HADITS-HADITS DLA’IF DALAM KITAB RIYAADLUSH-SHALIHIIN [Tulisan 4]


Bab : Keutamaan Barisan Pertama pada Shalat dan Perintah untuk Meluruskan Serta Merapatkan Shaff

Hadits No 103

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu dia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

ﻞﻠﺨﻟﺍ ﺍﻭﺪﺳﻭ ﻡﺎﻣﻹﺍ ﺍﻮﻄﺳﻭ
Jadikanlah imam itu di tengah dan isilah celah-celah (shaff)” (HR. Abu Dawud).

Keterangan :

Matan (redaksi) hadits tersebut adalah dla’if, karena ada dua orang perawi yang majhul (tidak dikeyahui identitasnya), yaitu Yahya bin Basyir bin Khallad dan ibunya. Tapi lanjutan hadits tersebut yang berbunyi : ﻞﻠﺨﻟﺍ ﺍﻭﺪﺳﻭ (dan isilah celah-celah shaff) adalah shahih; sebagaimana ada syahid riwayat dari hadits lain dari Ibnu ‘Umar, yaitu pada hadits nomor 1098 (Kitab Riyaadlush-Shaalihiin).

Lihat Dla’if Sunan Abi Dawud hadits nomor 133; Dla’if Jaami’ush-Shaghiir hadits nomor 6122; Bahjatun-Naadhiriin hadits nomor 1096; dan Takhrij Riyaadlush-Shaalihiin hadits nomor 1096.

Bab : Shalat Sunnah Sebelum ‘Ashar

Hadits No 1128

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu :

ﻦﻴﺘﻌﻛﺭ ﺮﺼﻌﻟﺍ ﻞﺒﻗ ﻲﻠﺼﻳ ﻥﺎﻛ ﻢﻠﺳﻭﻪﻴﻠﻋﷲﺍﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻥﺃ
( ﺢﻴﺤﺻ ﺩﺎﻨﺳﺈﺑ ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺃ ﻩﺍﻭﺭ )

“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam shalat sebelum ‘Ashar 2 (dua) raka’at (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih)

Keterangan :

Sanad hadits tersebut adalah hasan, akan tetapi matan (redaksi) haditsnya adalah syadz (menyalahi riwayat yang lebih kuat). Riwayat hadits yang lebih kuat adalah dengan lafadh : ﺕﺎﻌﻛﺭ ﻊﺑﺭﺃ (empat raka’at); sesuai dengan perbuatan dan ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Lihat Dla’if Sunan Abi Dawud hadits nomor 276; Dla’if Al-Jami’ Ash-Shaghir hadits nomor 4568; Bahjatun-Naadhiriin hadits nomor 1121; dan Takhrij Riyaadlush-Shaalihiin hadits nomor 1121.

Bab : Keutamaan Hari Jum’at, Mandi, dan Memakai Wewangian

Hadits No 1164.

Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ary radliyallaahu ‘anhu berkata :
ﷲﺍﻝﻮﺳﺭ ﻦﻋ ﺙﺪﺤﻳ ﻙﺎﺑﺃ ﺖﻌﻤﺳﺃ : ﺎﻤﻬﻨﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ ﺮﻤﻋ ﻦﺑ ﷲﺍﺪﺒﻋ ﻲﻟ ﻝﺎﻗ
ﺖﻌﻤﺳ : ﻝﻮﻘﻳ ﻪﺘﻌﺳ ﻢﻌﻧ : ﺖﻠﻗ : ﻝﺎﻗ ﺔﻌﻤﺠﻟﺍ ﺔﻋﺎﺳ ﻥﺄﺷ ﻲﻓ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻰﻠﺻ
ﺓﻼﺼﻟﺍ ﻰﻀﻘﺗ ﻥﺃ ﻰﻟﺇ ﻡﺎﻣﻹﺍ ﺲﻠﺠﻳ ﻥﺃ ﻦﻴﺑ ﺎﻣ ﻲﻫ : ﻝﻮﻘﻳ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻰﻠﺻ ﷲﺍﻝﻮﺳﺭ

Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhuma bertanya kepadaku,”Apakah engkau pernah mendengar bapakmu bercerita tentang saat (waktu) yang utama pada hari Jum’at?”. Abu Burdah menjawab,”Ya, aku mendengar bapakku berkata,”Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : Saat itu adalah di antara duduknya imam di atas mimbar hingga dilaksanakannya shalat” (HR. Muslim).
Keterangan :

Hadits tersebut dla’if marfu’, yaitu suatu hadits yang bersambung sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, padahal hadits tersebut hanya sampai kepada Abu Burdah. Jadi hadits tersebut derajatnya mauquf, yaitu riwayat/hadits yang hanya disandarkan kepada shahabat, sebagaimana dipertegas oleh Imam Ad-Daruquthni dlam Al-Fath (2/351).

Lihat Dla’if Sunan Abi Dawud hadits nomor 229; Dla’if Al-Jaami’ hadits nomor 6103; Bahjatun-Naadhiriin hadits nomor 1157; dan Takhrij Riyaadlush-Shaalihiin hadits nomor 1157

Bab : Disunnahkan Sujud Syukur Jika Mendapatkan Kenikmatan
Hadits No 1166.

Sa’ad bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu dia berkata (yang artinya) : Kami keluar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari Makkah hendak ke Madinah. Maka tatkala kami dekat denga ‘azwara’ beliau singgah lalu mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah sesaat kemudian beliau bersungkur sujud dan berdiam cukup lama, kemudian bangkit lalu mengangkat kedua tangannya sesaat kemudian bersungkur sujud. Beliau melakukannya tiga kali – dan bersabda : “Sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku dan aku memberi syafa’at untuk umatku, maka Dia memberi sepertiga umatku. Maka aku bersungkur sujud kepada Rabbku sebagai bentuk rasa syukur. Kemudian aku angkat kepalaku, lalu aku memohon untuk umatku, maka Dia memberi sepertiga umatku. Maka aku pun bersungkur sujud kepada Rabbku karena bersyukur. Kemudian aku angkat kepalaku lalu aku memohon kepada Rabbku untuk umatku lalu Dia memberiku sepertiga yang lain. Maka aku bersungkur sujud kepada Rabbku” (HR. Abu Dawud).
Keterangan :

Sanad hadits di atas adalah dla’if, karena ada dua perawi yaitu : Musa bin Ya’qub Az-Zamai (=Orang yang buruk hafalannya) dan Yahya bin Al-Hasan bin ‘Utsman (=gurunya), yaitu orang yang majhul (tidak diketahui identitasnya). Walaupun demikian, sujud syukur ketika mendapatkan suatu nikmat atau terhindar dari suatu mushibah merupakan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan kebiasaan para salafush-shalih. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah radliyallahu ‘anhu dengan sanad hasan :
ﺍﺪﺟﺎﺳﺮﺧ ﻪﺑ ﺮﺳ ﺮﻣﺃ ﻪﺋﺂﺟ ﺍﺫﺇ ﻥﺎﻛ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻥﺃ
(ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍﻭ ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺃ ﻪﺟﺮﺧﺃ )
“Jika Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mendapat khabar yang menggembirakan, maka beliau langsung bersujud
” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Begitu pula sujud syukurnya Ka’ab bin Malik pada jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ketika ia diberi khabar gembira bahwa taubatnya diterima oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Kejadian tersebut diriwaytkan oleh Bukhari dan Muslim.

Lihat Silsilah Adl-Dla’iifah hadits nomor 3229; Al-Irwa’ hadits nomor 467; Dla’if Sunan Abi Dawud hadits nomor 590; Bahjatun-Naadhiriin hadits 1159; dan Takhrij Riyaadlush-Shalihiin hadits nomor 1159.

