Hukum Kartu Kredit Dalam Islam


oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi

Hukum-hukum Syariat Tentang Kartu Kredit

Kartu-kartu kredit ini mencuatkan beberapa kemusykilan menurut ajaran syariat yang akan penulis paparkan sebagai berikut sebagian di antaranya:

Pertama: Persyaratan Berbau Riba
Transaksi untuk mengeluarkan kartu-kartu tersebut pada umumnya mengandung beberapa komitmen berbau riba yang intinya mengharuskan pemegang kartu untuk membayar bunga-bunga riba atau denda-denda finansial bila terlambat menutupi hutangnya. Apa pengaruh komitmen-komitmen tersebut terhadap sah tidaknya transaksi pembuatan kartu-kartu kredit ini?

Ulama Fiqih kontemporer ketika membahas persoalan ini pandangan mereka terbagi menjadi dua kubu:

Pertama: Kubu yang membolehkan.
Mereka menganggap bahwa transaksi itu sah, namun komitmennya batal. Yakni apabila pihak nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk tidak terjerumus ke dalam konsekuensi menanggung akibat ko-mitmen tersebut. Karena syarat rusak ini pada dasarnya menurut kaca mata syariat sudah batal dengan sendirinya. Syarat ini munkar dan justru harus dilakukan kebalikannya. Dasar mereka yang membolehkan adalah sebagai berikut:

1. Sabda Nabi kepada Aisyah ketika Aisyah hendak membeli Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya kecuali dengan syarat, hak wala’ budak itu tetap milik mereka. Itu jelas syarat yang bertentangan dengan ajaran syariat, karena loya-litas atau perwalian menurut syariat diberikan kepada orang yang membebaskannya. Nabi bersabda kepada Aisyah, “Belilah budak itu, dan tetapkan syarat bagi mereka, karena perwalian itu hanya diberikan kepada yang memerdekakan. Karena perwalian itu adalah hak orang yang membebaskannya,”

Makna hadits: Janganlah pedulikan, karena persyaratan me-reka itu bertentangan dengan yang haq, ini bukan untuk pembo-lehan namun yang dimaksudkan adalah penghinaan dan tidak ambil peduli dengan syarat itu serta keberadaan syarat itu sama dengan tidak ada.

Dari sini dapat dipahami bahwa jika seseorang memaksakan suatu syarat yang bertentangan dengan syariat mengenai akad-akad yang diperlukan secara luas dan ia enggan untuk menetapkan akad tersebut kecuali berdasarkan syarat yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak boleh dihentikan karena pemaksaan itu.
Tidak boleh difatwakan mengenai ketidaklegalannya, tetapi tetap harus dilaksanakan. Dan harus diupayakan untuk membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara berusaha menjaga diri agar tidak terperangkap syarat tersebut bila pada satu masa tidak ada penguasa yang menegakkan syariat Allah.

2. Karena sudah terlalu banyak yang melakukannya di ber-bagai negeri dengan adanya transaksi pemakaian listrik, telepon dan lain sebagainya, yang kesemuanya menggunakan komitmen-komitmen yang sama, yaitu apabila pihak pelanggan terlambat membayar berarti harus dikenai denda tertentu. Namun ternyata tidak seorangpun ulama yang mengharamkan berlangganan fasi-litas-fasilitas tersebut, padahal syarat-syarat tersebut ada di dalamnya.

3. Pinjaman tidak begitu saja batal karena batalnya persya-ratan. Bahkan peminjaman itu tetap sah meskipun syaratnya batal, berdasarkan sabda Nabi : “Kenapa masih ada orang yang menetapkan syarat yang tidak berasal dari Kitabullah? Barangsiapa yang menetapkan syarat yang bukan berasal dari Kitabullah maka persyaratannya batal, meski jumlahnya seratus syarat.”

Kubu kedua, yakni yang melarangnya.
Mereka menganggap transaksi tersebut batal. Demikian pendapat tegas dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah.

Mereka membantah dalil yang digunakan oleh kubu per-tama, yakni tentang hadits Barirah, bahwa qiyas itu adalah qiyas dengan alasan berbeda. Karena dalam kasus Barirah syarat terse-but mampu dibatalkan oleh Aisyah karena dianggap berten-tangan dengan ajaran syariat. Karena kejadian itu terjadi ketika syariat Islam betul-betul masih menjadi panutan, Negara Islam masih menjadi pemelihara ajaran Islam dan masih memimpin dunia. Bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan syarat berbau riba dalam pengambilan kartu kredit yakni syarat yang bersandar pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan agama dengan negara, lalu mengingkari referensi Islam yang suci yang melibatkan agama dalam kehidupan manusia?

Mereka juga membantah qiyas dengan transaksi pemakai-an listrik dan telepon, karena fasilitas ini amatlah dibutuhkan dan kemaslahatan kehidupan umat manusia amat tergantung kepa-danya.

Sementara kartu kredit memiliki bobot vitalitas yang lebih rendah dari itu. Orang bisa saja hidup secara wajar atau cukup wajar tanpa menggunakan kartu-kartu itu. Namun ia tidak akan bisa hidup wajar tanpa menggunakan fasilitas listrik dan telepon misalnya.

