Archive for November, 2009

November 24, 2009

Sifat-Sifat Surga dalam As-Sunnah Ash-Shahiihah


 

 

 

Sifat-Sifat Surga dalam As-Sunnah Ash-Shahiihah

November 23, 2009

KLASIFIKASI HADITS DALAM ILMU MUSTHALAH HADITS – RINGKASAN


 

 

 

KLASIFIKASI HADITS DALAM ILMU MUSTHALAH HADITS – RINGKASAN

 

 

November 23, 2009

Tafsir Al-Baqarah Ayat 106 : An-Naasikh wal-Mansuukh


 

 

 

Tafsir Al-Baqarah Ayat 106 : An-Naasikh wal-Mansuukh

 

 

November 19, 2009

DARAH YANG KELUAR SEBELUM MELAHIRKAN


 

 

Tanya: Seorang wanita hamil keluar darah dari kemaluannya lima hari sebelum melahirkan di bulan Ramadhan. Apakah darahnya tersebut darah haid atau darah nifas? Apa yang harus dilakukan ketika itu?

Jawab:
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` menjawab, “Bila perkaranya sebagaimana yang disebutkan yakni si wanita yang sedang hamil melihat keluarnya darah lima hari sebelum melahirkan:
Jika ia tidak melihat adanya tanda-tanda dekatnya saat kelahiran seperti rasa sakit karena ingin melahirkan/kontraksi, maka darah tersebut bukanlah darah haid dan bukan pula darah nifas, melainkan darah fasad (rusak) menurut pendapat yang shahih. Karenanya, ia tidak meninggalkan ibadah, tetap mengerjakan shalat dan puasa.
Apabila bersamaan dengan keluarnya darah tersebut didapatkan tanda-tanda dekatnya saat kelahiran berupa rasa sakit dan semisalnya maka darahnya itu adalah darah nifas, sehingga ia tidak mengerjakan shalat dan puasa. Bila ia telah selesai/suci dari nifasnya setelah melahirkan, ia mengqadha puasanya saja.” Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 67)

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=737
http://darussalaf.org/

November 19, 2009

HADITS MU’ALLAQ


Hadits Mu’allaq adalah hadits yang sebagaimana didefinisikan oleh para ahli hadits :
“ Hadits yang dari pangkal sanadnya dihilangkan satu rawi atau lebih secara berurutan ”

Gambaran Hadits Mu’allaq
Yang termasuk gambaran dan bentuk dari hadits muallaq diantaranya :
1. Dihilangkannya semua sanad kemudian dikatakan misalnya : Rasulullah bersabda : begini !
2. Di antaranya juga dihilangkannya seluruh sanadnya kecuali satu orang shahabat, atau tersisa seorang shahabat dan satu orang tabi’in saja.

Contoh :
Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari rahimahullah pada pembukaan bab : “Hadits-Hadits Yang Disebutkan Tentang Paha ” :

وقال أبو موسى غطى النبي صلى الله عليه و سلم ركبتيه حين دخل عثمان

“Abu Musa radiyallahu ‘anhu berkata : “Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam menutup dua lutut beliau ketika Utsman masuk”

Hadits ini adalah hadits Mu’allaq, karena Imam Bukhari menghilangkan seluruh sanadnya kecuali satu orang shahabat yaitu Abu Musa al-Asy’ari.

Hukum Hadits Mu’allaq
Hadits Mu’allaq adalah tertolak karena tidak adanya salah satu syarat hadits maqbul (yang diterima) yaitu tersambungnya sanad.
Itu karena dalam Mu’allaq ada satu rawi atau lebih yang dihilangkan, padahal kita tidak tahu keadaan rawi yang dihilangkan.

