Archive for April 19th, 2007

April 19, 2007

Kehalalan Juice Dalam Islam


Hanya ada satu kelompok minuman saja yang diharamkan, yaitu khamar. Yang dimaksud dengan khamar yaitu minuman yang memabukkan seperti penjelasan Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari Abdullah bin Umar: setiap yang memabukkan adalah khamar (termasuk khamar) dan setiap khamar adalah diharamkan. Dari segi bahan pembuatnya, ada perbedaan pendapat, ada yang mengharamkan khamar yang berasal dari anggur saja. Akan tetapi, penulis menyetujui pendapat yang mengharamkan semua minuman yang bersifat memabukkan, tidak perlu dilihat lagi asal dan jenis bahannya, hal ini didasarkan atas kajian hadis-hadis yang berkenaan dengan itu, juga pendapat para ulama terdahulu. Mengenai sifat memabukkan sendiri dijelaskan lebih rinci lagi oleh Umar bin Khattab seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut: Kemudian daripada itu, wahai manusia! Sesungguhnya telah diturunkan hukum yang mengharamkan khamar. Ia terbuat dari salah satu
lima unsur: anggur, korma, madu, jagung dan gandunm. Khamar itu adalah sesuatu yang mengacaukan akal.
 

Jadi sifat mengacaukan akal itulah yang dijadikan patokan. Sifat mengacaukan akal itu yaitu membuat orang menjadi tidak mengerti lagi apa yang diucapkan seperti dapat dilihat pada
surat An-Nisa:43: Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. Dengan demikian berdasarkan ilmu pengetahuan dapat diartikan bahwa sifat memabukkan tersebut yaitu suatu sifat dari suatu bahan yang menyerang saraf yang mengakibatkan ingatan kita terganggu jika kita mengkonsumsinya.
 Keharaman khamar ditegaskan dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 90-91: Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menumbuhkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu mengerjakan perbuatan itu. 

Dengan berpegang pada definisi yang sangat jelas tersebut diatas maka kelompok minuman yang disebut dengan minuman keras atau minuman beralkohol (alcoholic beverages) termasuk khamar karena bersifat memabukkan. Sayangnya, banyak orang mengasosiasikan minuman keras ini dengan alkohol saja sehingga yang diharamkan berkembang menjadi alkohol (etanol), padahal alkohol (etanol) bukan minuman dan tidak ada yang sanggup meminum etanol dalam bentuk murni karena akan menyebabkan kematian. Itu sebabnya dalam muzakarah Nasional mengenai alkohol dalam minuman pada tahun 1993 yang diselenggarakan oleh MUI dirumuskan bahwa yang diharamkan adalah minuman beralkohol atau minuman keras, bukan alkoholnya yang haram. Akan tetapi, jika suatu minuman masuk ke dalam kategori minuman beralkohol maka berapapun kadar alkoholnya tetap minuman beralkohol tersebut statusnya haram.  Yang juga harus diperhatikan adalah jus yang dapat berubah menjadi khamar karena mengalami proses fermentasi alkohol secara tidak sengaja (spontan). Hal ini didasarkan atas hadis-hadis berikut:

  1.  Minumlah itu (juice) selagi ia belum keras. Sahabat-sahabat bertanya: Berapa lama ia menjadi keras? Ia menjadi keras dalam tiga hari, jawab Nabi. (Hadis Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Umar).
  2. Bahwa Ibnu Abbas pernah membuat juice untuk Nabi saw. Nabi meminumnya pada hari itu, besok dan lusanya hingga sore hari ketiga. Setelah itu Nabi menyuruh khadam menumpahkan atau memusnahkannya. (Hadis Muslim berasal dari Abdullah bin Abbas).
  3. Buatlah minuman anggur! Tetapi ingat, setiap yang memabukkan adalah haram (Hadis tercantum dalam kitab Fiqih Sunah karangan Sayid Sabiq). 