Yang benar menurut kami bahwa hukumnya adalah boleh-boleh saja bagi orang yang berberatsangka bahwa ia akan mampu menunaikan hutangnya pada waktu yang diperkenankan, sehingga dengan demikian ia tidak akan terkena konsekuensi persyaratan itu, tentunya dengan mengupayakan segala cara yang bisa dilakukan untuk tujuan tersebut. Wallahu A’lam.

Kedua: Prosentase yang dipotong oleh pihak yang menge-luarkan kartu dari
bayaran untuk pedagang
Sudah dimaklumi, bahwa melalui kartu-kartu itu pihak yang mengeluarkan tidak membayar jumlah bayaran yang ditetapkan dalam rekening pembayaran. Namun pihak yang mengeluarkan kartu akan memotong prosentase yang disepakati bersama dalam transaksi yang tegas antara pihak itu dengan pihak pedagang. Apa pendudukan masalah secara syar’i yang paling tepat ber-kaitan dengan hal tersebut?

Ahli fiqih kontemporer berbeda pendapat dalam mengulas tentang jenis kartu tersebut:

Sebagian ada yang mendudukkan prosentase itu sebagai biaya administrasi, upah dari pengambilan pembayaran dari nasabah. Sementara mengambil upah dari usaha pengambilan hutang atau menyampaikan barang yang dihutangkan adalah boleh-boleh saja.

Sebagian ada yang mendudukkanya sebagai upah dari jasa yang diberikan oleh pihak bank kepada pihak pedagang, seperti pesan-pesan, iklan, dan bantuan penyaluran barang atau yang sejenisnya. Bisa juga didudukkan sebagai upah perantara. Karena pihak bank sudah membantu mencarikan pelanggan untuk pihak pedagang, sehingga layak mendapatkan upah karenanya.

Sebagian menganggapnya sebagai kompensasi perdamaian bersama pihak yang memberi hutang dengan jumlah yang lebih sedikit dari yang harus dibayar, karena hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pihak pemegang kartu di bawah sistem jaminan. Cara demikian dinyatakan boleh oleh kalangan Hanafiyah.

Sebagian ada juga yang berpandangan bahwa pengambilan prosentase itu tidak mengandung syubhat sebagai riba secara mendasar. Karena kita dihadapkan dengan persoalan rabat/discount, bukan tambahan harga. Sehingga tidak ada hal yang menyeretnya kepada bentuk riba.

Apapun pendudukan masalah yang dipilih di sini, peng-kajian fiqih kontemporer tetap berkesimpulan bahwa pengambilan prosentase keuntungan di sini tetap dibolehkan, dengan catatan harus dibatasi sehingga layak disebut sebagai upah jasa yang di-berikan kepada pihak pedagang dan tergambar langsung dalam rekening pembeliannya, dan juga agar dapat menarik para pelang-gan untuk membeli barang kepada pedagang tersebut, memper-mudah proses jual beli mereka, lalu pihak bank yang mengeluar-kan kartu itu dan pihak bank lain yang hanya melakukan transaksi dagang bisa membagi rata upah
dari pelayanan tersebut, karena mereka secara bersamaan melakukan jasa tersebut untuk kepentingan pedagang.

Lembaga Syariat Perusahaan Perbankan ar-Rajihi membo-lehkan uang administrasi ini dalam fatwanya nomor 47. lembaga ini menetapkan bahwa tidak ada larangan mengambil prosentase dari harga yang dibeli oleh pemegang kartu, selama prosentase itu dipotong dari upah jasa atau dari harga barang. Sistem pemo-tongan ini diambil dari pihak penjual untuk kepentingan bank yang mengeluarkan kartu dengan perusahaan visa internasional.

Lembaga syariat juga mengeluarkan fatwa yang membo-lehkan pengambilan prosentase keuntungan tersebut, fatwa itu ditujukan kepada Dewan Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yor-dania, dimana uang administrasi yang diambil pihak bank dari pedagang yang menggunakan fasilitas kartu itu dihitung sebagai upah penjaminan karena menjadi penjamin dan mediator antara pedagang dengan pemegang kartu kredit, dan juga karena mediasi itu pihak bank menjadi sebab terjadinya banyak hal, se-perti lakunya barang-barang yang dijualnya, rasa aman yang dirasakan para pelanggan, mendapatkan kesempatan memperoleh piutang dengan selamat. Sebagaimana jaminan itu terkadang juga tidak berpengaruh apa-apa. Karena uang administrasi itu tidak menambah jumlah  arga dan juga tidak memperhatikan jumlah harga yang dijaminnya.

Ketiga: Denda Keterlambatan dan Bunga Riba
Pihak yang mengeluarkan kartu ini menetapkan beberapa bentuk denda finansial karena keterlambatan penutupan hutang, karena penundaan atau karena tersendatnya  embayaran dana yang ditarik dari melalui kartu. Denda semacam itu termasuk riba yang jelas yang tidak pantas diperdebatkan lagi. Itu termasuk riba nasi’ah yang keharamannya langsung ditentukan melalui turun-nya ayat al-Qur’an. Bahkan para pelakunya diancam perang oleh Allah dan RasulNya!!.