Hukum Hadit-Hadits Mu’allaq Dalam Kitab Shahihain
Hukum yang tadi dimana hadits Mu’allaq adalah tertolak, itu adalah untuk hadits Mu’allaq secara umum. Namun apabila hadits Mu’allaq terdapat dalam kitab yang menyebutkan hadits shahih saja seperti Shahih Bukhari dan Muslim, maka dia punya hukum tersendiri, yaitu sebagai berikut :

Bila disebutkan dengan bentuk jazm (pasti) seperti “telah berkata” , “telah menyebutkan” , “telah menghikayatkan” dan yang semisalnya, maka dihukumi keshahihannya dari siapa yang disandarkan.
Bila disebutkan dengan bentuk tamridh (tidak pasti) seperti “telah dikatakan”, “telah disebutkan”, “telah dihikayatkan” dan yang semisalnya, maka tidak dihukumi keshahihannya dari siapa yang disandarkan.

Dalam pembahasan diatas kita simpulkan poin berikut :
Bila disebutkan dengan bentuk jazm (pasti) seperti “telah berkata” , “telah menyebutkan” , “telah menghikayatkan” dan yang semisalnya, maka dihukumi keshahihannya dari siapa yang disandarkan.
Bila disebutkan dengan bentuk tamridh (tidak pasti) seperti “telah dikatakan” , “telah disebutkan” , “telah dihikayatkan” dan yang semisalnya, maka tidak dihukumi keshahihannya dari siapa yang disandarkan.

Namun perlu diperhatikan bahwa Imam Bukhari rahimahullah terkadang meriwayatkan hadits secara mu’allaq dengan bentuk jazm (pasti), itu bukan berarti mengharuskan adanya gugur rawi antara beliau dengan syaikh beliau. Hal ini menurut para ulama adalah muttasil (sanadnya tersambung) kecuali menurut Ibnu Hazm Addzohiri, dia menyelisihi dan berpendapat bahwa seperti itu adalah munqathi’ (sanadnya terputus)

Misalnya adalah :
Perkataan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya : (kitab Minuman, bab : Penyebutan Hadits-hadits Tentang Orang yang Menghalalkan Khamr dan Menamakannya Dengan Selain Nama Khamr) :
“Dan Hisyam ibn Ammar berkata : Shodaqoh Abdurrahman ibn Yazid ibn Jabir telah meyampaikan hadits kepada kami, dia berkata : Athiyah ibn Qais al-Kilabi telah menyampaikan hadits kepada kami,dia berkata : Abdurrahman ibn Ghanam al-Asy’ari telah menyampaikan hadits kepada kami, dia berkata : Abu Amir al-Asy’ari telah menyampaikan hadits kepada kami, demi Allah dia tidak menganggapku berbohong. Dia mendengar Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda :

ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف…

“Sungguh akan ada dari umatku segolongan orang yang menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki), khamr, dan alat-alat musik…”

Hisyam ibn Ammar adalah salah satu syaikh dari imam Bukhari yang mana imam Bukhari telah bertemu dan mendengar serta mengambil hadits dari mereka.
Maka penyebutan hadits dari imam Bukhari secara mu’allaq tidak menyebabkan terputusnya sanad dalam hal ini.
Wallahu A’lam
( Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari : Taisir Musthalah Hadits oleh Dr. Mahmud Thahhan )

http://alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=162

http://alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=167

November 18, 2009

Idroj, Ziyadah, Meringkas Hadits dan Meriwayatkan Dengan Makna


 

 

 

Idroj dalam matan
Definisinya
Kedudukannya dan contoh
Kapan dinilai itu sebagai hadits sisipan

1. Idroj (sisipan) dalam matan (الإدراج في المتن) : Salah seorang rowi memasukkan kata-kata yang berasal dari dirinya sendiri tanpa dia jelaskan bahwa itu adalah kata-katanya sendiri. Dia melakukan itu bisa jadi untuk menjelaskan kata-kata yang asing dalam hadits tersebut, istinbath hukum (mengambil kesimpulan hukum) atau untuk menjelaskan hikmah.

2. Idroj di awal hadits, tengah hadits atau akhir hadits.
Contoh idroj di awal matan:
Hadits dari Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.

“Sempurnakanlah wudhu, celakalah tumit-tumit yang tidak terkena air, celakalah karena berada di neraka.” [1]

Kata-kata “sempurnakanlah wudhu” adalah sisipan yaitu ucapan Abu Hurioroh rodhiallahu ‘anhu. Hal ini diketahui berdasarkan satu riwayat dalam Shohih Bukhori. Dalam riwayat tersebut, Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu mengatakan,

“Sempurnakanlah wudhu, karena Abul Qosim shollallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,’Celakalah tumit-tumit yang tidak terkena air.’”