Bab : Keutamaan Segera Berbuka Puasa

Hadits No 1243.

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata :

ﺍﺮﻂﻓ ﻢﻬﻠﺠﻋﺃ ﻲﻟﺇ ﻱﺩﺎﺒﻋ ﺐﺣﺃ : ﻞﺟﻭ ﺰﻋ ﷲﺍ ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻝﺎﻗ
(ﻦﺴﺣ ﺚﻳﺪﺣ ﺍﺬﻫ : ﻝﺎﻗﻭ ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ ﴿

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : Telah berfirman Allah ‘azza wa jalla : “Hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah yang paling segera berbuka (puasa)” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata : Hadits hasan).
Keterangan :

Sanad hadits tersebut adalah dla’if, karena ada seorang perawi yang bernama Qurrah bin Abdirrahman. Ia adalah seorang yang buruk hafalannya. Ibnu Hibban menguatkan Qurrah, tetapi jumhur ahli hadits melemahkannya, sehingga pendapat yang diterima adalah pendapat jumhur. Hadits tersebut bisa dipakai sebagai syahid untuk hadits-hadits lain yang semakna dengannya. Dengan demikian, peng-hasan-an hadits tersebut (oleh At-Tirmidzi) tidak dapat dikatakan sebagai hadits yang berderajat hasan. Wallaahu a’lam.

Lihat Bahjatun-Naadhiriin hadits nomor 1235 dan Takhrij Riyaadlush-Shaalihiin hadits nomor 1235
Hadits No 246

Dari Salman bin ‘Amr Adl-Dlabbiy – seorang shahabat – radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda :

ﺭﻮﻬﻁ ﻪﻧﺈﻓ ﺀﺎﻣ ﻰﻠﻋ ﺮﻂﻔﻴﻠﻓ ﺪﺠﻳ ﻢﻟ ﻥﺈﻓ ﺮﻤﺗ ﻰﻠﻋ ﺮﻂﻔﻴﻠﻓ ﻢﻛﺪﺣﺃ ﺮﻂﻓﺃ ﺍﺫﺇ
(ﺢﻴﺤﺻ ﻦﺴﺣ ﺚﻳﺪﺣ : ﻝﺎﻗﻭ ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍﻭ ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺃ ﻩﺍﻭﺭ )
Jika salah seorang di antara kalian berbuka, maka hendaknya berbuka dengan kurma (tamr). Dan jika tidak ada, maka dengan air, karena sesungguhnya ia menyucikan
” (HR. AbuDawud dan Tirmidzi dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”).

Keterangan :

Lafadh hadits Nabi : “Jika salah seorang kalian berbuka, hendaklah berbuka dengan kurma, karena kurma itu berkah. Kalau tidak ada kurma maka dengan air, karena air itu suci” adalah hadits dla’if dari segi sanad, namun shahih dilihat dari segi perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Yaitu jika beliau berbuka adalah dengan kurma, dan apabila tidak ada maka dengan air putih. Sebagaimana disebutkan di dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi hadits nomor 560, yaitu (yang artinya) :

Dari Anas bin Malik, dia berkata : Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam jika berbuka – sebelum melaksanakan shalat – maka beliau berbuka dengan beberapa buah ruthab (kurma basah/mengkal). Jika tidak ada, maka dengan beberapa buah tamr (kurma kering/masak). Jika tidak ada, maka beliau berbuka dengan meminum beberapa teguk air (HR. Tirmidzi]

Lanjutan hadits tersebut, yaitu (yang artinya) : “Sedekah kepada orang miskin berarti hanya sedekah, sedangkan sedekah kepada kaum kerabat mempunyai (pahala) dua, yaitu : (pahala) sedekah dan (pahala) hubungan persaudaraan” adalah hadits hasan. Matan hadits ini mempunyai syahid pada hadits nomor 331.

Lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi – dengan ringkasan sanad, nomor 531; Shahih Sunan Abu Dawud – dengan ringkasan sanad nomor hadits 2065; Shahih Sunan Ibnu Majah – dengan ringkasan sanad, nomor 1494; Dla’if Sunan Ibnu Majah dengan nomor 374; dan Irwaaul-Ghaliil dengan nomor 922.

Bab : Keutamaan Puasa pada Bulan Muharram dan Sya’ban

Hadits No 1256

Dari Mujibah Al-bahiliyyah dari bapaknya – atau pamannya – , sesungguhnya ia mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian kembali pulang dan ia datang lagi setelah setahun – dan telah berubah bentuk dan rupanya – . Maka berkata : “Wahai Rasulullah, apakah Anda tidak mengenaliku?”. Beliau balik bertanya,”Siapa kamu”. Ia menjawab,”Aku Al-Bahiliy yang datang kepada Anda setahun yang lalu”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya,”Lalu apa yang merubah (bentuk dan keadaan) kamu, padahal dulu kamu punya rupa yang bagus?”. Ia menjawab,”Aku tidak pernah makan semenjak berpisah dengan Anda kecuali malam hari”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Kamu telah menyiska diri sendiri”. Kemudian bersabda :
ﺮﻬﺷ ﻞﻛ ﻦﻣ ﺎﻣﻮﻳﻭ ﺮﺒﺼﻟﺍ ﺮﻬﺷ ﻢﺻ
Berpuasalah di bulan sabar (Ramadlan) dan sehari dalam setiap bulannya”
Ia berkata,”Tambah lagi wahai Rasul, karena aku masih kuat”. Beliau bersabda :
ﻦﻴﻮﻳ ﻢﺻ
“Berpuasalah dua hari”
Ia berkata lagi,”Tambah lagi!”. Beliau menjawab :
ﻡﺎﻳﺃ ﺔﺛﻼﺛ ﻢﺻ
“Berpuasalah tiga hari”
Ia berkata,”Tambah lagi”. Beliau menjawab :
ﺎﻬﻤﻀﻓ ﺙﻼﺜﻟﺍ ﻪﻌﺒﺻﺄﺑ ﻝﺎﻗﻭ ﻙﺮﺗﺍﻭ ﻡﺮﺤﻟﺍ ﻦﻣ ﻢﺻ ﻙﺮﺗﺍﻭ ﻡﺮﺤﻟﺍ ﻦﻣ ﻢﺻ ﻙﺮﺗﺍﻭ ﻡﺮﺤﻟﺍ ﻦﻣ ﻢﺻ
“Berpuasalah dari bulan-bulan haram, lalu tinggalkanlah, berpuasalah di bulan-bulan haram lalu tinggalkanlah, berpuasalah di bulan-bulan haram lalu tinggalkanlah”. Beliau mengumpukan jarinya, kemudian melepaskannya
. (HR. Abu Dawud).

Keterangan :

Sanad hadits tersebut adalah dla’if, karena ada perawi yang bernama Mujibah Al-Bahiliyyah, orang yang majhul (tidak diketahui identitasnya), sehingga hadits tersebut tidak dapt dipakai sebagai hujjah.

Lihat catatan Syaikh Al-Albani pada At-Ta’liq Ar-Raghib ‘alaa Targhib wat-Tarhib (2/82); Bahjatun-Naadhiriin hadits nomor 1248; dan Takhrij Riyaadlush-Shaalihiin hadits nomor 1248

Bab : Keutamaan Memberi Makan Orang yang Berbuka Puasa dan Keutamaan Orang yang Berpuasa yang Rumahnya Ditempati Makan dan Agar Orang yang Telah Diberi Makan Berdoa untuk Orang yang Memberi

Hadits No 1274.

