddidu al-Shari`a al-Islamiyya (“Not Following A School of Jurisprudence is the Most Dangerous Innovation Threatening Islamic Sacred Law”) dan al-Salafiyya Marhalatun Zamaniyyatun Mubaraka La Madhhabun Islami (“The `Way of the Early Muslims’ Was A Blessed Historical Epoch, Not An Islamic School of Thought”).
     Sarjana hadits dari Marokko yang bernama `Abd Allah ibn Muhammad ibn al-Siddiq al-Ghumari buku-bukunya yang berjudul e Irgham al-Mubtadi` al-Ghabi bi Jawaz al-Tawassul bi al-Nabi fi al- Radd `ala al-Albani al-Wabi; (“The Coercion of the Unintelligent Innovator with the Licitness of Using the Prophet as an Intermediary in Refutation of al-Albani the Baneful”), al-Qawl al-Muqni` fi al-Radd `ala al-Albani al-Mubtadi` (“The Persuasive Discourse in Refutation of al-Albani theInnovator”), dan Itqan al-Sun`a fi Tahqiq Ma`na al-Bid`a (“Precise Handiwork in Ascertaining the Meaning of Innovation”).
     Sarjana hadits dari Marokko yang bernama `Abd al-`Aziz ibn Muhammad ibn al-Siddiq al-
    Ghumari bukunya berjudul Bayan Nakth al-Nakith al-Mu`tadi (“The Exposition of the Treachery of
    the Rebel”).
     Sarjana Hadits dari Syria yang bernama `Abd al-Fattah Abu Ghudda bukunya yang berjudul
    Radd `ala Abatil wa Iftira’at Nasir al-Albani wa Sahibihi Sabiqan Zuhayr al-Shawish wa
    Mu’azirihima (“Refutation of the Falsehoods and Fabrications of Nasir al-Albani and his Former
    Friend Zuhayr al-Shawish and their Supporters”).
     Sarjana hadits dari Mesir yang bernama Muhammad `Awwama bukunya berjudul Adab al-
    Ikhtilaf (“The Proper Manners of Expressing Difference of Opinion”).
     Sarjana Mesir yang bernama Mahmud Sa`id Mamduh buku-bukunya berjudul Wusul al-Tahani
    bi Ithbat Sunniyyat al-Subha wa al-Radd `ala al-Albani (“The Alighting of Mutual Benefit and
    Confirmation that the Dhikr-Beads are a Sunna in Refutation of al-Albani”) dan Tanbih al-Muslim ila
    Ta`addi al-Albani `ala Shohih Muslim (“Warning to the Muslim Concerning al-Albani’s Attack on
    Shohih Muslim”).
     Sarjana hadits dari Saudi Arabi yang bernama Isma`il ibn Muhammad al-Ansar buku-bukunya
    yang berjudul Ta`aqqubat `ala “Silsilat al-Ahadith al-Da`ifa wa al-Mawdu`a” li al-Albani (“Critique of
    al-Albani’s Book on Weak and Forged Hadiths”), Tashih Sholat al-Tarawih `Ishrina Rak`atan wa al-
    Radd `ala al-Albani fi Tad`ifih (“Establishing as Correct the Tarawih Sholat in Twenty Rak`as and
    the Refutation of Its Weakening by al-Albani”), dan Ibahat al-Tahalli bi al-Dhahab al-Muhallaq li al-
    Nisa’ wa al-Radd `ala al-Albani fi Tahrimih (“The Licitness of Wearing Gold Jewelry for Women
    Contrary to al-Albani’s Prohibition of it”). –
     Sarjana Syria Badr al-Din Hasan Diab bukunya berjudul Anwar al-Masabih `ala Zulumat al-
    Albani fi Sholat al-Tarawih (“Illuminating the Darkness of al-Albani over the Tarawih Prayer”).
     Direktur dari Pensubsidian Keagamaan (The Director of Religious Endowments) di Dubai, yang
    bernama `Isa ibn `Abd Allah ibn Mani` al-Himyari buku bukunya yang berjudul al-I`lam bi Istihbab
    Shadd al-Rihal li Ziyarati Qabri Khayr al-Anam (“The Notification Concerning the Recommendation
    of Travelling to Visit the Grave of the Best of Creation) dan al-Bid`a Al-Hasana Aslun Min Usul al-
    Tashri` (“The Excellent Innovation Is One of the Sources of Islamic Legislation”).
     Menteri Agama dan Subsidi dari Arab Emiraat (The Minister of Islamic Affairs and Religious
    Endowments in the United Arab Emirates) yang bernama Shaykh Muhammad ibn Ahmad al-
    Khazraji yang menulis artikel al-Albani : Tatarrufatuh (“Al-Albani’s Extremist Positions”).
     Sarjana dari Syria yang bernama Firas Muhammad Walid Ways dalam edisinya yang berjudul
    Ibn al-Mulaqqin’s Sunniyyat al-Jumu`a al-Qabliyya (“The Sunna Prayers That Must Precede Sholat
    al-Jumu`a”).
     Sarjana Syria yang bernama Samer Islambuli bukunya yang berjudul al-Ahad, al-Ijma`, al-
    Naskh.
     Sarjana Jordania yang bernama As`ad Salim Tayyim bukunya yang berjudul Bayan Awham al-
    Albani fi Tahqiqihi li Kitab Fadl al-Sholat `ala al-Nabi.
     Sarjana Jordania Hasan `Ali al-Saqqaf menulis dua jilid yang berjudul Tanaqudat al-Albani al-
    Wadiha fi ma Waqa`a fi Tashih al-Ahadith wa Tad`ifiha min Akhta’ wa Ghaltat (“Albani’s Patent
    Self-Contradictions in the Mistakes and Blunders He Committed While Declaring Hadiths to be
    Sound or Weak”), dan tulisan-tulisannya yang lain ialah Ihtijaj al-Kha’ib bi `Ibarat man Idda`a al-
    Ijma` fa Huwa Kadhib (“The Loser’s Recourse to the Phrase: `Whoever Claims Consensus Is a
    Liar!'”), al-Qawl al-Thabtu fi Siyami Yawm al-Sabt (“The Firm Discourse Concerning Fasting on
    Saturdays”), al-Lajif al-Dhu`af li al-Mutala`ib bi Ahkam al-I`tikaf (“The Lethal Strike Against Him
    Who Toys with the Rulings of I`tikaf), Shohih Sifat Sholat al-Nabi Sallallahu `alayhi wa Sallam
    (“The Correct Description of the Prophet’s Prayer “), I`lam al-Kha’id bi Tahrim al-Qur’an `ala al-
    Junub wa al-Ha’id (“The Appraisal of the Meddler in the Interdiction of the Qur’an to those in a
    State of Major Defilement and Menstruating Women”), Talqih al-Fuhum al-`Aliya (“The Inculcation
    of Lofty Discernment”), dan Shohih Sharh al-`Aqida al-Tahawiyya (“The Correct Explanation of al-
    Tahawi’s Statement of Islamic Doctrine”).