Contoh sisipan di tengah matan:

Hadits dari ‘Aisyah rodhiallahu ‘anha tentang awal mula datangnya wahyu pada Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hadits tersebut, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersepi-sepi di Gua Hiro, lalu ber-tahanus (pada asalnya artinya adalah menjauhi dosa), namun di sini dijelaskan oleh rowi maksud dari tahanus yaitu beribadah selama beberapa malam yang bisa di hitung.

Kata-kata “tahanus adalah beribadah” adalah sisipan, tepatnya merupakan perkataan az-Zuhri. Hal ini dijelaskan satu riwayat dalam riwayat Bukhori dari jalurnya Zuhri, dengan lafadz bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Gua Hiro dan tahanus di dalamnya, Zuhri mengatakan, makna tahanus adalah beribadah. Kemudian Zuhri melanjutkan pada beberapa malam yang bisa dihitung.

Contoh idroj di akhir matan:

Hadits Abu Hurorioh rodhiallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan putih terang wajah, tangan dan kaki, karena bekas wudhu. Oleh karena itu siapa diantara kalian yang mampu memanjangkan cahaya putih terangnya maka hendaknya ia lakukan.“

Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.

Kata-kata “Siapa diantara kalian yang mampu memanjangkan cahayanya maka lakukanlah”, adalah perkataaan Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu yang menyebabkan perkataan Abu Huroiroh ini masuk ke hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang rowi yang bernama Nu’aim ibn Mujmir[2].

Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, dari Nu’aim ibn Mujmir, beliau mengatakan, “Saya tidak tahu apakah itu sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam atau kata-kata Abu Huroiroh” [3]. Lebih dari satu pakar hadits yang menegaskan bahwa kata-kata tersebut adalah sisipan. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan itu tidak mungkin merupakan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam [4].

3. Tidak bisa dinilai sebagai sisipan sampai ada bukti.

Sehingga hukum asalnya adalah bagian dari hadits dan bisa diketahui:
Dengan ucapan rowi itu sendiri.
Ucapan Imam yang teranggap ucapannya.
Dari kata-kata yang disisipkan karena mustahil Nabi mengatakannya

 

Ziyadah Dalam Hadits
Pengertiannya
Pembagiannya, penjelasan hukum pada masing-masing pembagian beserta contohnya.

1. Ziyadah (tambahan) dalam hadits (الزيادة في الحديث):

Salah seorang rowi (periwayat hadits) menambahi redaksi (matan) hadits dengan sesuatu yang bukan merupakan bagian dari hadis tersebut.

2. Ziyadah terbagi menjadi dua macam:

1. Ziyadah yang sejenis dengan idroj.

Merupakan tambahan yang diberikan seorang rowi dari dirinya sendiri, tanpa bermaksud bahwa tambahan tersebut merupakan bagian dari hadits. Penjelasan hukumnya telah disampaikan di muka.

2. Ziyadah yang diberikan oleh sebagian rowi dengan maksud bahwa tambahan tersebut merupakan bagian dari hadits. Jenis ini terbagi menjadi dua:
Jika datang dari rowi yang tidak tsiqoh. Maka tidak diterima dikarenakan riwayat rowi tersebut jika sendirian itu tidak diterima, maka tambahan yang dia berikan pada riwayat orang lain lebih layak untuk ditolak.
Jika datang dari rowi yang tsiqoh: Jika bertentangan dengan riwayat lain yang jalannya lebih banyak atau periwayatannya lebih tsiqoh, maka tidak diterima dikarenakan riwayat ini termasuk hadits yang syadz. Misal:Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwattho bahwasannya Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma jika memulai sholat, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu. Abu Daud berkata, “Tidak disebutkan ‘beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu’ oleh seorang pun selain Malik menurut sepengetahuanku.”

Dan riwayat yang shohih dari Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma, marfu’ kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan pundaknya jika memulai sholat, dan ketika ruku’, ketika bangkit dari ruku’ tanpa dibeda-bedakan.

