Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Membaca Al-Qur’an di atas kuburan merupakan perbuatan bid’ah yang tidak berdasar sama sekali baik dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum. Maka tidak selayaknya bagi kita untuk mengada-ngadakannya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu riwayat menyebutkan.“Artinya : Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah merupakan kesesatan” [Muslim no 867, dalam kitab Jum’ah Bab “Memendekan Shalat dan Khutbah] An-Nasa’i menambahkan.“Artinya : Dan setiap kesesatan berada dalam neraka”[ Potongan hadits yang diriwayatkan An-Nasa’i no. 1577, kitab Khutbah bab Tatacara Khutbah dari hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu]
Maka merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk mengikuti para sahabat terdahulu dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, sehingga mendapatkan petunjuk dan kebaikan, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam“[ Muslim no. 867, 43, dalam, Kitab Jum’ah, bab Memendekan Shalat dan Khutbah]
Mendoakan mayat di kuburnya tidak mengapa semisal berdiri di samping kubur dan mendoakan ahli kubur dengan doa yang mudah baginya, seperti.“Artinya : Ya Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, Ya Allah, jagalah dia dari api neraka. Ya Allah, masukanlah dia dalam surga, Ya Allah, berilah kelapangan baginya di kuburnya”Dan doa-doa sejenisnya.Adapun seoorang berdoa di atas kuburan untuk mendoakan dirinya sendiri, maka perbuatan ini termasuk bid’ah, karena suatu tempat tidak boleh dikhususkan untuk berdo’a kecuali beberapa tempat yang telah disebutkan oleh nash.Apabila tidak ada nash dan sunnah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mengkhususkan suatu tempat di mana pun juga untuk berdo’a bila tidak ada nash yang membolehkannya maka perbuatan tersebut termasuk bid’ah“.
Mengenai puasa untuk orang yang meninggal, shalat untuknya, membaca Al-Qur’an baginya dan sejenisnya, sesungguhnya ada empat macam ibadah yang manfaatnya bisa sampai kepada orang yang telah meninggal, menurut ijma’ ulama, yaitu : Do’a, kewajiban yang bisa diwakilkan, sedekah dan membebaskan budak.
Adapun selain empat hal tersebut di atas, para ulama berbeda pendapat mengenainya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa amal shalih yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal tidak bisa bermanfaat baginya selain empat hal tersebut. Namun yang benar adalah bahwa setiap amal shalih yang diperuntukkan bagi orang yang meninggal bisa bermanfaat baginya, jika yang meninggal adalah orang mukmin. Akan tetapi kami tidak sependapat bahwa menghadiahkan suatu ibadah kepada orang yang meninggal merupakan perkara-perkata syar’i yang dituntun dari setiap orang. Justru kita katakana bahwa jika seseorang menghadiahkan pahala dari suatu amalanya, atau meniatkan bahwa pahala dari amalnya diperuntukkan bagi seorang mukmin yang telah meninggal, maka hal tersebut bisa bermanfaat bagi orang yang diberi, akan tetapi perbuatan itu tidak dituntutkan darinya atau tidak disunnahkan baginya.
Dalil hal tersebut, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengarahkan umatnya kepada perbuatan ini. Justru hadits shahih yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menyebutkan.
“Artinya : Jika seseorang meninggal, maka amal perbuatannya terputus kecuali dari tiga perkara ; sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih yang mendo’akannya“[ Diriwayatkan oleh Muslim no. 1631, dalam kitab Washiyah, bab Pahala yang Sampai Kepada Mayat Setelah Kematiannya]
Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan :
“Anak shalih yang mengerjakan amal untuknya atau mengerjakan ibadah puasa, shalat atau yang lainnya untuknya”. Ini mengisyaratkan bahwa seyogyanya dilakukan dan disyariatkan adalah do’a untuk orang yang sudah meninggal, bukan menghadiahkan suatu ibadah kepada mereka. Setiap orang di dunia ini membutuhkan suatu amal shalih, maka hendaknya ia menjadikan amal shalihnya untuk dirinya sendiri, dan memperbanyak do’a bagi orang yang telah meninggal, karena yang demikian inilah yang baik dan merupakan cara para Salafus Shalih Rahimahullah.
[Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, Nur ‘Alad Darbi, Juz I, I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah]
[Disalin dari kitab Bida’u An-Naasi Fii Al-Qur’ani edisi Indonesia Penyimpangan Terhadap Al-Qur’an oleh Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Penerbit Darul Haq]
Membacakan Al-fatihah atas orang yang telah meninggal tidak saya dapatkan adanya nash hadits yang membolehkannya. Berdasarkan hal tersebut maka tidak diperbolehkan membacakan Al-Fatihah atas orang yang sudah meninggal. Karena pada dasarnya suatu ibadah itu tidak boleh dikerjakan hingga ada suatu dalil yang menunjukkan disyari’atkannya ibadah tersebut dan bahwa perbuatan itu termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalilnya adalah bahwasanya Allah mengingkari orang yang membuat syari’at dan ketentuan dalam agama Allah yang tidak dizinkanNya.
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah. Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih” [Asy-Sura : 21]
“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak”
Apabila tertolak maka termasuk perbuatan batil yang tidak ada manfaatnya. Allah berlepas dari ibadah untuk mendekatkan diri kepadaNya dengan cara demikian.
Adapun mengupah orang untuk membacakan Al-Qur’an kemudian pahalanya diberikan untuk orang yang telah meninggal termasuk perbuatan haram dan tidak diperbolehkan mengambil upah atas bacaan yang dikerjakan. Barangsiapa mengambil upah atas bacaan yang dilakukannya maka ia telah berdosa dan tidak ada pahala baginya, karena membaca Al-Qur’an termasuk ibadah, dan suatu ibadah tidak boleh dipergunakan sebagai wasilah untuk mendapatkan tujuan duniawi.
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan” [Huud : 15]
[Nur ‘Alad Darbi, Juz I, I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah]
Do’a ibadah, contohnya shalat, shaum dan ibadah-ibadah yang lain. Jika seseorang shalat atau shaum maka dia telah berdo’a kepada Rabbnya dengan lisanul hal agar Dia mengampuninya, menyelamatkannya dari adzabNya dan memberinya balasan. Yang menunjukkan hal itu adalah firmanNya “Dan Tuhanmu berfirman : “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” [Al-Mukmin : 60]Jadi dia telah menjadikan do’a sebagai ibadah, maka barangsiapa memberikan sesuatu dari urusan ibadah kepada selain Allah, sungguh dia telah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari millah. Kalau seandainya seseorang ruku’ atau sujud kepada sesutu yang dia agungkan seperti pengangungannya kepada selain Allah dalam ruku dan sujud ini, niscaya dia menjadi orang musyrik yang keluar dari Islam. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membungkukkan badan ketika bertemu sebagai tindakan preventif dan syirik. Beliau ditanya tentang seseorang yang bertemu dengan saudaranya, apakah dia boleh membungkukkan badan kepadanya, beliau menjawab : “Tidak”. Yang dikerjakan sebagian orang yang bodoh jika mengucapkan salam kepadamu dengan membungkukkan badannya kepadamu adalah salah, kamu wajib menerangkan kepadanya dan melarangnya hal itu.
Kedua.
Doa masalah (permintaan), dan ini tidak semuanya syirik, namun ada perinciannya.
[1]. Jika yang diseru itu hidup lagi mampu atas hal itu (memenuhi permintaan) maka itu bukan syirik, seperti ucapanmu : “Berikanlah aku minum”, kamu ucapkan kepada
oran yang mampu akan hal itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
“Artinya : Barangsiapa menyeru kalian maka penuhilah dia”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik” [An-Nisa : 8]
Jika orang fakir mengulurkan tangannya dan berkata : “Berilah saya”, maka hal itu boleh
[2]. Jika yang diseur itu mati maka seruan (do’a) kepadanya adalah syirik yang mengeluarkan dari millah.