Bagaimana Mengatasi Problematika Keterlambatan Pem-bayaran Hutang?
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bunga dan denda keterlambatan membayar hutang adalah jelas-jelas riba jahiliyah yang diharamkan. Tidak ada alasan bagi bank-bank Islam untuk menerapkannya sama sekali. Maka bagaimana persoalan keter-lambatan  pembayaran hutang itu bisa diatasi dalam bingkai ajaran Islam?

Ada sebagian alternatif untuk bunga-bunga riba dan denda-denda keterlambatan itu yang akan kami sebutkan sebagian di antaranya:

Memberikan kelonggaran kepada pihak yang berhutang, kalau ia adalah orang miskin yang kesulitan mengembalikan hutangnya. Membatalkan keanggotaannya, menarik kartu kredit-nya kemudian mengadukan persoalannya ke pengadilan, lalu melimpahkan kepadanya semua biaya kemelut tersebut. Bisa juga dengan menyebarkan nama pelanggan bersangkutan dalam daftar hitam (black list), diumumkan kepada seluruh bank agar tidak menerimanya sebagai anggota dan juga agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berperilaku sepertinya.

Bolehkah Membeli Emas Atau Perak dengan Kartu Kredit Tersebut?Emas dan perak hanya bisa dibeli dengan kontan, yakni dari tangan ke tangan. Penyerahan barang dan pembayaran secara langsung merupakan syarat sahnya jenis jual beli kedua barang ini, sebagaimana sabda Nabi : “Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”Lalu bolehkah membeli emas atau perak dengan kartu kredit?
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa serahterima langsung adalah penyerahan barang dari tangan ke tangan. Dan dalam sya-riat sendiri sifatnya mutlak, pembatasannya dikembalikan kepada kebiasaan yang ada. Lembaga Pengkajian Fiqih Islam telah me-ngeluarkan fatwa dibolehkannya membeli emas atau perak dengan menggunakan cek dengan syarat bahwa serahterimanya diselesaikan saat transaksi. Penyerahan cek itu disetarakan dengan penyerahan uang secara langsung ketika diserahkan kepada pihak bank yang bekerja sama dengan pedagang. Kalau pihak pedagang telah memegang cek tersebut, berarti serah terima barang dan pembayaran yang disyaratkan dalam jual beli kedua barang itu.
Dengan demikian kartu kredit yang bisa juga dijadikan pem-bayaran langsung sehingga bisa digunakan untuk membeli emas atau perak. Sementara alat tukar yang tidak bisa dijadikan pem-bayaran langsung, tidak bisa digunakan untuk membeli kedua barang itu.

Penukaran Uang dengan Kartu Kredit

Asal kartu kredit berfungsi sebagai kartu internasional, dan pemegangnya bisa menggunakannya di Negara manapun. Kalau ia menarik dananya dengan menggunakan mata uang asing yang berbeda nilainya dengan mata uang yang dijadikan alat transaksi dalam kalkulasi nanti, maka pihak yang mengeluarkan kartu akan menutupi biaya pengeluaran dengan mata uang asing itu, kemu-dian memperhitungkannya atas nasabahnya itu dengan mata uang lokal dengan menggunakan harga penukaran yang disepakati bersama. Namun bolehkah membayar hutang dengan menggunakan mata uang yang berbeda dengan mata uang yang dijadikan hutang?

Tidak diragukan lagi bahwa serahterima langsung meru-pakan syarat sahnya penukaran uang, berdasarkan sabda Nabi : “Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”

Penukaran uang di atas tanggungan (hutang) adalah boleh asal harganya dengan harga saat itu, bila kedua orang penukar berada di lokasi berbeda, dan tidak ada hutang piutang di antara mereka berdua. Yakni disyaratkan agar salah seorang di antara mereka tidak memiliki tanggungan terhadap yang lain.

Penukaran dengan cara ini terkadang dilakukan antara uang yang berada dalam kepemilikan namun tidak ada dalam lokasi transaksi, dengan uang yang ada di lokasi transaksi, atau bisa juga antara dua jenis mata uang yang sama-sama dalam kepemilikan dan tidak ada dalam lokasi transaksi. Kasus ini disebut penggun-tingan atau penukaran hutang. Pengguntingan ini hanya bisa dila-kukan pada sebagian kecil penukaran saja, sementara sisanya ditutupi mata uang lain, sehingga ketika berpisah sudah tidak ada hitung-hitungan lagi.

Dasarnya adalah hadits Ibnu Umar p yang menceritakan, “Kami pernah menjual unta di Naqie’. Kami menjualnya dengan uang emas, lalu mendapatkan bayaran dengan uang perak. Atau menjualnya dengan uang perak, dan mendapatkan bayaran dengan uang emas. Aku menanyakan hal itu kepada Rasulullah, beliau menjawab, “Boleh saja, asal dijual dengan harga hari itu juga, apabila kalian keluar dari transaksi tanpa ada apa-apa di antara kalian. ”

Dengan demikian boleh saja melakukan tansaksi dengan perbedaan mata uang ini, dengan catatan bahwa kalkulasinya dilakukan berdasarkan harga penukaran hari standar atau hari pengguntingan. Yakni hari pendebetan rekening yang dimiliki oleh pemegang kartu.
 

Uang Administrasi Penarikan Uang Tunai

Di antara jenis kartu kredit ada yang bisa digunakan untuk menarik uang tunai dari rekening bank bersangkutan. Biasanya pihak bank akan mengambil uang administrasi dari pengambilan uang tunai itu. Sejauh mana uang administrasi itu dibolehkan?