Jika tidak bertentangan dengan rowi selainnya maka diterima, dikarenakan didalamnya terdapat tambahan ilmu. Misal:Hadis Umar radhiallahu ’anhu bahwasannya beliau mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu sampai selesai dan sempurna kemudian mengucapkan:’ Asyhadu allaa ilaaha illallah , wa anna muhammadan ’abdullahi wa rasuuluh’ melainkan dibukakan baginya pintu syurga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk dari pintu mana yang dia inginkan.”

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Muslim dari dua jalan periwayatan. Pada salah satu dari keduanya terdapat tambahan (وحده لا شريكله) setelah (إلاّ اللّه).

 

Meringkas Hadits
Pengertiannya
Hukumnya

1. Meringkas hadits (احتصار الحديث):

Seorang rowi atau penukil hadits membuang sebagian dari hadits.

2. Tidak diperbolehkan meringkas hadits kecuali dengan lima syarat:

1. Tidak merusak makna hadits. Seperti pengecualian, tujuan, keadaan/keterangan, syarat, dan selainnya. Misal, sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

لا تبيعوا الذهب با الذهب إلاّ مثلا بمثل
“Jangan kalian menukar emas dengan emas kecuali semisal dengan semisal.”

لا فبيعوا الثمر حتى يبدو صلاحه
“Janganlah kalian menjual buah-buahan sampai tambak baiknya.”

لا يقضين حكم بين اثنين و هو غضبان
“Janganlah memutuskan hukum antara dua perkara sedangkan dia dalam keadaan emosi.”

نعم، اذا هي رأت الماء
“Iya, jika kalian melihat air.” Perkataan nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jawaban kepada Ummu Sulaim tentang pertanyaannya, Apakah wanita wajib mandi jika bermimpi?

لا يقل أحد كم: اللهم اغفر لي إن شئت
“Jangan berkata salah seorang dari kalian: ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki.”
الحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة
“Haji mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga.”

Maka tidak boleh membuang perkataan
“kecuali semisal dengan semisal” (إلاّ مثلا بمثل)

“sampai tampak baiknya” (حتى يبدو صلاحه)

“sedangkan dia dalam keadaan emosi” (هو غضبان)

“jika kalian melihat air” (اذا هي رأت الماء)

“jika Engkau menghendaki” (إن شئت)

“mabrur” (المبرور)

Dikarenakan membuang kata-kata diatas merusak makna hadits

2. Tidak membuang redaksi hadits/matan yang hadits itu datang karenanya,

Misal:
أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم فقال: إنا نركب الرحر و نحمل معنا القليل من الماء، فإن توضأنا به: عطشنا، أفنتوضأ بماء البحر. فقال النبي: ((هو الطهور ماؤه، الحل ميتته))
Hadits Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu: seseorang bertanya pada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam “Sesungguhnya kami menaiki perahu di laut dan kami membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Maka Nabi bersabda: “Laut itu suci airnya dan halah bangkainya.”

Maka tidak boleh menghapus sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (هو الطهور ماؤه، الحل ميتته) karena hadits ini datang karenanya, maka dia adalah maksud pokok dari hadits tersebut.

3. Yang dibuang bukan merupakan penjelasan tentang tata cara ibadah, baik berupa perkataan atau perbuatan.

Misal:
أن النبي صلى الله عليه و سلم قالك (( إذا جلس أحدكم في الصلاة فليقل: التحيات لله و الصلوات و الطيبات السلم عليك ايها النبي و رحمة الله و بركته السلم علينا و على عباد الله الصابحين أشهد أن لا إله لا الله و أشهد أن محمدا عبده و رسوله))

Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian duduk dalam sholat, maka hendaknya dia membaca: ” Attahiyyaatu lillahi washolawaatu wathoyyibaat, Assalaamu ’alaika ayyuhannabiyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, Assalamu ’alainaa wa ’ala ’ibaadillahishoolihiin, Asyhadu allaa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan ’abduhu wa rasuuluh”

Maka tidak boleh menghapus satu bagian pun dari hadits ini karena akan merusak tata cara ibadah yang disyari’atkan, kecuali dengan menjelaskan bahwa ada bagian hadits yang dipotong atau dibuang.