Dengan demikian, jus yang diperam (disimpan) pada suhu kamar pada kondisi terbuka lebih dari 2 hari akan berubah menjadi khamar sehingga haram diminum. Hal ini ditegaskan pula oleh hadis Abu Hurairah yang diakui oleh Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah dimana Abu Hurairah menceritakan bahwa dia mengetahui Nabi berpuasa pada suatu hari. Menjelang berbuka dia mempersiapkan untuk Nabi perasan anggur yang diletakkannya dalam suatu bejana/tempat yang terbuat dari kulit. Tiba-tiba minuman itu mendidih (menghasilkan gas/gelembung) dan karenanya Nabi bersabda: Buanglah minuman keras ini. Ini adalah minuman orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Terbentuknya gas/gelembung pada jus yang disimpan pada suhu ruang dan terbuka adalah ciri-ciri terjadinya fermentasi alkohol dan ini biasanya terjadi setelah jus disimpan pada suhu ruang dan terbuka selama lebih dari 2 hari.  Batasan khamar ini nampaknya tidak terbatas pada minuman saja mengingat ada hadis yang mengatakan setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram (Hadis Muslim); Semua yang mengacaukan akal dan semua yang memabukkan adalah haram (Hadis Abu Daud). Dengan demikian segala hal yang mengacaukan akal dan memabukkan seperti berbagai jenis bahan narkotika termasuk ecstasy adalah haram. Sumber: Panduan Belanja dan Konsumsi Halal oleh Dr. Anton Apriyantono

April 19, 2007

Hukum Kartu Kredit Dalam Islam


oleh : Prof.Dr.Abdullah al-Mushlih & Prof.Dr.Shalah ash-Shawi

Hukum-hukum Syariat Tentang Kartu Kredit

Kartu-kartu kredit ini mencuatkan beberapa kemusykilan menurut ajaran syariat yang akan penulis paparkan sebagai berikut sebagian di antaranya:

Pertama: Persyaratan Berbau Riba
Transaksi untuk mengeluarkan kartu-kartu tersebut pada umumnya mengandung beberapa komitmen berbau riba yang intinya mengharuskan pemegang kartu untuk membayar bunga-bunga riba atau denda-denda finansial bila terlambat menutupi hutangnya. Apa pengaruh komitmen-komitmen tersebut terhadap sah tidaknya transaksi pembuatan kartu-kartu kredit ini?

Ulama Fiqih kontemporer ketika membahas persoalan ini pandangan mereka terbagi menjadi dua kubu:

Pertama: Kubu yang membolehkan.
Mereka menganggap bahwa transaksi itu sah, namun komitmennya batal. Yakni apabila pihak nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk tidak terjerumus ke dalam konsekuensi menanggung akibat ko-mitmen tersebut. Karena syarat rusak ini pada dasarnya menurut kaca mata syariat sudah batal dengan sendirinya. Syarat ini munkar dan justru harus dilakukan kebalikannya. Dasar mereka yang membolehkan adalah sebagai berikut:

1. Sabda Nabi kepada Aisyah ketika Aisyah hendak membeli Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya kecuali dengan syarat, hak wala’ budak itu tetap milik mereka. Itu jelas syarat yang bertentangan dengan ajaran syariat, karena loya-litas atau perwalian menurut syariat diberikan kepada orang yang membebaskannya. Nabi bersabda kepada Aisyah, “Belilah budak itu, dan tetapkan syarat bagi mereka, karena perwalian itu hanya diberikan kepada yang memerdekakan. Karena perwalian itu adalah hak orang yang membebaskannya,”

Makna hadits: Janganlah pedulikan, karena persyaratan me-reka itu bertentangan dengan yang haq, ini bukan untuk pembo-lehan namun yang dimaksudkan adalah penghinaan dan tidak ambil peduli dengan syarat itu serta keberadaan syarat itu sama dengan tidak ada.

Dari sini dapat dipahami bahwa jika seseorang memaksakan suatu syarat yang bertentangan dengan syariat mengenai akad-akad yang diperlukan secara luas dan ia enggan untuk menetapkan akad tersebut kecuali berdasarkan syarat yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak boleh dihentikan karena pemaksaan itu.
Tidak boleh difatwakan mengenai ketidaklegalannya, tetapi tetap harus dilaksanakan. Dan harus diupayakan untuk membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara berusaha menjaga diri agar tidak terperangkap syarat tersebut bila pada satu masa tidak ada penguasa yang menegakkan syariat Allah.