Para ulama fiqih kontemporer berbeda pendapat tentang hukum uang-uang administrasi semacam itu, berdasarkan perbe-daan jenis penarikan itu, apakan sekedar penarikan uang tunai dari rekening pemegang kartu saja, atau ada unsur pinjaman?

Di antara ulama ada yang berpandangan bahwa hukum uang-uang administrasi itu boleh, karena tidak lebih dari sekedar upah, imbalan dari pentransferan uang nasabah dari rekeningnya menuju berbagai lokasi dimana uang itu digunakan, yang tentu saja membutuhkan biaya operasional. Jadi kedudukannya adalah sebagai upah transfer uang dari satu negeri ke negeri lain. Hanya saja sistem transfer tersebut terbalik. Karena pihak bank yang mewakili pihak yang mengeluarkan kartu kredit itu terlebih dahulu membayarkan uang, kemudian baru memintanya dari pihak yang memegang kartu untuk merealisasikan syarat pembayaran langsung dalam penukaran mata uang ini. Jarak yang ada antara penye-rahan uang kontan dengan penutupan hutang tidaklah menjadi
tujuan dalam proses ini, juga bukan termasuk penentunya. Inilah pendapat yang akhirnya dipilih oleh Lembaga Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yordania.

Ada juga yang berpendapat bahwa uang administrasi dalam kasus ini haram hukumnya. Karena proses penarikannya bersifat hutang atau peminjaman dari pihak pemegang kartu, atau dari pihak bank yang mewakilinya. Maka uang yang diambil sebagai imbalannya termasuk riba yang diharamkan. Inilah pendapat yang diambil oleh bank ar-Rajihi.

Menurut kami yang paling benar adalah harus dibedakan antara dua kondisi berbeda:
Pertama: Kalau penukaran itu melalui penarikan dana langsung dari rekening nasabah, lalu diambil uang administrasi-nya, cara demikian disyariatkan. Demikian juga apabila pihak bank yang mengeluarkan kartu memiliki uang di bank yang mewakili sehingga bisa menutupi biaya dana yang ditarik ter-sebut.

Kedua: Ketika bentuknya adalah pinjaman. Maka imbalan yang diambil ketika itu adalah riba yang diharamkan. Demikian juga apabila rekeningnya adalah rekening bebas, atau dana yang ada tidak cukup untuk menutupi biaya yang ditarik, wallahu a’lam.

Tidak diragukan lagi bahwa keharaman dalam kasus ini berkaitan dengan hubungan antara pihak bank yang menge-luarkan kartu dengan bank yang mewakilinya. Adapun nasabah sendiri, kerjanya hanya menarik dana yang dititipkan pada pihak yang mengeluarkan kartu. Uang administrasi yang dia keluarkan adalah upah dari kesulitan yang dihadapi pihak yang menge-luarkan kartu, dengan upaya dan segala tanggungjawab berikut biaya yang juga harus dikeluarkan untuk tujuan itu. Pihak nasa-bah tidak memiliki kaitan dengan urusan antara pihak bank yang mengeluarkan kartu dengan bank yang mewakilinya.

16 Responses to “Hukum Kartu Kredit Dalam Islam”

  1. sebagai tambahan informasi seputar riba..
    silahkan mampir di sini:
    http://orido.wordpress.com/2006/11/17/hotd-syariah-dan-riba/

    semoga berguna..

  2. assalamualeik, alhamdulillah ternyata masih ada yang peduli terhadap kondisi ummat sekarang ini dengan amar ma’ruf nahi munkar

    Abu Al Maira :

    wa alaykum salam wa rahmatullah…
    Insya Allah ya akhii… Doakan semoga situs ini bermanfaat dan ilmu ana bertambah. Ana tidak menutup kritik, saran, tanggapan dan bantahan dari antum dan pembaca lainnya ya akhi….

  3. assalamu alaikum…
    mau konsultasi neh, saat ini saya lagi menyelesaikan skripsi saya, kebetulan judul yang sy ambil ttg kartu kredit syariah, tapi saya ragu, kira-kira referensi yang harus saya pakai apa ya pak, tolongin saya, karena saya cuma punya sedikit waktu dalam penyelesaian skripsi ini, jadi saya harap bapak mau menjawabnya segera, walaikum salam wr. wb!!

    Abu Al Maira :

    Wa alaykum salam warahmatullah…

    Topik yang anda ingin bawakan mengenai apa?

    Tentang system kartu kredit syariah atau tentang kehalalan/keharamannya dari sisi syariat ?

    Jika hanya tentang system kartu itu sendiri, maka anda bisa langsung konsultasi dengan bank nya [kalo gak salah danamon syariah].

    Jika anda ingin membahas tentang kehalalan/keharamannya, maka anda harus mepelajari tentang hukum riba dan pinjam-meminjam dalam syariat Islam, dan tentunya anda juga harus berkonsultasi [atau mencari pendapat] dengan ulama/ustadz mengenai hal ini.

    Kalau masalah referensi banyak, salah satunya mungkin Fiqh Ekonomi [kalo gak salah terbitan darul haq].