    Abu al Maira :

    Saya tidak memusingkan para pengkritik Syaikh Al Albani maupun ulama-ulama ahlussunnah lainna…

  8. Dialog Syaikh Al-Buthi dan Syaikh Al-Albani
    Ada sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah
    di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania. Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?” Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
    Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk
    diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah
    setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?” Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?” Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitabkitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.” Al-Albani menjawab: “Hai
    saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini
    untuk membahas masalah lain”.
    Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik
    kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian
    mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?” Al-Albani menjawab: “Ya.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
    Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?” al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.” Syaikh
    al-Buthi bertanya; “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?” al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
    Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?” Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ah-nya siapa di antara qira’ah yang tujuh?” Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.” Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh
    saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?” Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
    Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara mutawatir.” Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
    Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab al-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam al- Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepadaAnda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindahpindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya.
    Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?” Al-
    Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu
    madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
    Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?” Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.” Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.” Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.

    Abu al Maira :

    Dari mana sumbernya anda mendapat dialog semacam ini…. ? Kalau statement terakhir yang mengatakan Syaikh Al Albani kebingungan, tampaknya itu karangan anda dan orang2 semisal anda. Saya pun kebingungan dengan apa yang anda tulis…

    Al-Buthi ini dikenal dengan sikap permusuhannya terhadap Manhaj Salaf dan ahlinya. Beliau menyatakan bahwa bermadzhab secara mu’ayan (spesifik) adalah wajib dan menyatakan bahwa tidak bermadzhab adalah suatu kebid’ahan yang membahayakan agama, sebagaimana tertuang di dalam kitabnya yang berjudul al-Laamadzhabiyyah Akhtharu Bid’ah.

    Al-Buthi adalah seorang Asy’ariyah tulen dan pembela madzhab Asy’ariyah. Hal ini tampak di dalam kitabnya yang berjudul Kubro al-Yaqqiniyaat al-Kauniyah dan beliau melakukan kontradiksi dengan kitabnya terdahulu yang berjudul al-Aqidah al-Islamiyah wal Fikru al-Mu’ashir.

    Dalam Kubro al-Yaqqiiniyat al-Kauniyyah, beliau menolak hadits Ahad untuk perkara aqidah, namun pada kitab al-Aqidah al-Islamiyah beliau menukil pernyataan Abul Hasan al-Asy’ari bahwasanya tidak ada perbedaan antara Mutawatir dan Ahad yang shahih dari segi hujjah dan istidlal.