2. Karena sudah terlalu banyak yang melakukannya di ber-bagai negeri dengan adanya transaksi pemakaian listrik, telepon dan lain sebagainya, yang kesemuanya menggunakan komitmen-komitmen yang sama, yaitu apabila pihak pelanggan terlambat membayar berarti harus dikenai denda tertentu. Namun ternyata tidak seorangpun ulama yang mengharamkan berlangganan fasi-litas-fasilitas tersebut, padahal syarat-syarat tersebut ada di dalamnya.

3. Pinjaman tidak begitu saja batal karena batalnya persya-ratan. Bahkan peminjaman itu tetap sah meskipun syaratnya batal, berdasarkan sabda Nabi : “Kenapa masih ada orang yang menetapkan syarat yang tidak berasal dari Kitabullah? Barangsiapa yang menetapkan syarat yang bukan berasal dari Kitabullah maka persyaratannya batal, meski jumlahnya seratus syarat.”

Kubu kedua, yakni yang melarangnya.
Mereka menganggap transaksi tersebut batal. Demikian pendapat tegas dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah.

Mereka membantah dalil yang digunakan oleh kubu per-tama, yakni tentang hadits Barirah, bahwa qiyas itu adalah qiyas dengan alasan berbeda. Karena dalam kasus Barirah syarat terse-but mampu dibatalkan oleh Aisyah karena dianggap berten-tangan dengan ajaran syariat. Karena kejadian itu terjadi ketika syariat Islam betul-betul masih menjadi panutan, Negara Islam masih menjadi pemelihara ajaran Islam dan masih memimpin dunia. Bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan syarat berbau riba dalam pengambilan kartu kredit yakni syarat yang bersandar pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan agama dengan negara, lalu mengingkari referensi Islam yang suci yang melibatkan agama dalam kehidupan manusia?

Mereka juga membantah qiyas dengan transaksi pemakai-an listrik dan telepon, karena fasilitas ini amatlah dibutuhkan dan kemaslahatan kehidupan umat manusia amat tergantung kepa-danya.

Sementara kartu kredit memiliki bobot vitalitas yang lebih rendah dari itu. Orang bisa saja hidup secara wajar atau cukup wajar tanpa menggunakan kartu-kartu itu. Namun ia tidak akan bisa hidup wajar tanpa menggunakan fasilitas listrik dan telepon misalnya.

Yang benar menurut kami bahwa hukumnya adalah boleh-boleh saja bagi orang yang berberatsangka bahwa ia akan mampu menunaikan hutangnya pada waktu yang diperkenankan, sehingga dengan demikian ia tidak akan terkena konsekuensi persyaratan itu, tentunya dengan mengupayakan segala cara yang bisa dilakukan untuk tujuan tersebut. Wallahu A’lam.

Kedua: Prosentase yang dipotong oleh pihak yang menge-luarkan kartu dari
bayaran untuk pedagang
Sudah dimaklumi, bahwa melalui kartu-kartu itu pihak yang mengeluarkan tidak membayar jumlah bayaran yang ditetapkan dalam rekening pembayaran. Namun pihak yang mengeluarkan kartu akan memotong prosentase yang disepakati bersama dalam transaksi yang tegas antara pihak itu dengan pihak pedagang. Apa pendudukan masalah secara syar’i yang paling tepat ber-kaitan dengan hal tersebut?

Ahli fiqih kontemporer berbeda pendapat dalam mengulas tentang jenis kartu tersebut:

Sebagian ada yang mendudukkan prosentase itu sebagai biaya administrasi, upah dari pengambilan pembayaran dari nasabah. Sementara mengambil upah dari usaha pengambilan hutang atau menyampaikan barang yang dihutangkan adalah boleh-boleh saja.