  4. melenceng sedikit dr topik,

    bgmn hukumnya menabung di bank konvensional,
    dg maksud diambil manfaat kemudahannya saja,
    spt ATM nya, internet banking nya dsb ,
    sedang bunga nya tidak pernah diambil dan atau
    di berikan ke pihak lain untuk kep umum ?

    terima kasih

    Abu Al Maira :

    Insya Allah boleh, selama anda bisa menjamin tidak mengambil bunga tabungannya. Bunganya jangan diambil, ada baiknya anda mencatat penerimaan-penerimaan bunga. Plus, jangan menjadikan pendapatan bunga sebagai pembayaran biaya administrasi bank. Anda membeli jasa bank untuk menyimpan uang anda, dan jasa2 lainnya. Jadi pengenaan biaya adalah harga yang anda harus bayar dikarenakan jasa bank yang anda beli.

    Jika mengambil bunga digunakan untuk kemasalahatan, saya pribadi cenderung mengikuti pendapat yang mengharamkan [tidak boleh mengambil bunga untuk digunakan pada kemasalahatan umat].

    Allahul muwaffiq

  5. assalamuaalaikum

    sedikit menanggapi tentang bolehnya nabung di bank konvensional tapi kita tidak mengambil bunga..
    klo menurut sy sih meskipun kita tidak mengambil bunganya tapi kita sudah ikut serta dalam memajukan industri ribawi. dana yg kita tabung kan jadi modal dia untuk menyalurkan kredit. lagipula bank syariah sudah banyak, Bank Muamalat bisa nabung di kantor pos. unit-unit syariah juga udah office chanelling..kenapa masih di bank konvensional?

    Abu Al Maira :

    Wa ‘alaykum salam warahmatullah…

    Menanggapi saran anda untuk menabung di bank2 syariah, itu memang hal yang diharapkan. Alangkah indahnya kalau seluruh umat Islam di Indonesia [ataupun] bersepakat meninggalkan bank2 ribawi dan beralih ke bank2 syariah, ditambah lagi bank2 syariah benar2 bisa menjalankan syariah muamalah secara total. Cuma yang perlu diingat, tidak semua orang dan tidak di semua tempat dengan mudahnya untuk menabung di BMI/bank syariah.

    Kalau masalah memajukan industri ribawi, gak bisa serta merta dikatakan demikian. Kita membeli jasa untuk menabung, kemudahan pembayaran, dll. Jadi kasusnya berbeda dengan tolong-menolong dalam kemaksiatan/kemunkaran.

  6. Assalamualaykum
    menanggapi tulisan dari saudara/i vici mengenai memajukan industri ribawi, menurut pendapat saya, itu kembali kpd kebijakan masing2, dalam hal ini adalah kita sebagai nasabah dan bank sebagai penyedia sistemnya, bila dianggap bhw kita sudah ikut serta dalam memajukan industri ribawi adalah tidak sepenuhnya benar, karena apabila ingin sepenuhnya utk tidak ikut campur dalam industri ribawi opsi yg dipilih adalah tidak menabung di bank konvesional tersebut, tetapi lebih karena pertimbangan kondisi, maka mau tak mau kita pun ikut terlibat dalam industri ini, jadi tergantung kebijakan masing2 dalam menyikapi masalah riba, bagi kita yg menolak sistem riba, yg kita manfaatkan adalah sistem penyimpanan uang serta wajib membayar biaya sistemnya, mengenai riba, itu adalah “kebijakan” bank konve dalam menjalankan perputaran usahanya, apabila ada dana kita yg dibank tercampur didalam industri ribawi, maka itu adalah tanggung jawab dari bank konve itu sendiri yg bertanggung jawab sebagi pihak yg kita percayakan utk bertanggung jawab menyimpan dana kita.

    dipandang dari sistem jaringan, bank konvensional lebih unggul dibanding bank syariah, membuktikan bahwa sistem pd bank konve saat ini lebih mendukung perputaran roda ekonomi dari pada bank syariah, jd itulah kondisi yg menyebabkan kita terpaksa terlibat dalam industri ribawi meskipun kita menolak riba.

    Abu Al Maira :
    Wa alaykum salam warahmatullah

    Kalau saya lebih melihatnya bahwa umat tidak tanggap [menyepelekan perkara riba] tentang hal ini. Jika saya dan keluarga, anda dan keluarga, dan umat muslim lainnya bersepakat untuk meninggalkan riba, tidak menabung di bank ribawi, bisa kita bayangkan pertumbuhan ekonomi yang digerakkan bank syariah.

    solusi beralih kepada bank syariah juga tidak sepenuhnya baik, karena pada kondisi sebenarnya, banyak bank konve beralih strategi membentuk bank syariah semisal syariah mandiri atau BNI syariah dgn menggunakan modal awal yg diperoleh dari perputaran keuntungan dalam industri ribawi. salah satu opsi lain adalah beralih kepada bank muamalat, namun itupun tak sepenuhnya aman, karena berdasarkan kondisi lapangan, terdapat sistem yg disinyalir bersifat judi, yaitu pada sistem perkreditan rumah yg menggunakan sistem menebak harga rumah/tanah dalam jangka waktu beberapa tahun kedepan.
    jadi semuanya kembali pada kebijakan masing2 dalam memandang kondisi sekarang ini, pilihlah cara yg paling banyak manfaatnya dan paling sedikit mudaratnya demi keselamatan kita dunia dan akhirat kelak
    namun tetap yg paling diharap dan didambakan adalah, adanya sistem yg benar2 syar’i dalam menjalankan roda perekonomian bagi kepentingan umat.
    Wallahu’alam

    Abu Al Maira :
    Saya pernah membaca topik mengenai bank syariah yang dibentuk oleh bank2 ribawi [modalnya milik bank2 ribawi], sepengetahuan saya, hal ini tidak menjadi masalah atau tidak serta menjadi haram juga. Insya Allah nanti saya akan postingkan mengenai hal ini.