Dari Ummu Umarah Al-Anshariyyah radliyallaahu ‘anhaa :

: ﻝﺎﻘﻓ ﺎﻣﺎﻌﻁ ﻪﻴﻟﺇ ﺖﻣﺪﻘﻓ ﺎﻬﻴﻠﻋ ﻞﺧﺩ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟﺍ ﻥﺃ
ﻥﺇ : ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻝﺎﻘﻓ .ﺔﻤﺋﺎﺻ ﻲﻧﺇ : ﺖﻟﺎﻘﻓ .”ﻲﻠﻛ”
: ﻝﺎﻗ ﺎﻤﺑﺭﻭ .ﺍﻮﻏﺮﻔﻳ ﻰﺘﺣ ﻩﺪﻨﻋ ﻞﻛﺃ ﺍﺫﺇ ﺔﻜﺋﻼﻤﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻲﻠﺼﺗ ﻢﺋﺎﺼﻟﺍ
[ﻦﺴﺣ ﺚﻳﺪﺣ ﻝﺎﻗﻭ ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ] ﺍﻮﻌﺒﺸﻳﻰﺘﺣ

Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk kepadanya lalu ia menyuguhkan makanan kepada beliau. Maka beliau berkata,”Makanlah!”. Dia menjawab,”Sesungguhnya aku puasa”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Sesungguhnya orang yang berpuasa itu selalu didoakan (dimintakan ampunan) oleh malaikat apabila ada yang makan di rumahnya hingga mereka selesai”. Barangkali beliau bersabda,”Hingga mereka kenyang”. (HR. Tirmidzi, dia berkata,”Hadits hasan”).

Keterangan :

Sanad hadits tersebut dla’if, karena ada seorang perawi (yang bernama Laila), yang majhul (tidak diketahui identitasnya). Meskipun demikian, ada satu riwayat dengan sanad shahih dengan syarat Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma. Hadits tersebut mauquf, tetapi mempunyai hukum marfu’ sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, yaitu :

ﺔﻜﺋﻼﻤﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﺖﻠﺻ ﻩﺪﻨﻋ ﻞﻛﺃ ﺍﺫﺇ ﻢﺋﺎﺼﻟﺍ (ﻕﺍﺯﺮﻟﺍﺪﺒﻋﻭ ﺔﺒﻴﺷ ﻲﺑﺃ ﻦﺑﺇ ﻪﺮﺧﺃ)
Orang yang sedang puasa tetap akan didoakan oleh para malaikat, selagi ada orang yang makan di sisinya
” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan ‘Abdurrazzaq).

Lihat Silsilah Adl-Dla’iifah hadits nomor 1332; Bahjatun-Naadhiriin hadits nomor 1266; dan Takhrij Riyaadlush-Shaalihiin hadits nomor 1266.

Bab : Kewajiban Berjihad

Hadits No 1343.

Dari Abu Hammad ‘Uqbah bin Amir radliyallaahu ‘anhu, dia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

ﺔﻨﺠﻟﺍ ﺮﻔﻧ ﺔﺛﻼﺛ ﺪﺣﺍﻮﻟﺍ ﻢﻬﺴﻟﺎﺑ ﻞﺧﺪﻳ ﷲﺍ ﻥﺇ
ﻪﺑ ﻲﻣﺍﺮﻟﺍﻭ ﺮﻴﺨﻟﺍ ﻪﺘﻌﻨﺻ ﻲﻓ ﺐﺴﺘﺤﻳ ﻪﻌﻧﺎﺻ ﻪﻠﺒﻨﻣﻭ
ﻙﺮﺗ ﻦﻣﻭ .ﺍﻮﺒﻛﺮﺗ ﻥﺃ ﻦﻣ ﻲﻟﺇ ﺐﺣﺃ ﺍﻮﻣﺮﺗ ﻥﺃﻭ ﺍﻮﺒﻛﺭﺍﻭ ﺍﻮﻣﺭﺍﻭ
ﺎﻫﺮﻔﻛ:ﻝﺎﻗﻭﺃ – ﺎﻬﻛﺮﺗ ﺔﻤﻌﻧ ﺎﻬﻧﺈﻓ ﻪﻨﻋ ﺔﺒﻏﺭ ﻪﻤﻠﻋ ﺎﻣ ﺪﻌﺑ ﻲﻣﺮﻟﺍ
[ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺃ ﻩﺍﻭﺭ ]
Sesungguhnya Allah memasukkan tiga orang ke dalam surga karena sebatang anak panah; orang yang membuat anak panah yang ia mengharap kebaikan dari pembuatannya itu, (kemudian) orang yang melepaskannya, dan (ketiga) adalah orang yang menyiapkannya. Maka memanahlah dan berkudalah, dan jika kalian memanah itu lebih aku suaki daripada kalian berkuda. Dan barangsiapa yang meninggalkan memanah setelah ia diajari karena tidak suka, maka sesungguhnya ia telah meninggalkan suatu nikmat – atau beliau bersabda,”Ia mengkufuri satu nikmat
” (HR. Abu Dawud).