Sayang sekali, di sebagian negeri Islam ada orang yang berkeyakinan bahwa si Fulan yang dikubur yang tinggal bangkainya atau telah dimakan tanah, bisa memberi manfaat atau mudharat, atau memberikan keturunan bagi orang yang tidak mempunyai anak. Hal seperti ini –wal’iyadz billah- adalah syirik akbar yang mengeluarkan dari millah. Mengakui hal seperti ini lebih besar (dosanya) dari pada mengakui minum khamer, zina dan liwath, karena ini pengakuan terhadap kekufuran, bukan sekedar pengakuan terhadap kefasikan saja. Kami mohon kepada Allah agar memperbaiki kondisi kaum muslimin.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, Edisi Indonesia Majmu’ Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Membacakan
surat Al-Fatihah untuk kedua orang tua yang telah meninggal atau yang lain merupakan perbuatan bid’ah karena tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya Al-Fatihah boleh dibacakan untuk orang yang meninggal atau arwah mereka, baik itu orang tuanya atau orang lain. Yang disyariatkan adalah mendo’akan bagi kedua orang tua dalam shalat dan sesudahnya, memohonkan ampunan dan maghfirah bagi keduanya dan sejenisnya yang termasuk doa yang bisa bermanfaat bagi yang sudah meninggal.
[Nur ‘Alad Darbi, Juz III, I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah]
Mengupah seorang qari’ untuk membacakan Al-Qur’an bagi orang yang telah meninggal termasuk bid’ah dan makan harta manusia dengan tidak benar. Karena bila seorang qari’ membacakan Al-Qur’an dengan tujuan untuk mendapatkan upah atas bacaannya, maka perbuatannya termasuk kebatilan, karena ia menginginkan harta dan kehidupan dunia dari perbuatannya tersebut.
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [Huud : 15-16]
Perkara ibadah -termasuk membaca Al-Qur’an- tidak boleh dilakukan dengan tujuan duniawi dan mencari harta, akan tetapi harus dilakukan dengan tujuan untuk medekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seorang qari’ yang membaca Al-Qur’an dengan diupah, maka tiada pahala baginya, dan bacaannya tidak akan sampai kepada orang yang telah meninggal. Harta yang dikeluarkan merupakan harta yang sia-sia, tidak bermanfaat. Kalaulah harta itu digunakan untuk suatu sedekah atas nama orang yang meninggal, sebagai ganti dari mengupah seorang qari’, maka inilah perbuatan yang disyariatkan dan bisa mendatangkan suatu manfaat bagi orang yang telah meninggal.
Maka menjadi kewajiban bagi para qari untuk mengembalikan harta yang telah mereka perolah dari manusia sebagai upah atas bacaan yang mereka lakukan atas orang yang telah meninggal, karena menggunakan harta tersebut tergolong makan harta manusia dengan cara tidak benar. Dan hendaknya mereka takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon kepadanya untuk memberikan rizki kepada mereka dengan cara selain cara yang haram tersebut.
Bagi setiap muslim hendaknya tidak makan harta manusia dengan cara yang tidak disyariatkan sedemikian ini. Benar bahwa membaca Al-Qur’an termasuk salah satu ibadah yang utama, barangsiapa membaca satu haruf dari Al-Qur’an maka akan mendapatkan suatu kebaikan, dan suatu kebaikan mendapatkan balasan sepuluh kali lipat. Tapi itu bagi orang yang niatnya benar dan hanya menginginkan keridhaan Allah semata serta tidak menginginkan suatu tujuan duniawi.
Mengupah seorang qari untuk membacakan Al-Qur’an bagi orang yang telah meninggal : Pertama : Termasuk perbuatan bid’ah, karena tidak ada dari para salaf shalih yang melakukannya. Kedua : Bahwa perbuatannya termasuk memakan harta manusia dengan cara tidak benar, karena suatu ibadah dan ketaatan tidak boleh mengambil upah karenanya.
[Nur ‘Alad Darbi, Juz III, I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah][Disalin dari kitab 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-Qur’an, Penulis Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerjemah Ahmad Amin Sjihab, Penerbit Darul Haq]
Keterangan Tambahan, baca disini