    Mengenai keadaan di lapangan dari Bank Muamalat, saya belum menemukan bukti-bukti yang bisa menunjukkan bahwa systemnya melanggar syariat [saya khawatir informasi yang kita dapatkan tidak dapat dipertanggungjawabkan]. Jika anda mengatakan dengan cara menebak harga rumah dalam jangka waktu kedepan, saya belum bisa menangkap kenapa hal ini dipermasalahkan [paling tidak anda mengatakan ini menjadi masalah] secara syariat.

    Mungkin pak Dimas bisa menjelaskan dan kita diskusikan untuk menambah khazanah.

    Allahu ‘alam wallahul muwaffiq

  7. Assalamualaykum
    kpd Abu Al Maira, mungkin ada perbedaan pandangan antara kita dalam masalah ini, bila dipandang dari berdirinya sebuah bank, dlm hal ini saya perjelas konteksnya pada bank2 syariah semisal syariah mandiri atau bni syariah dll yaitu bank syariah yg berasal dari bank konvesional, maka yg harus kita telaah pertama kali adalah dari mana asal modal utk berdirinya bank syariah versi bank konve itu berasal? telah kita ketahui secara umum bhw modal usaha yg digunakan oleh bank syariah versi bank konvensional utk membayar segala biaya utk berputarnya kinerja sebuah badan usaha termasuk didalamnya utk menutupi kerugian operasional pd awal usaha bank syariah adalah dari suntikan dana dari bank konvensional, penyuntikan dana ini merupakan hal yg lumrah dlm pembentukan badan usaha (kecuali bisa dibuktikan, bhw modal awal bank syariah ini diperoleh tidak dari bank konvesional, dan apabila itu terjadi, akan timbul pertanyaan, utk apa bank syariat tsb memasang nama bank konve di depan atau belakang kalimat syariah, bila tidak ada kepentingan bank konve tsb pd usaha bank syariah), termasuk badan usaha keuangan seperti bank syariah yg ditawarkan oleh bank konvensional ini, yg patut diwaspadai adalah, darimana asal modal suntikan bank konvensional utk bank syariah tsb, utk menemukan jawabannya, kita harus kembali kpd sistem yg menggerakkan roda usaha bank konvensional, dimana sepanjang sejarah perbankan konvensional, salah satu hal yg paling besar dlm memberikan kontribusi kepada bank dalam memberikan keuntungan adalah dari riba, keuntungan riba inilah yg digunakan oleh pihak bank utk menerapkan sistem perkreditan utk memutar modalnya agar keuntungannya semakin banyak, selain itu, bank konvensional pun mengambil keuntungan dari naik turunnya nilai mata uang, oleh karena itu, utk kepentingan dan keuntungannya, bank konvesional pun ikut terlibat aktif didalam kegiatan seperti pasar bursa efek/ valas semisal BEJ atau forex, dari sini bisa disimpulkan, apakah modal yg digunakan bank syariah telah bersih dan terbebas dari kotornya riba yg dilakukan oleh bank konvensional yg menyuntikkan dananya tsb? sangat diharapkan bhw ternyata memang modal awal yg diproleh bank syariah tsb memang terbebas dari hasil riba, namun apabila tidak? apakah perputaran roda usaha bank yg menyandang kata “syariah” itu telah berjalan sesuai dgn syariat? mengenai masalah riba atau haram, saya rasa kita sama2 tahu bagaimana posisinya didalam syariat Islam.

    saya harap semoga anda bisa berbagi dgn saya secara ilmiah dan terperinci berlandaskan syariat Islam tentunya, bahwa, sesuai dgn sepengetahuan anda, bahwa hal ini tidak menjadi masalah atau tidak serta menjadi haram juga.

    Abu Al Maira :

    Wasalamu ‘alaykum warahmatullah…
    Kita atau tepatnya saya, dalam kondisi benar-benar tidak bisa mencari tahu secara jelas ataupun memegang bukti2 yang kuat bahwa modal yang dibentuk untuk bank syariah [BNI & Mandiri] 100% haram karena berasal dari riba. Dan saya juga tidak bisa memastikan bahwa 100% halal. Tapi pada intinya, hal ini baru pada taraf praduga. Andaikan pun memang benar adanya modalnya haram, saya masih berpemahaman, selama bisnisnya tidak melanggar syari’at, maka sah2 saja.
    Jika anda memperkirakan hal seperti itu, bagaimana halnya pemuda/pemudi yang berzina dan hamil kemudian mereka menikah. Apakah nikahnya haram ? [koreksi jika saya salah]
    Lain halnya, jika saya mencuri uang dan anda benar2 tahu saya usai mencuri, lalu uang tsb saya berikan kepada anda untuk modal usaha.
    Sama juga halnya dengan gaji PNS, dibiayai oleh pajak. Tapi pajak itu sendiri tercampur dengan pendapatan negara yang lainnya. Dan kitapun tidak mengetahui pasti apakah gaji yang kita terima berasal dari perdagangan negara atau dari pajak.