Sebagian ada yang mendudukkanya sebagai upah dari jasa yang diberikan oleh pihak bank kepada pihak pedagang, seperti pesan-pesan, iklan, dan bantuan penyaluran barang atau yang sejenisnya. Bisa juga didudukkan sebagai upah perantara. Karena pihak bank sudah membantu mencarikan pelanggan untuk pihak pedagang, sehingga layak mendapatkan upah karenanya.

Sebagian menganggapnya sebagai kompensasi perdamaian bersama pihak yang memberi hutang dengan jumlah yang lebih sedikit dari yang harus dibayar, karena hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pihak pemegang kartu di bawah sistem jaminan. Cara demikian dinyatakan boleh oleh kalangan Hanafiyah.

Sebagian ada juga yang berpandangan bahwa pengambilan prosentase itu tidak mengandung syubhat sebagai riba secara mendasar. Karena kita dihadapkan dengan persoalan rabat/discount, bukan tambahan harga. Sehingga tidak ada hal yang menyeretnya kepada bentuk riba.

Apapun pendudukan masalah yang dipilih di sini, peng-kajian fiqih kontemporer tetap berkesimpulan bahwa pengambilan prosentase keuntungan di sini tetap dibolehkan, dengan catatan harus dibatasi sehingga layak disebut sebagai upah jasa yang di-berikan kepada pihak pedagang dan tergambar langsung dalam rekening pembeliannya, dan juga agar dapat menarik para pelang-gan untuk membeli barang kepada pedagang tersebut, memper-mudah proses jual beli mereka, lalu pihak bank yang mengeluar-kan kartu itu dan pihak bank lain yang hanya melakukan transaksi dagang bisa membagi rata upah
dari pelayanan tersebut, karena mereka secara bersamaan melakukan jasa tersebut untuk kepentingan pedagang.

Lembaga Syariat Perusahaan Perbankan ar-Rajihi membo-lehkan uang administrasi ini dalam fatwanya nomor 47. lembaga ini menetapkan bahwa tidak ada larangan mengambil prosentase dari harga yang dibeli oleh pemegang kartu, selama prosentase itu dipotong dari upah jasa atau dari harga barang. Sistem pemo-tongan ini diambil dari pihak penjual untuk kepentingan bank yang mengeluarkan kartu dengan perusahaan visa internasional.

Lembaga syariat juga mengeluarkan fatwa yang membo-lehkan pengambilan prosentase keuntungan tersebut, fatwa itu ditujukan kepada Dewan Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yor-dania, dimana uang administrasi yang diambil pihak bank dari pedagang yang menggunakan fasilitas kartu itu dihitung sebagai upah penjaminan karena menjadi penjamin dan mediator antara pedagang dengan pemegang kartu kredit, dan juga karena mediasi itu pihak bank menjadi sebab terjadinya banyak hal, se-perti lakunya barang-barang yang dijualnya, rasa aman yang dirasakan para pelanggan, mendapatkan kesempatan memperoleh piutang dengan selamat. Sebagaimana jaminan itu terkadang juga tidak berpengaruh apa-apa. Karena uang administrasi itu tidak menambah jumlah  arga dan juga tidak memperhatikan jumlah harga yang dijaminnya.

Ketiga: Denda Keterlambatan dan Bunga Riba
Pihak yang mengeluarkan kartu ini menetapkan beberapa bentuk denda finansial karena keterlambatan penutupan hutang, karena penundaan atau karena tersendatnya  embayaran dana yang ditarik dari melalui kartu. Denda semacam itu termasuk riba yang jelas yang tidak pantas diperdebatkan lagi. Itu termasuk riba nasi’ah yang keharamannya langsung ditentukan melalui turun-nya ayat al-Qur’an. Bahkan para pelakunya diancam perang oleh Allah dan RasulNya!!.

Bagaimana Mengatasi Problematika Keterlambatan Pem-bayaran Hutang?
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bunga dan denda keterlambatan membayar hutang adalah jelas-jelas riba jahiliyah yang diharamkan. Tidak ada alasan bagi bank-bank Islam untuk menerapkannya sama sekali. Maka bagaimana persoalan keter-lambatan  pembayaran hutang itu bisa diatasi dalam bingkai ajaran Islam?