Keterangan :

Sanad hadits tersebut dla’if, karena ada dua ‘illat (cacat). Pertama, dalam sanadnya ada dua orang perawi yang majhul (tidak diketahui identitasnya), yaitu Khalid bin Zaid dan Abdullah bin Al-Azraq. Kedua, dalam sanadnya terdapat idlthirab (ﺏﺍﺮﻂﺿﺇ), yaitu berlawanan cara-cara periwayatannya, menyelisihi Syaikh Abu Salam, sebagaimana dijelaskan Al-Hafidh Al-‘Iraqi dalam Takhrij Al-Ihyaa’.

Lihat takhrij Syaikh Al-Albani dalam Takhrij Fiqhus-Siirah (halaman 225); Bahjatun-Naadhiriin hadits nomor 1335; dan Takhrij Riyaadlush-Shaalihiin hadits nomor 1335

Bab : Keutamaan Menuntut Ilmu dan Mengajarkannya Karena Allah Ta’ala

Hadits No 1393.

Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

ﻊﺟﺮﻳ ﻰﺘﺣ ﷲﺍ ﻞﻴﺒﺳ ﻲﻓ ﻮﻬﻓ ﻢﻠﻌﻟﺍ ﺐﻠﻃ ﻲﻓ ﺝﺮﺧ ﻦﻣ
(ﻦﺴﺣ ﺚﻳﺪﺣ: ﻝﺎﻗﻭ ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ )
“Barangsiapa pergi untuk menuntut ilmu, maka ia berjuang di jalan Allah (sabiilillah) hingga ia kembali
” (HR. At-Tirmidzi, dia berkata : “Hadits hasan” ).

Keterangan :

Sanad hadits di atas adalah dla’if, karena ada perawi yang bernama Abu Ja’far Ar-Razi, orang yang buruk hafalannya. Walaupun demikian, hadits tersebut mempunyai syahid yang bersanad shahih yang semakna; sebagaimana yang terdapat di dalam Sunan Ibnu Majah dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ﷲﺍ ﻞﻴﺒﺳ ﻲﻓ ﺪﻫﺎﺠﻤﻟﺍ ﺔﻟﺰﻨﻤﺑ ﻮﻬﻓ ﻪﻤﻠﻌﻳ ﻭﺃ ﻪﻤﻠﻌﺘﻳ ﺮﻴﺨﻟ ﻻﺇ ﻪﺗﺄﻳ ﻢﻟ ﺍﺬﻫ ﻱﺪﺠﺴﻣ ﺀﺂﺟ ﻦﻣ
(ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑﺍ ﻩﺍﻭﺭ )
Barangsiapa yang mendatangi masjidku ini, tidak lain kecualihanya diniatkan untuk suatu kebaikan, untuk belajar, atau untuk mengajarkannya; maka ia menempati kedudukan seperti orang yang berjihad di jalan Allah
(HR. Ibnu Majah).