4. Hendaknya yang membuang, mempunyai ilmu tentang kandungan lafadz.

Lafadz mana yang merusak makna jika dibuang dan mana yang tidak merusak, supaya tidak membuang lafadz yang merusak makna secara tidak sadar.

5. Rowi yang melakukan pengurangan hadits tidak akan menjadi sasaran tuduhan; karena dikira jelek hafalannya jika dia meringkasnya, atau dikira memberi tambahan jika dia menyempurnakannya, karena memeringkas pada keadaan ini menyebabkan orang akan ragu-ragu untuk menerima rowi tersebut sehingga hadits menjadi lemah karenanya. Persyaratan ke-lima ini untuk hadits yang tidak tercatat, karena jika hadits tersebut sudah tertulis maka dapat merujuk pada kitab yang mencatatnya dan hilanglah keraguan.

Jika semua syarat-syarat tersebut sudah dipenuhi, maka diperbolehkan meringkas hadits. Lebih-lebih memotong hadits untuk berdalil pada setiap potongan hadits pada tempat yang tepat. Banyak ulama’ dari kalangan ahlul hadits dan ahlul fikih yang melakukan hal ini. Lebih baik lagi pada saat meringkas hadits ditambahi penjelasan adanya peringkasan, dengan perkataan “hingga akhir hadits”, atau “sebagaimana yang disebutkan oleh suatu hadits” , dan selainnya.

 

 

Meriwayatkan Hadits dengan makna
Pengertiannya
Hukumnya

1. Meriwayatkan hadits dengan makna, yaitu menukilkan hadits dengan lafadz yang bukan lafadz asli yang diriwayatkan.

2. Tidak boleh meriwayatkan hadits dengan makna kecuali dengan tiga syarat:

1. Dilakukan oleh orang yang mengetahui maknanya dari sisi bahasa, dan dari sisi maksud teks yang diriwayatkan.

2. Terpaksa melakukannya, semisal karena rowi lupa dengan teks asli hadits tersebut tapi ingat maknanya. Jika teks hadits masih ingat, maka tidak boleh merubah kecuali jika dituntut kebutuhan untuk memahamkan orang yang diajak bicara dengan bahasa yang lebih mudah dipahami.

3. Lafadz hadits tersebut bukan merupakan lafadz yang digunakan untuk beribadah., seperti lafadz dzikir, dan selainnya.

Jika meriwayatkan hadits dengan makna, maka hendaknya disampaikan sesuatu yang menunjukkan hal itu, dengan mengatakan sesudah menyampaikan hadits:, “Atau semisal yang dikatakan oleh Nabi” (أو كما قال), atau “semisal itu” (أو نحوه).

Seperti yang ada dalam hadits dari Anas rodhiallahu ‘anhu tentang kisah orang Arab badui yang kencing di dalam masjid, kemudian Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan berkata padanya:

إن هذه المساجد لا تصلح لشيء من هذا البول و لا القذر؛ إنما هي الذكرالله – عز و جل – ، و الصلاةن و قراءة القران، أو كما قال صلى الله عليه و سلم

“Sesungguhnya masjid ini tidak sepantasnya terkena air kencing, tidak pula kotoran, sesungguhnya ia adalah untuk mengingat Allah ’Azza wa Jalla , sholat, dan membaca Al Quran”, atau semisal yang dikatakan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Juga seperti yang ada dalam hadits dari Mu’awiyah bin Hakam. Beliau berkata-kata ketika sholat karena tidak tahu kalau hal tersebut terlarang. Setelah selesai sholat, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء كم كلام الناس؛ إنما هو : التسبيح، و تكبيرن ،و قراءة القران، أو كما قال صلى الله عليه و سلم

“Sesungguhnya sholat itu tidak sepantasnya di dalamnya terdapat perkataan orang. Sesungguhnya isi sholat adalah tasbih, takbir, dan membaca al quran”, atau semisal yang dikatakan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

 

 

 

Footnote :

1. Artinya siksaan hanya mengenai sebagian badan. Siksa neraka ada dua macam, ada yang meliputi sebagian badan dan ada yang meliputi seluruh badan. Dan ini adalah contoh yang mengenai sebagian badan. Demikian juga orang yang isbal. Bagian badan yang terjeluri kainlah yang dapat siksa di neraka. Namun, jangan remehkan siksaan neraka walaupun sebagian badan saja. Sungguh, orang yang mendapat siksaan dengan terompah neraka di telapak kakinya, yang mendidih adalah otaknya. Jadi, jangan diremehkan.

