REASURANSI SYARIAH


Oleh: Indriyanto Agus Wibowo, Praktisi Reasuransi SyariahTerkait dengan adanya statement dari DSN yang mencabut status darurat reasuransi konvensional, dicabutnya status darurat ini bermakna telah tertutupnya pintu bagi asuransi-asuransi syariah untuk menggunakan jasa reasuransi konvensional dalam mendapatkan dukungan (backup) kapasitas atas resiko-resiko yang melebihi kemampuan asuransi syariah (own retention).

Makna lain adalah asuransi syariah diharuskan hanya menggunakan reasuransi syariah untuk memenuhi tambahan kapasitasnya itu. Dalam konteks ini, artinya menjadi haram penggunaan jasa reasuransi selain asuransi syariah.

Masalah ini penting bagi industri asuransi syariah karena dua implikasi yang akan terjadi dari pencabutan fatwa ini, sama-sama akan berdampak bagi perkembangan industri perasuransian syariah kedepan. Dibiarkannya fatwa darurat reasuransi konvensional, berarti memperpanjang waktu bagi nasabah untuk belum mendapatkan pelayanan asuransi yang penuh secara syariah. Demikian halnya jika pencabutan fatwa darurat reasuransi segera direalisasikan, apakah reasuransi syariah telah siap menampung kelebihan (excess) atas seluruh portofolionya, mengingat mekanisme reasuransi syariah bekerja berdasarkan pada prudent underwriting, yang terkait pada proses klasifikasi dan seleksi resiko?

Menyimak dari alasan-alasan yang dilontarkan DSN, muatannya terfokus pada upaya memurnikan praktek asuransi secara syariah yaitu mengembalikan kepada hukum awal asuransi dan reasuransi yang konvensional sebagai sesuatu yang haram. Yang kedua adalah telah dibukanya reasuransi syariah nasional yaitu ReINDO syariah dan Nasre syariah, yang disusul dua asuransi lainnya Tugure dan Marien yang akan membuka unit syariahnya, ditambah tiga reasuransi luar negeri, yaitu ASEAN Retakaful Labuan-Malaysia, Takaful-re Bahrain dan Milea Retakaful Singapore.

Tentu diperlukan pikiran yang jernih dan mendalam (‘amiq wal mustaniir) dalam mencari solusi masalah ini. Disatu sisi, tidak boleh mengabaikan hak nasabah (peserta takaful) atas kehalalan dan kesyariahan dari produk yang diikutinya, dan disisi lain juga tidak boleh menjadi penghambat perkembangan industri asuransi syariah yang begitu menggembirakan ini. Disinilah dituntut kearifan DSN-MUI dalam melihat permasalahan ini.

Menurut kaidah syar’i, darurat didefinisikan sebagai suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian. Dalam literatur klasik, darurat sering dicontohkan dengan seseorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan. Maka dalam keadaan darurat tersebut, Allah menghalalkan daging babi dengan dua batasan, “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa seraya dia (1) tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas (2), maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dengan sebaliknya, kondisi terpaksa ini dinilai bahwa, “apapun yang diperbolehkan karena sesuatu alasan darurat, menjadi tidak boleh lagi dengan hilangnya alasan tersebut” (Syakir, 2004).

Jika menunjuk definisi diatas dan dihubungkan dengan konteks penggunaan reasuransi konvensional saat ini, maka muncul beberapa pertanyaan lanjutan. Apakah tanpa adanya penggunaan jasa reasuransi konvensional oleh asuransi syariah, akan menyebabkan kehancuran atau kematian industri asuransi syariah?. Apakah saat ini tidak ada sama sekali reasuransi selain yang konvensional?. Belum cukupnya kapasitas reasuransi syariah apakah menjadikan halal reasuransi konvensional?. Bukankah darurat disyariatkan tidak melampaui batas. Tentu bila dijawab satu persatu pertanyaan diatas, maka kita sampai pada satu kesimpulan bahwa ber-reasuransi konvensional oleh asuransi syariah saat ini, tidak lagi memenuhi persyaratan darurat.

Disamping itu, hukum darurat diberlakukan dengan aspek yang sangat ketat, dimana darurat juga mencakup hal-hal seperti keadaan emergency harus benar-benar telah terjadi, sudah tertutup peluang untuk mendapatkan halal setelah berupaya sekuat-kuatnya, dan tidak ditemukan alternatif lainnya sebagai pengganti yang halal. Apakah hal ini terjadi pada praktek pereasuransian syariah saat ini?.

Perlunya mendudukan permasalahan ini sesuai syara’, bahwa belum maksimalnya kapasitas reasuransi syariah dipandang dari sudut asuransi syaruah, tidak bisa dilihat lagi sebagai sesuatu yang dapat melanggengkan fatwa darurat itu. Karena persyaratan darurat itu sendiri telah hilang, dengan munculnya reasuransi syariah baik diluar maupun didalam negeri, maka gugurlah aspek daruratnya. Ancaman kematian atau kehancuran asuransi syariah bila tidak segera dilakukan tindakan dengan cepat, tentu menjadi tidak tepat pada kondisi saat ini.

Kekhawatiran yang muncul sebenarnya lebih beralasan bila dihubungkan dengan kurang kompetitifnya daya saing asuransi syariah bila berhadapan dengan asuransi konvensional, terutama untuk penutupan-penutupan besar. Asuransi konvensional yang lebih dulu berkembang dan sudah mapan serta mendapat dukungan reasuransi yang kuat, tentu akan leluasa untuk mendapatkan penutupan tersebut. Jadi titik masalah sebenarnya adalah bukan lagi masih boleh tidaknya darurat reasuransi dijalankan, namun bagaimana memperjuangkan kenaikan kapasitas perasuransian syariah, baik asuransi syariah itu sendiri maupun reasuransi syariah, yang sangat terkait dengan besaran pemodalan yang dimilikinya, dalam rangka ikut mengembangkan perasuransian syariah yang sehat dan kuat.
 
 

Tinggalkan komentar