Lihat Silsilah Adl-Dla’iifah hadits nomor 2037; Takhrij Al-Misykah hadits nomor 220; Bahjatun-Naadhiriin hadits nomor 1385; dan Takhrij Riyaadlush-Shaalihiin hadits nomor 1385.
Hadits No 1394.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda :

ﺔﻨﺨﻟﺍ ﻩﺎﻬﺘﻨﻣ ﻥﻮﻜﻳ ﻰﺘﺣ ﺮﻴﺧ ﻦﻣ ﻦﻣﺆﻣ ﻊﺒﺸﻳ ﻦﻟ
(ﻦﺴﺣ ﺚﻳﺪﺣ ﺍﺬﻫ : ﻝﺎﻗﻭ ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ )
Seorang mukmin tidak akan puas berbuat kebaikan hingga ia sampai ke puncaknya, yaitu surga
(HR. At-Tirmidzi, ia berkata : “Hadits hasan” ).

Keterangan :

Sanad hadits di atas adalah dla’if, karena ada seseorang yang bernama Darraj Abu Samah, disebabkan periwayatannya dari Abu Al-Haitsam adalah dla’if (hal ini telah dijelaskan pada hadits nomor 1067). Untuk mencukupi makna hadits tersebut, maka ada sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang shahih dengan berbagai jalur periwayatan dan syahidnya, yaitu :
ﻊﺒﺸﻳ ﻻ ﺎﻴﻧﺩ ﻲﻓ ﻡﻮﻬﻨﻣﻭ ﻊﺒﺸﻳﻻ ﻢﻠﻋ ﻲﻓ ﻡﻮﻬﻨﻣ : ﻥﺎﻌﺒﺸﻳ ﻻ ﻥﺎﻣﻮﻬﻨﻣ
Ada dua kegemaran/kerakusan seseorang yang tidak akan pernah membuat puas, yaitu : gemar (rakus) mencari ilmu dan gemar (rakus) dalam mencari dunia

Lihat Takhrij Al-Misykah hadits nomor 222; Bahjatun-Naadhiriin hadits nomor 1386; dan Takhrij Riyaadlush-Shaalihiin hadits nomor 1386

Sumber :

Tulisan Abu Al Jauzaa di http://www.myquran.org

3 Komentar to “HADITS-HADITS DLA’IF DALAM KITAB RIYAADLUSH-SHALIHIIN [Tulisan 4]”

  1. bagus banget ada kumpulan hadits yang bisa dibaca kapan saja, dimana saja. saya termasuk orang yang kurang banyak pengetahuannya tentang agama. alhamdulillah karena saya sulit ikut acara`pengajian disini, saya bisa mengambil manfaat/ menambah pengetahuan agama dari adanya kumpulan hadits ini. mungkin lebih enak kalo per hadits di pisah, dalam arti dikotak-kotak. agar yang baca ga terlalu bingung. Dan kalo bisa ada penjelasan tentang maksud/pemahaman hadits-hadits tertentu yang agak sulit dimengerti dan bisa memberikan penafsiran yang salah.

  2. Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya…

    Kalau anda menghendaki tulisan-tulisan haditsnya dikotak2 atau yang semacamnya, maaf saya belum menguasai sepenuhnya tools ataupun tag2 html.

    Adapun mengentai penjelasan dan pemahaman hadits2 yang ada, mohon maaf karena keterbatasan ilmu dan keterbatasan waktu saya bekum bisa membahasnya secara mendetail. Mungkin ada baiknya anda langsung merujuk buku2 dan situs yang saya sebutkan sebagai sumber.

  3. Assalamu ‘alaikum,
    Saya ingin menanyakan hadits tenang tatto, sejauh mana tatto dilarang oleh islam, dan bagaimana tentang hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Bukhori r.a yang kurang lebih maknanya ‘ perempuan yang menyambung rambut dan minta untuk disambungkan rambut dan orang yang bertatto di kutuk oleh nabi saw, serta bagaimana untuk melakukan taubat nasuha apabila sudah terlanjur. Mohon agar dapat i e-mail. Terimakasih. Wassalam.