    Dalam Kubro al-Yaqqiiniyat al-Kauniyyah, beliau berpendapat khalqul Qur’an (Pernyataan al-Qur’an makhluk) namun pada kitab al-Aqidah al-Islamiyah beliau menukil dari Abul Hasan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah dan Abul Hasan sendiri berpendapat dengan pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.

    DR. Said Ramadhan al-Buthi pernah berdialog dengan Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani dan muridnya, Syaikh Muhammad Ied Abbasi seputar masalah madzhabiyah. Al-Buthi menulis sebuah buku yang mengharamkan bagi seorang muslim untuk tidak bermadzhab yang tertuang di dalam kitabnya yang berjudul al-Laamadzhabiyah Akhtaru Bid’ah Tuhaddidu asy-Syarii’atal Islamiyyah.

    Syaikh al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashirudin al-Albani rahimahullahu mengatakan :

    ”Termasuk hal yang disepakati oleh para ulama bahwa taklid adalah ”Mengambil suatu pendapat tanpa diketahui dalilnya.” Artinya taklid bukanlah berdasarkan ilmu pengetahuan. Maka atas dasar ini, para ulama menetapkan bahwa orang yang melakukan taklid tidak dinamakan orang yang alim. Bahkan Ibnu Abdil Barr telah menukil kesepakatan tentang hal ini di dalam Jami’ Bayanil Ilmi , Ibnul Qoyyim dalam I’lamul Muwaqqi’in dan Suyuthi serta para peneliti lainnya, hingga sebagian mereka secara berlebihan mengatakan, ”Tidak ada perbedaan antara taklid terhadap hewan dengan taklid terhadap manusia.”

    Penulis kitab al-Hidayah berkata berkaitan dengan seorang ahli taklid yang memegang jabatan hakim, ”Adapun taklid yang dilakukan oleh orang awam menurut kami adalah boleh, berbeda dengan pendapat imam Syafi’i. Oleh karena itu, para ulama berkata bahwa orang yang taklid tidak diperkenankan untuk memberikan fatwa.

    Dengan mengetahui hal itu, maka jelaslah bagi kita sebab yang mendorong kaum salaf mencela dan mengharamkan taklid, karena perbuatan taklid dapat menyeret seseorang untuk berpaling dari al-Kitab dan as-Sunnah dalam rangka berpegang teguh dengan pendapat para imam dan taklid terhadap mereka sebagaimana yang sering terjadi di kalangan ahli taklid. Bahkan larangan melakukan taklid seperti ini telah dinyatakan secara transparan oleh para imam generasi baru dalam kalangan madzhab Abu Hanifah.

    Al-Buthi disusupi pemahaman bahwa ia menjadikan ijtihad sebagai sisi yang berhadapan dengan taklid, jika seseorang tidak bertaklid maka tentulah berijtihad. Sehingga ia menuduh para du’at sunnah atau salafiyin mewajibkan pengikutnya untuk berijtihad baik ia seorang yang alim maupun jahil, dan ia menyatakan bahwa taklid adalah haram baik terhadap seorang alim maupun jahil. Tentu saja ini adalah kesalahan dan kedangkalan dalam berfikir serta kesalahfahaman yang sangat nyata.

    Al-Buthi tidak menyadari bahwa selain ijtihad dan taklid, ada sisi ketiga, yaitu ittiba’, dan para imam telah memahami bahwa yang dimaksud dengan ittiba’ adalah mengikut pendapat seorang imam karena kuatnya dalil, yaitu dalil menjadi acuan pertama bukannya ucapan imam itu sendiri. Maka dari sini, jelas bahwa sisi yang berhadapan langsung dengan taklid adalah ittiba’ bukan ijtihad.

    Sebagai kesimpulan adalah bahwa para du’at sunnah atau salafiyun tidaklah mewajibkan ijtihad kepada para pengikutnya, tuduhan salafiyin mewajibkan ijtihad kepada pengikutnya ini jelas adalah suatu kedustaan terhadap salafiyin, karena ijtihad adalah hak para ulama yang memiliki kapasitas memadai untuk berijtihad. Namun salafiyun mewajibkan pengikutnya untuk ittiba’ kepada setiap muslim yang memiliki dalil terkuat, baik dari pendapat Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah, Tsauriyah ataupun Zhahiriyah maupun selainnya yang ditopang oleh dalil yang kuat. Oleh karena itu salafiyun mengharamkan taklid kecuali dalam keadaan darurat, seperti orang yang tidak mampu meneliti dalil, maka tiada kewajiban baginya melainkan hanyalah taklid, dan inipun dalam keadaan darurat.

Tinggalkan komentar