2 . Jadi, aslinya adalah terpisah. Akan tetapi karena Nu’aim ibn Mujmir maka perkataan Abu Huroiroh tadi tergabung dengan hadits Nabi dari Abu Hurorioh.
3. Jadi dia lupa, dan hanya dia yang membawa riwayat dengan menggabungkan antara perkataan Abu Huroiroh dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Karena Nabi adalah orang yang paling paham dan fasih bahasanya. Dan dalam bahasa Arab yang namanya ghurron adalah putih cemerlang di wajah. Dan wajah itu sudah ada batasannya mungkinkah dipanjangkan? Oleh karena ini jelas bahwa kata-kata tersebut adalah hadits mudroj, maka pendapat yang paling benar, tidak ada anjuran untuk melebihkan wudhu dari batasan yang telah ditetapkan oleh syari’at.

 

 

 

 

 

http://muslimah.or.id/hadits/irdoj-ziyadah-ringkas-hadits.html

November 17, 2009

KEBENARAN BERITA MENGENAI ADZAB KUBUR


 

 

KEBENARAN BERITA MENGENAI ADZAB KUBUR

November 11, 2009

AKIDAH IMAM AHMAD BIN HAMBAL


 

 

 

 

 

 

 

 

قال الإمام أحمد: لم يزل الله عزَّ وجلَّ متكلماً، والقرآن كلام الله عزَّ وجلَّ، غير مخلوق، وعلى كل جهة، ولا يوصف الله بشيءٍ أكثر مما وصف به نفسه، عزَّ وجلَّ

Imam Ahmad mengatakan: “Alloh azza wajall itu selamanya maha berbicara, sedang Alquran itu kalamulloh (firman-Nya) dan tidak makhluk dari sisi manapun. Alloh tidak boleh disifati lebih dari sifat yang diberikan-Nya untuk diri-Nya azza wajall. (kitab al-Mihnah li hambal, hal 68)

عن أبي بكر المروذي قال: سألت أحمد بن حنبل عن الأحاديث التي تردها الجهمية في الصفات والرؤية والإسراء وقصة العرش فصححها، وقال: تلقتها الأمة بالقبول وتمر الأخبار كما جاءت

Abu Bakar al-Marudzi mengatakan: aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hambal tentang hadits-hadits yang ditolak oleh kelompok jahmiyah, dalam hal sifat-sifat Alloh, ru’yah (melihat Alloh), isro’ mi’roj, kisah Arsy, maka beliau menshohihkan hadits-hadits tersebut. Beliau mengatakan: “Seluruh umat telah menerimanya, dan memperlakukannya dengan apa adanya”. (Manaqibusy Syafii libni Abi Hatim, hal. 182)

قال عبد الله بن أحمد: إن أحمد قال: من زعم أن الله لا يتكلم فهو كافر، إلاَّ أننا نروي هذه الأحاديث كما جاءت

Abdulloh bin Ahmad mengatakan, sungguh Imam Ahmad pernah mengatakan: “Barangsiapa beranggapan bahwa Alloh tidak berkata-kata, maka ia kafir. Sungguh kami meriwayatkan hadits-hadits tentang ini sebagaimana telah datang (dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam-). (Thobaqotul Hanabilah 1/56)

عن حنبل أنه سأل الإمام أحمد عن الرؤية فقال: أحاديث صحاح، نؤمن بها، ونقر، وكل ما روي عن النبي – صلى الله عليه وسلم – بأسانيد جيدة نؤمن به ونقر