Ada sebagian alternatif untuk bunga-bunga riba dan denda-denda keterlambatan itu yang akan kami sebutkan sebagian di antaranya:

Memberikan kelonggaran kepada pihak yang berhutang, kalau ia adalah orang miskin yang kesulitan mengembalikan hutangnya. Membatalkan keanggotaannya, menarik kartu kredit-nya kemudian mengadukan persoalannya ke pengadilan, lalu melimpahkan kepadanya semua biaya kemelut tersebut. Bisa juga dengan menyebarkan nama pelanggan bersangkutan dalam daftar hitam (black list), diumumkan kepada seluruh bank agar tidak menerimanya sebagai anggota dan juga agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berperilaku sepertinya.

Bolehkah Membeli Emas Atau Perak dengan Kartu Kredit Tersebut?Emas dan perak hanya bisa dibeli dengan kontan, yakni dari tangan ke tangan. Penyerahan barang dan pembayaran secara langsung merupakan syarat sahnya jenis jual beli kedua barang ini, sebagaimana sabda Nabi : “Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”Lalu bolehkah membeli emas atau perak dengan kartu kredit?
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa serahterima langsung adalah penyerahan barang dari tangan ke tangan. Dan dalam sya-riat sendiri sifatnya mutlak, pembatasannya dikembalikan kepada kebiasaan yang ada. Lembaga Pengkajian Fiqih Islam telah me-ngeluarkan fatwa dibolehkannya membeli emas atau perak dengan menggunakan cek dengan syarat bahwa serahterimanya diselesaikan saat transaksi. Penyerahan cek itu disetarakan dengan penyerahan uang secara langsung ketika diserahkan kepada pihak bank yang bekerja sama dengan pedagang. Kalau pihak pedagang telah memegang cek tersebut, berarti serah terima barang dan pembayaran yang disyaratkan dalam jual beli kedua barang itu.
Dengan demikian kartu kredit yang bisa juga dijadikan pem-bayaran langsung sehingga bisa digunakan untuk membeli emas atau perak. Sementara alat tukar yang tidak bisa dijadikan pem-bayaran langsung, tidak bisa digunakan untuk membeli kedua barang itu.

Penukaran Uang dengan Kartu Kredit

Asal kartu kredit berfungsi sebagai kartu internasional, dan pemegangnya bisa menggunakannya di Negara manapun. Kalau ia menarik dananya dengan menggunakan mata uang asing yang berbeda nilainya dengan mata uang yang dijadikan alat transaksi dalam kalkulasi nanti, maka pihak yang mengeluarkan kartu akan menutupi biaya pengeluaran dengan mata uang asing itu, kemu-dian memperhitungkannya atas nasabahnya itu dengan mata uang lokal dengan menggunakan harga penukaran yang disepakati bersama. Namun bolehkah membayar hutang dengan menggunakan mata uang yang berbeda dengan mata uang yang dijadikan hutang?

Tidak diragukan lagi bahwa serahterima langsung meru-pakan syarat sahnya penukaran uang, berdasarkan sabda Nabi : “Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”

Penukaran uang di atas tanggungan (hutang) adalah boleh asal harganya dengan harga saat itu, bila kedua orang penukar berada di lokasi berbeda, dan tidak ada hutang piutang di antara mereka berdua. Yakni disyaratkan agar salah seorang di antara mereka tidak memiliki tanggungan terhadap yang lain.

Penukaran dengan cara ini terkadang dilakukan antara uang yang berada dalam kepemilikan namun tidak ada dalam lokasi transaksi, dengan uang yang ada di lokasi transaksi, atau bisa juga antara dua jenis mata uang yang sama-sama dalam kepemilikan dan tidak ada dalam lokasi transaksi. Kasus ini disebut penggun-tingan atau penukaran hutang. Pengguntingan ini hanya bisa dila-kukan pada sebagian kecil penukaran saja, sementara sisanya ditutupi mata uang lain, sehingga ketika berpisah sudah tidak ada hitung-hitungan lagi.