    Abu Al Maira :

    Alaikumussalam warahmatullah….

    Hukum tato adalah haram. Dan hadits yang anda bawakan adalah benar adanya.

    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
    Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknati wanita yang menyambung rambutnya, dan yang meminta untuk disambungkan, wanita yang mentato dan meminta ditatokan.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5933 dan dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma no. 5937)

    Selanjutnya, “Bagaimanakah taubatnya seorang yang sudah terlanjur mentato anggota badannya ?”

    Imam Nawawi berpendapat :
    “…Kalau mungkin dihilangkan dengan pengobatan maka wajib dihilangkan. Jika tidak memungkinkan kecuali dengan melukainya di mana dengan itu khawatir berisiko kehilangan anggota badannya, atau kehilangan manfaat dari anggota badan itu, atau sesuatu yang parah terjadi pada anggota badan yang tampak itu, maka tidak wajib menghilangkannya. Dan jikalau bertaubat ia tidak berdosa. Tapi kalau ia tidak mengkhawatirkan sesuatu yang tersebut tadi atau sejenisnya maka ia harus menghilangkannya. Dan ia dianggap bermaksiat dengan menundanya. Sama saja dalam hal ini semua, baik laki-laki maupun wanita.” (Syarh Shahih Muslim, 14/332. Dinukil pula ucapan ini dan disetujui dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, 11/225, dan Nailul Authar, 6/228)

    Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan: “Membuat tato haram berdasarkan adanya laknat dalam hadits…, … maka wajib menghilangkannya jika memungkinkan walaupun dengan melukainya. Kecuali jika takut binasa, (tertimpa) sesuatu, atau kehilangan manfaat dari anggota badannya maka boleh membiarkannya dan cukup dengan bertaubat untuk menggugurkan dosa. Dan dalam hal ini sama saja antara laki-laki dan wanita.” (Fathul Bari,10/372)

    Syaikh bin Baz mengatakan : “Bila dilakukan oleh seorang muslim saat dia tidak tahu hukum haramnya, atau ditato semasa dia kecil maka ia harus menghilangkannya setelah mengetahui keharamannya. Namun bila terdapat kesulitan atau mudarat dalam menghilangkannya, cukup baginya untuk bertaubat dan memohon ampun. Dan tidak mengapa yang masih ada dari tatonya di tubuhnya.” [Fatwa ini diterbitkan dari kantor beliau dengan nomor 2/218 pada tanggal 26/1/1409 H]

    Syaikh Shalih al Fauzan :
    Dan orang yang dibuatkan tato, kalau itu dengan kemauannya dan dengan sukarela, maka ia berdosa dan wajib baginya untuk bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan agar menghilangkan tatonya bila mampu. Adapun bila itu dibuatkan tanpa melakukannya sendiri dan tanpa ridhanya, seperti jika dilakukan atasnya semasa kecil, saat belum paham, maka dosanya atas yang melakukannya. Namun bila memungkinkan untuk dihilangkan, dia wajib menghilangkannya. Tapi jika tidak mungkin maka ia dapat udzur dalam keadaan semacam ini.” (dinukil dari kumpulan fatwa beliau, Al-Muntaqa hal. 249)

    Syaikh Abdul Muhsin al Abbad :
    “Tato itu haram dan bertambah keharamannya ketika seseorang menggambar sesuatu yang haram seperti hewan-hewan. Barangsiapa melakukannya lalu tahu hukumnya hendaknya beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan jika bisa menghilangkannya tanpa menimbulkan mudarat maka semestinya itu dihilangkan.”
    [Pelajaran Sunan Abi Dawud Kitab Az-Zinah, Bab La’nul wasyimah wal mustausyimah, 8/572]

Tinggalkan komentar