Hambal pernah bertanya kepada Imam Ahmad tentang ru’yah (melihat Alloh di surga), maka beliau menjawab: “Hadits-hadits (yang menerangkan hal itu) shohih, maka kami mengimani dan mengikrarkannya. Dan setiap hadits yang diriwayatkan dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dengan sanad-sanad yang jayyid (bagus), maka kami mengimani dan mengikrarkannya. (Syarhu Ushuli I’tiqodi Ahlis sunnah wal Jama’ah lilla laka’i 2/507, as-Sunnah, hal. 71)

أورد ابن الجوزي في المناقب كتاب أحمد بن حنبل لمسدَّد وفيه: صفوا الله بما وصف به نفسه، وانفُوا عن الله ما نفاه عن نفسه

Ibnul Jauzi menceritakan dalam kitabnya “Al-Manaqib” tentang surat Imam Ahmad bin Hambal untuk Musaddad, beliau mengatakan: “Sifatilah Alloh dengan sifat yang diberikan-Nya kepada diri-Nya, dan nafikanlah dari Alloh, apa yang dinafikan-Nya dari diri-Nya. (Siyaru a’lamin nubala 10/591, Tahdzibut tahdzib 10/107)

قال الإمام أحمد: وزعم – جهم بن صفوان – أن من وصف الله بشيءٍ مما وصف به نفسه في كتابه، أو حدَّث عنه رسوله كان كافراً وكان من المشبِّهة

Imam Ahmad mengatakan: “Jahm bin Shofwan beranggapan bahwa siapa saja yang menyifati Alloh dengan sifat yang diberikan Alloh di dalam kitab-Nya, atau diberikan Rosul untuk-Nya, maka ia kafir dan termasuk dalam golongan musyabbihah (yang menyerupakan Alloh dengan makhluk-Nya)” (Manaqibul Imami Ahmad, hal. 221)

قال الإمام أحمد: نحن نؤمن بأن الله على العرش، كيف شاء، وكما شاء، بلا حد، ولا صفة يبلغها واصف أو يحده أحد؛ فصفات اللهِ منه وله، وهو كما وصف نفسه، لا تدركه الأبصار

Imam Ahmad mengatakan: “Kami mengimani bahwa Alloh berada di atas Arsy, sesuai kehendak-Nya, seperti yang dikehendaki-Nya, dengan tanpa batasan dan sifat dari siapapun. Karena sifat Alloh adalah dari-Nya dan untuk-Nya, Dia itu sebagaimana disifati oleh-Nya, dan ia tidak bisa dilihat oleh indra mata (ketika di dunia)”. (Dar’u Ta’arudhil Aqli wan Naql libni Taimiyah 2/30)

قال الإمام أحمد: من زعم أن اللهَ لا يُرى في الآخرة فهو كافر مكذب بالقرآن

Imam Ahmad mengatakan: “Barangsiapa beranggapan bahwa Alloh tidak bisa dilihat pada hari kiamat, maka ia telah kafir, dan telah mendustakan Alqur’an” (Thobaqotul Hanabilah 1/59, 145).

عن عبد الله بن أحمد، قال: سألت أبي عن قوم يقولون: لما كلم اللهُ موسى، لم يتكلم بصوت فقال أبي: تكلم اللهُ بصوت، وهذه الأحاديث نرويها كما جاءت

Abdulloh bin Ahmad mengatakan: “Aku pernah bertanya kepada ayahku, tentang suatu kaum yang mengatakan bahwa “ketika Alloh berbicara dengan Musa, Dia tidak berbicara dengan suara”, maka ayahku menjawab: “Alloh berbicara dengan suara, dan hadits-hadits tentang hal ini, kami meriwayatkannya sebagaimana telah datang dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.