    mengenai kasus bank muamalat, yg saya permasalahkan adalah, penggunaan sistem pembayaran kredit berdasarkan kurs mata uang yg mempengaruhi nilai rumah/ tanah yg dikreditkan, semisal begini, ketika saya hendak membeli rumah secara kredit dan butuh uang pinjaman dlm skala besar, kemudian saya melakukan pinjaman dgn bank muamalat, maka sistem yg diterapkan adalah, pihak bank akan menebak berapa harga rumah yg akan dikredit oleh saya hingga tahun sekian sesuai dgn jangka waktu saya mengkredit rumah tsb dgn cara menganalisa berapa harganya pada tahun tsb disesuaikan dgn kurs mata uang yg akan berlaku masa itu, setelah itu saya pun berkewajiban utk membayar kredit tsb kpd bank, dimana ada dua kondisi yg memungkinkan akan terjadi, 1. bahwa ternyata analisanya sesuai dgn apa yg diperkirakan bank, 2. bahwa ternyata analisanya meleset tidak sesuai dgn perkiraan bank, dalam kondisi kedua ini menciptakan dua buah kondisi lagi dimana yg pertama, bank mengalami rugi karena ternyata nilai rumah yg dikreditkan ternyata lebih tinggi dari perkiraan bank, dan yg kedua, saya mengalami rugi karena ternyata nilai rumah yg dikreditkan ternyata lebih rendah dari perkiraan bank.
    dalam pandangan saya, sistem ini terlihat seperti gambling karena tidak ada jaminan bagaimana kondisi kedepannya namun telah menetapkan kepastian (dalam hal ini adalah berapa besar jumlah uang yg harus saya bayar ke bank).
    demikianlah analisa dari saya, namun tidak menutup kemungkinan bhw sistem seperti ini sudah tak diterapkan lagi oleh bank muamalat,Wallahu’alam.
    mohon maaf bila ada salah kata, yg salah sepenuhnya dari saya, dan yg benar adalah milik Allah semata
    Wassalamualaykum Warahmatullahi Wabarakatuh

    Abu Al Maira :
    Ada baiknya anda membaca postingan saya mengenai jual-beli dengan penambahan harga. Kalau kasus yang anda ceritakan lebih mendekati ke perkara financing/pembiayaan, yang jelas-jelas riba [dilihat dari kasus yang anda ceritakan]

  8. Assalamualaykum Warahmatullahi Wabarakatuh

    kpd saudaraku Abu Al Maira, makanya pada akhir komentar saya yg pertama saya menyebutkan bahwa:

    “…semuanya kembali pada kebijakan masing2 dalam memandang kondisi sekarang ini, pilihlah cara yg paling banyak manfaatnya dan paling sedikit mudaratnya demi keselamatan kita dunia dan akhirat kelak.”

    dan pengandaian saudara atas kasus ini dgn pemuda/pemudi yang berzina dan hamil kemudian mereka menikah saya rasa kurang tepat, karena sebatas pengetahuan saya, dalam kasus hamil diluar nikah, islam melarang kedua pemuda/pemudi tsb menikah sepanjang masa kehamilannya, namun dibolehkan menikah setelah melahirkan, yg artinya ada kejelasan masa haram dan ada masa halalnya. Lebih mendekati pengandaian antum terhadap kasus ini dengan gaji PNS, namun bila dibahas lebih jauh, diskusi ini akan bisa melenceng dari topik yg sebenarnya hingga ke ruang lingkup yg lebih besar yaitu sistem pemerintahan dan sistem kenegaraan, pada intinya, semuanya harus kembali kepada sistem yg dijalankan, dan kita sebagai muslim telah diberi kemudahan dgn diwariskan sistem syariat Islam, tinggal kita nya mau memilih sitem yg mana, yg dari Allah kah? atau buatan manusia? semuanya tergantung kebijakan masing2. Wallahu’alam

    Assalamualaykum Warahmatullahi Wabarakatuh

    Abu Al Maira :

    Wa alaykum salam warahmatullah wabarakatuh…

    Akhana Dimas… Terima kasih atas masukan antum… Ana setuju dengan antum, sesuai dengan qaidah, menghilangkan mudharat lebih utama daripada pengambilan manfaat…

    Maaf atas segala keterbatasan pengetahuan dan pemahaman ana, sehingga terjadi ketidaksepahaman dengan antum.

    Pengandaian yang ana maksud, memang tidak bisa serta merta dikiaskan dengan kasus yang sedang kita bahas. Butuh sedikit ketelitian dan kejernihan untuk membahas topik yang anda ceritakan.

    Ana pernah membaca [tapi maaf, ana terlupa, insya Allah kalau ketemu akan ana sampaikan] bahwa ada ulama yang memfatwakan diperbolehkannya bank syariah yang model pembentukan permodalan seperti yang antum ceritakan.