Dasarnya adalah hadits Ibnu Umar p yang menceritakan, “Kami pernah menjual unta di Naqie’. Kami menjualnya dengan uang emas, lalu mendapatkan bayaran dengan uang perak. Atau menjualnya dengan uang perak, dan mendapatkan bayaran dengan uang emas. Aku menanyakan hal itu kepada Rasulullah, beliau menjawab, “Boleh saja, asal dijual dengan harga hari itu juga, apabila kalian keluar dari transaksi tanpa ada apa-apa di antara kalian. ”

Dengan demikian boleh saja melakukan tansaksi dengan perbedaan mata uang ini, dengan catatan bahwa kalkulasinya dilakukan berdasarkan harga penukaran hari standar atau hari pengguntingan. Yakni hari pendebetan rekening yang dimiliki oleh pemegang kartu.
 

Uang Administrasi Penarikan Uang Tunai

Di antara jenis kartu kredit ada yang bisa digunakan untuk menarik uang tunai dari rekening bank bersangkutan. Biasanya pihak bank akan mengambil uang administrasi dari pengambilan uang tunai itu. Sejauh mana uang administrasi itu dibolehkan?

Para ulama fiqih kontemporer berbeda pendapat tentang hukum uang-uang administrasi semacam itu, berdasarkan perbe-daan jenis penarikan itu, apakan sekedar penarikan uang tunai dari rekening pemegang kartu saja, atau ada unsur pinjaman?

Di antara ulama ada yang berpandangan bahwa hukum uang-uang administrasi itu boleh, karena tidak lebih dari sekedar upah, imbalan dari pentransferan uang nasabah dari rekeningnya menuju berbagai lokasi dimana uang itu digunakan, yang tentu saja membutuhkan biaya operasional. Jadi kedudukannya adalah sebagai upah transfer uang dari satu negeri ke negeri lain. Hanya saja sistem transfer tersebut terbalik. Karena pihak bank yang mewakili pihak yang mengeluarkan kartu kredit itu terlebih dahulu membayarkan uang, kemudian baru memintanya dari pihak yang memegang kartu untuk merealisasikan syarat pembayaran langsung dalam penukaran mata uang ini. Jarak yang ada antara penye-rahan uang kontan dengan penutupan hutang tidaklah menjadi
tujuan dalam proses ini, juga bukan termasuk penentunya. Inilah pendapat yang akhirnya dipilih oleh Lembaga Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yordania.

Ada juga yang berpendapat bahwa uang administrasi dalam kasus ini haram hukumnya. Karena proses penarikannya bersifat hutang atau peminjaman dari pihak pemegang kartu, atau dari pihak bank yang mewakilinya. Maka uang yang diambil sebagai imbalannya termasuk riba yang diharamkan. Inilah pendapat yang diambil oleh bank ar-Rajihi.

Menurut kami yang paling benar adalah harus dibedakan antara dua kondisi berbeda:
Pertama: Kalau penukaran itu melalui penarikan dana langsung dari rekening nasabah, lalu diambil uang administrasi-nya, cara demikian disyariatkan. Demikian juga apabila pihak bank yang mengeluarkan kartu memiliki uang di bank yang mewakili sehingga bisa menutupi biaya dana yang ditarik ter-sebut.

Kedua: Ketika bentuknya adalah pinjaman. Maka imbalan yang diambil ketika itu adalah riba yang diharamkan. Demikian juga apabila rekeningnya adalah rekening bebas, atau dana yang ada tidak cukup untuk menutupi biaya yang ditarik, wallahu a’lam.

Tidak diragukan lagi bahwa keharaman dalam kasus ini berkaitan dengan hubungan antara pihak bank yang menge-luarkan kartu dengan bank yang mewakilinya. Adapun nasabah sendiri, kerjanya hanya menarik dana yang dititipkan pada pihak yang mengeluarkan kartu. Uang administrasi yang dia keluarkan adalah upah dari kesulitan yang dihadapi pihak yang menge-luarkan kartu, dengan upaya dan segala tanggungjawab berikut biaya yang juga harus dikeluarkan untuk tujuan itu. Pihak nasa-bah tidak memiliki kaitan dengan urusan antara pihak bank yang mengeluarkan kartu dengan bank yang mewakilinya.