عن عبدوس بن مالك العطار، قال: سمعت أبا عبد الله أحمد بن حنبل يقول: … والقرآن كلام اللهِ، وليس بمخلوق، ولا تضعف أن تقول ليس بمخلوق؛ فإن كلام اللهِ منه، وليس منه شيء مخلوق

Abdus bin Malik al-Aththor mengatakan: Aku pernah mendengan Abu Abdillah Ahmad bin Hambal mengatakan: “… Alquran adalah kalamulloh, ia tidaklah makhluk. Dan jangan sampai kamu ragu untuk mengatakan bahwa Alquran itu tidak makhluk, karena kalamulloh itu dari-Nya, dan tidak ada sesuatupun dari-Nya yang makhluk. (Syarhu ushuli I’tiqodi Ahlis sunnah wal jama’ah lilla laka’i 1/157)

 

 

 

AKIDAH IMAM AHMAD BIN HAMBAL -rohimahulloh-

November 9, 2009

Biografi SYAIKH ABDUL QADIR AL-ARNA`UTH


 

 

 

 

 

Syaikh -rahimahullah- dilahirkan di Frila, propinsi Kosovo di kawasan Balkan (saat ini Kosovo, yang dihuni etnis Albania dan tengah berupaya memisahkan diri dari republik Serbia-red), pada tahun 1347, kemudian hijrah bersama ayahandanya ke Damaskus saat masih berusia 3 tahun. Hijrah tersebut bagi kaum Muslimin di sana merupakan upaya menyelamatkan diri dari penindasan kaum atheis komunis. Di Damaskus, ia mendapatkan suasana yang kondusif dan tinggal di sana melewati hari-hari yang diberkahi. Namun demikian, beliau pun terus menjaga hubungan dakwahnya dengan negeri asalnya. 

read more »

November 9, 2009

Biografi Syaikh Abu Abdillah, Abdurahman bin Nashir as-Sa’di (Ulama Dari ‘Unaizah, Qashim)


 

 

 

Beliau bernama Asy-Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah Nasir As-Sa’di, berasal dari Bani Tamim. Dilahirkan di kota Unaizah pada tanggal 12 Muharam 1307 H (1886 M). Ibunya meninggal ketika beliau berumur 4 tahun yang disusul ayahnya tiga tahun kemudian.

read more »

November 9, 2009

Biografi Imam Al-Qurthubi (Ulama Besar dari Spanyol)


 

 

 

 

 

Nama dan asal beliau

Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi, seorang ahli tafsir dari Cordova (sekarang bernama Spanyol). Ia berkelana ke negeri timur dan menetap di kediaman Abu Khusaib (di selatan Asyut, Mesir). Dia salah seorang hamba Allah yang shalih dan ulama yang arif, wara’ dan zuhud di dunia, yang sibuk dirinya dengan urusan akhirat. Waktunya dihabiskan untuk memberikan bimbingan, beribadah dan menulis.

read more »

November 9, 2009

Bid’ahkah Menghadapkan Orang yang Sakaratul-Maut ke Arah Kiblat ?


 

 

Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Naashiruddin Al-Albaniy rahimahullah berkata dalam kitabnya yang masyhur : Ahkaamul-Janaaiz wa Bida’uhaa hal. 307 (Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1412 H) saat menjelaskan macam-macam bid’ah seputar pengurusan jenazah :

read more »

November 5, 2009

HUKUM SEPUTAR ABORSI


 

 

Segala puji bagi Allah,kita memujiNYA,memohon ampun dan berlindung kepadaNYA dari keburukan-keburukan diri kita,dan kejelekan perbuatan kita.Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah,maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkan dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah,maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi,tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNYA.

Ya Allah,ajarilah kami apa yang bermanfaat bagi kami,dan berilah kami manfaat atas apa yang Engkau ajarkan pada kami,dan tambahkanlah ilmu kepada kami.

Ya Allah,tunjukilah kebenaran kepada kami atas apa-apa yang diperselisihkan,sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada orang-orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.Wa ba’du,

Sebab dipilihnya tema ini adalah dua hal :

Pertama : Banyaknya pertanyaan masyarakat mengenai hukumnya.

Kedua : Kemajuan ilmu kedokteran,sehingga dengan kemajuan tersebut praktek aborsi dapat dengan mudah dilakukan.Seorang suami cukup dengan sekedar membawa istrinya atau bahkan seorang istri dapat pergi sendiri ke dokter laki-laki ataupun perempuan dan dalam waktu sekejap apa yang ada dalam kandungannya dengan mudah digugurkan.

read more »