    OOT: masalah nikah karena karena hamil diluar nikah, masih terjadi khilaf di kalangan ulama, ada yang membolehkan ada yang mengharamkan. Begitu juga masalah gaji PNS, sama juga dengan topik yang antum bawakan, masih terjadi khilaf yang besar dari para ulama.

    Ana juga pernah konsultasi dengan Ustadz dari Humas Institusi syariah [membahas seperti topik yang antum bawakan], intinya beliau mengatakan :

    Kaidah mengatakan, “Ma Laa Yudraku Kulluhu, Laa Yutraku Kulluhu” (sesuatu yang tidak bisa diterapkan secara sempurna, maka jangan juga ditinggalkan secara sempurna). Secara bertahap kita harus mengaplikasikan, sesuai dengan kemapuan kita. Mudah-mudahan ke depan keadaaan akan lebih baik lagi.

    Wasalamu ‘alaykum warahmatullah wabarakatuh…

  9. Assalamualaykum Warahmatullahi Wabarakatuh

    terima kasih akhi abu atas diskusinya, semoga menambah cakrawala pengetahuan dan memperkuat kita utk istiqomah dalam menjalani syariat Allah, Amiin

    Waalaykumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh

    Abu Al Maira :

    Wa ‘alaykum salam warahmatullah wabarakatuh..

    Sama-sama akhi… Insya Allah, Allah memudahkan kita dalam belajar dan menjalankan syariat… Amin…

    Wasalamu ‘alaykum warahmatullah wabarakatuh..

    NB : Oh ya… Ana post fatwa mengenai bermuamalah dengan institusi syariah yang dibentuk oleh institusi ribawi…

  10. Assalamu’alaikum.
    bagaimana hukum mengambil kredit uang di bank BPD syariah, pembayaran dgn pemotongan gaji ( PNS ) tiap bulan. tujuan untuk membangun rumah.
    trimakasih. wassalamu’alaikum.

    Abu al Maira :

    Alaikumussalam warahmatullah…
    Ya lihat2 juga system syariah pak…. Apakah benar2 sesuai syariat, atau hanya cuma nama doang….

  11. bolehkah saya kutip tulisan ini?

    Abu al Maira :

    Silahkan

  12. Assalamu’alaikum wr. wb …………. , saya salah satu pemegang kartu kredit, kartu kredit yg saya gunakan kira ada 10 kartu, mula2nya saya lancar membayar, lalu kesini saya hanya dapat membayar kira2 1/4 dari total nilai hutang saya, yg membuat saya kesal, setiap biling bulan berikutnya datang, kok hutang saya tetep aja, berkurang tapi sangat sedikit, akibatnya hutang saya terus2an ada alias tidak lunas2 dan malah membesar …, akhirnya saya cape juga dan saya berfikir untuk tidah membayar sama sekali hutang tersebut, dan saya mau membayar klo pihak bank mau memberikan kebijaksanaan keringan dibayar tanpa bunga dan denda serta dicicil menurut kemampuan saya …. yg jadi masalah apakah tindakan saya ini salah dalam hukum islam ? sebelumnya saya ucapkan Jazakalllahu khoirn ………..

    Abu al Maira :

    ‘Alaikumussalaam warahmatullah

    Coba saja dinego dengan pihak bank… Katakan anda hanya sanggup membayar pokoknya saja…

  13. aslm,
    diluar bahasan anda bagaimana dengan hukum atm yg ada. sedangkan sudah jelas bahwa di dalam kartu atm ada sisi gharar serta ijab qobul nya dianggap tidak sah? mhon tnggapannya

    Abu al Maira :

    Dari sisi mana anda bisa mengatakan bahwa ATM mengandung gharar seta ijab qabul yg tidak sah ?

  14. Assalamu’alaikum.
    Ustadz, saya merupakan nasabah bank konvensional. Dari awal saya membuka rekening tidak ada niat sedikitpun untuk menikmati/memakai bunga/hasil riba. Permasalahanya, bagaimana cara memisahkan hasil riba/bunga tersebut? Karena sudah bertahun2 dan tercampur dengan saldo di rekening tabungan saya. Dan untuk meminta pihak bank memilah nya (print-out bunga nya saja) rasanya juga tidak mungkin.
    Terimakasih.

    ‘alaikumussalaam
    Apa yang bisa anda pisahkan antara pokok dengan bunganya maka pisahkan… Apa yang tidak bisa anda pisahkan, maka semoga Allah memaafkan karena pada dasarnya niat anda sama sekali tidak ingin menikmati bunga riba tersebut…
    Namun ulama berbeda pendapat mengenai bunga yang menumpuk pada tabungan, apakah diambil kemudian disalurkan kepada hal-hal yang bermanfaat seperti untuk perbaikan jalan atau didiamkan saja terus menumpuk di tabungan.
    Kalau saya pribadi saat ini mengikuti pendapat bolehnya memanfaatkan bunga bank untuk hal-hal kemasalahatan ummat seperti perbaikan jalan, atau diberikan kepada fakir miskin. Tapi jangan diinfaqkan ke Masjid. Salah satu alasannya, jika bunga bank menumpuk di tabungan kita maka suatu saat kita akan terpancing untuk menggunakannya untuk diri kita pribadi.

Trackbacks

Tinggalkan komentar