Siapa yang memiliki piutang dan harta yang hilang yang tidak bisa diharapkan bisa kembali maka tidak ada kewajiban zakatnya. Namun, jika bisa diharapkan kembali maka ada kewajiban zakatnya.
"Tidakkah wajah dan leher manusia dijerembabkan ke dalam api neraka kecuali akibat apa yang diucapkan lidah-lidah mereka" – “Barangsiapa dikehendaki Allah atasnya kebaikan niscaya ia akan difahamkan akan agamanya”
Khilaf Ulama
Para
Pertama : Tidak ada zakatnya. Ini adalah pendapat tiga imam madzhab: Malik, Syafi’I, dan Ahmad. Dan inilah yang masyhur dari mereka bertiga. Hal ini dikecualikan jika emas perhiasan itu memang dimiliki dengan niat untuk biaya nafkah, maka ada zakatnya. Dan jika dimiliki dengan tujuan untuk membayar gaji karyawannya, maka menurut para sahabat Imam Ahmad, ada zakatnya, akan tetapi para sahabat Imam Malik dan Syafi’I menyatakan tetap tidak ada zakatnya.
Kedua : Ada zakatnya
Ketiga : Zakatnya adalah dengan cara meminjamkannya kepada orang lain. Ini juga satu riwayat dari Anas bin Malik
Keempat : Wajib dengan memilih satu dari dua hal, apakah dalam bentuk zakat atau meminjamkannya kepada orang lain. Iman ibn Qayyim menyatakan bahwa metode ini yang terkuat (Al-Thuruq Al-Hukmiyah);
Kelima : Wajib zakat tiap tahun jika mencapai nishab. Ini adalah pandangan yang dilontarkan oleh Imam Abu Hanifah, bahkan juga ada satu riwayat dari Imam Ahmad serta salah satu dari dua pandangan madzhab Syafi’i.
Harta apapun yang diambil/dikeluarkan zakatnya, maka zakatnya harus dari barang yang sesuai dengan aturannya dan tidak boleh menukarnya dengan benda lainnya atau menjualnya.
Jika ada hak ashnaf pada, misalnya, seekor unta atau sapi atau kambing atau satu dinar atau satu dirham, ataupun berkumpulnya dua atau lebih ashnaf pada satu harta zakat, maka cara menyalurkannya adalah dengan memberikan satu harta tersebut kepada mereka semuanya, sehingga mereka berserikat dalam satu harta zakat tersebut.
Sama sebagaimana memberikan harta hibah atau harta wasiat atau barang titipan, maka ia diberikan kepada pemiliknya sebagaimana adanya.
Sama sebagaimana salah seorang mustahiq berhak atas 10 Dinar dan mustahiq kedua berhak 5 Dinar serta mustahiq ketiga berhak atas sisanya. Maka berikanlah masing-masing sesuai haknya.
Demikianlah cara yang dilakukan terhadap semua ashnaf mustahiq zakat, baik dalam hal hewan ternak, uang emas, uang perak, walaupun diantara mereka berserikat dalam satu dirham atau satu dinar; tidak boleh dijual lalu dibelikan barang lainnya. Dan tidak boleh dijual satu dinar untuk ditukar menjadi 10 dirham; tidak boleh menjual dirham untuk ditukar menjadi uang kertas, atau gandum atau beras.
Sumber : Kitab Al-Umm: Bab Zakat, Sub-bab Qismi Al-Mal ‘alaa maa Yuujad, Imam Syafi’iy, Penerjemah: Abu Valech Yanhouth
Jika amil zakat sudah memberikan harta zakat kepada orang yang menurutnya adalah mustahiq (orang yang berhak mendapatkan zakat), baik karena pengakuannya atau diketahui ia mustahiq, lalu ia memberikan zakat kepadanya, namun setelah itu baru diketahui bahwa ternyata ia bukan mustahiq, maka harta zakat itu harus diambil kembali dan diberikan kepada orang lainnya yang sudah jelas mustahiq.
Para fuqaha (ulama ahli fiqh) sepakat bahwasannya disyariatkannya pengeluaran zakat fithrah adalah dari jenis harta khusus (yang ada nash-nya). (Lihat Kitab Al-Ijma’, Imam Ibnul Mundzir, 56).
Dalam riwayat hadits Abu Said, katanya:
Kami mengeluarkan zakat fithri sebesar satu sha’ tamr (kurma masak) atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ tepung atau satu sha’ zabib (anggur kering).” HR. Muttafaq Alaih, Al-Bukhari 1435, Muslim 985.
Adapun memberikan uang kepada fakir-miskin, baik karena ada sebab atau tanpa ada sebab tertentu, seperti membantu orang fakir yang membutuhkan uang, atau misalnya seseorang kesusahan membeli bahan makanan pokok untuk zakat fithrahnya, ataupun karena uang dianggap lebih mudah mengumpulkannya, menjaganya, dan memindahkannya, serta membagikannya kepada pihak lain, maka tentang ini ada ikhtilaf (perbedaan pandangan) fuqaha tentang hukum menunaikan zakat fithri dengan uang dalam dua pandangan:
Definisi Nabi dan Rasul
Nabi dalam bahasa Arab berasal dari kata naba. Dinamakan Nabi karena mereka adalah orang yang menceritakan suatu berita dan mereka adalah orang yang diberitahu beritanya (lewat wahyu). Sedangkan kata rasul secara bahasa berasal dari kata irsal yang bermakna membimbing atau memberi arahan. Definisi secara syar’i yang masyhur, nabi adalah orang yang mendapatkan wahyu namun tidak diperintahkan untuk menyampaikan sedangkan Rasul adalah orang yang mendapatkan wahyu dalam syari’at dan diperintahkan untuk menyampaikannnya [Syaikh Ibn Abdul Wahhab menggunakan definisi ini dalam Ushulutsalatsah dan Kasyfu Syubhat, begitu pula Syaikh Muhammad ibn Sholeh Al Utsaimin]. Sebagian ulama menyatakan bahwa definisi ini memiliki kelemahan, karena tidaklah wahyu disampaikan Allah ke bumi kecuali untuk disampaikan, dan jika Nabi tidak menyampaikan maka termasuk menyembunyikan wahyu Allah. Kelemahan lain dari definisi ini ditunjukkan dalam hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ditampakkan kepadaku umat-umat, aku melihat seorang nabi dengan sekelompok orang banyak, dan nabi bersama satu dua orang dan nabi tidak bersama seorang pun.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Awal turunnya kewajiban shaum Ramadhan adalah pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, atas dasar ini para ulama berijma’ bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menunaikan ibadah shaum Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan kali. [Kitab Taudhiihul Ahkam, Kitabush shiyam Jilid 3 hal 123 (secara makna)]